Relevansi Gagasan Soedjatmoko dengan kondisi terkini

Meskipun di dalam tahun-tahun yang akhir ini kita telah mencapai sekedar kemajuan dalam lapangan pembangunan ekonomi, namun orang tidak dapat melepaskan diri dari kesan bahwa kemajuan itu tidak memegang peranan dalam alam pikiran bangsa kita…….. Kesan umum ialah bahwa, pembangunan ekonomi itu tinggal sebagai rencana-rencana Pemerintah saja, di mana setiap Kementerian berusaha sendiri-sendiri.

pembangunan ekonomi kita ini seolah-olah setengah-setengah saja dikerjakan, seperti tak dapat berangkat dan macet. Padahal, pembangunan ekonomi itu seharusnya merupakan penjelmaan suatu pergerakan rakyat yang dibimbing secara sadar oleh Pemerintah.

Karya tulis  Dr Soedjatmoko, Pembangunan Ekonomi Sebagai Masalah Kebudayaan adalah  bagian dari karya tulis beliau,  Dimensi Manusia dalam Pembangunan  yg  terbit pada tahun 1983 atau 34 tahun yg lalu,  terbukti masih sangat relevan. Berikut cuplikan yg perlu kita dalami  :

Pembangunan Ekonomi sebagai Perubahan Sosial

( Koperasi, Industrialisasi, Ilmu Pengetahuan, Penolakan terhadap modernisasi, Urbanisasi & Ketrampilan,  Evolusi atau Revolusi )

Koperasi

Pendirian suatu koperasi di desa berarti bahwa kita menggunakan suatu teknik organisasi yang tertentu: ia memerlukan administrasi serta pembukuan yang moderen. ia meminta tanggung jawab finansial. Sikap orang-orang desa terhadap uang daan kredit harus berubah sebab keaktifan koperasi dan para anggotanya harus dapat diperhitungkan dengan uang. Pendirian koperasi tidak hanya merupakan perubahan dalam cara-cara orang menyusun diri dan bekerja bersama, melainkan juga berarti perubahan dalarn lembaga-lembaga sesuatu desa. Susunan administratif baik di desa maupun dalam hubungan desa itu dengan daerah di sekitarnya akan harus disesuaikan kepadanya.

Timbulnya suatu koperasi di dalam desa juga merupakan timbulnya suatu pusat kekuasaan baru sebagai saingan di dalam susunan kekuasaan lama. Maka susunan politik pun berubah karenanya. Orang-orang desa, pendapat-pendapat dan adat-adat kebiasaannya terpaksa menyesuaikan diri kepada badan-badan baru ini. Dengan adanya suatu koperasi di dalam desa akan muncul orang-orang baru dengan kejuruan dan keahlian yang istimewa, yang dahulu tidak terdapat dalam lingkungan itu. Orang-orang desa harus belajar bergaul dengar orang-orang baru ini dan memberi tempat dan penghargaan kepadanya.

Persamaan yang dangkal antara bentuk koperasi dan susunan kehidupan gotong-royong, sebenamya menambah kesukaran-kesukaran orang untuk memahami arti perubahan dalam suatu desa yang diakibatkan oleh berdirinya suatu koperasi, dan sering juga merupakan halangan utama dalam perkembangan, koperasi tadi. Kehidupan secara gotong-royong berdasar pada rasa kekeluargaan dalam suatu masyarakat tertutup, di mana kebutuhannya untuk sebagian besar dipenuhi oleh dan di dalam masyarakat itu sendiri. Koperasi memerlukan penilaian jasa-jasa orang dengan uang, sedangkan dalam kehidupan gotong-royong penghargaan itu, biasanya tidak diukur dengan mata uang.

Koperasi berdasarkan atas satu keputusan yang diambil secara sadar dan suka-rela oleh orang-orang yang bersangkutan sendiri. Anggota-anggotanya bersatu untuk mencapai suatu maksud tertentu, berdasarkan pengertian yang rasional tentang hak dan kepentingan sendiri dan hak dan kepentingan bersama. la melingkupi lingkungan kehidupan terbuka yang lebih luas daripada dahulu. Pengalaman kita di lapangan koperasi telah membuktikan bahwa jikalau perbedaan antara koperasi dan kehidupan gotong-royong yang berakar pada susunan agraris-feodal, tidak disadari dengan secukupnya, maka ada bahaya bahwa bentuk koperasi yang baru menjadi tidak lain dari pada suatu wujud baru yang mengandung isi feodal yang sama seperti dulu. Tidak sedikit jumlah koperasi yang sebenarnya hanya merupakan perkumpulan unsur-unsur feodal di dalam suatu desa yang dengan cara baru ini, hanya melanjutkan kekuasaan tradisionalnya atas orang-orang kecil.

Akan tetapi, bagaimanapun juga, telah nyatalah bahwa berhasil tidaknya suatu koperasi di desa tidak hanya tergantung pada keahlian dan kecakapan para pemimpin dan anggota-anggotanya untuk menyelenggarakan koperasi itu. Keberhasilan itu tergantung pada perubahan-perubaban lainnya di lapangan sosial dan kebudayaan yang secara langsung atau tidak langsung tersangkut dalam penyelenggaraan koperasi ini. Maka berdirinya suatu koperasi di suatu desa harus disertai oleh berbagai perubahan di lapangan lain. Malahan boleh dikatakan bahwa berhasil atau tidaknya usaha koperasi untuk sebagian besar tergantung dari kesanggupan orang untuk mengadakan perubahan-perubahan lain itu. Ternyatalah bahwa koperasi itu hanya salah satu muka saja dari proses pertumbuhan dan perkembangan desa seluruhnya yang terjadi di berbagai lapangan pada waktu yang sama. Untuk mencapai hasil baik dengan koperasi ini perlu perubahan-perubahan lain itu dihadapi dan dilaksanakan sekaligus. Artinya kita berhadapan dengan masalah pendinamisan kehidupan desa seluruhnya.

Begitupun pemasukan mesin ke dalam kehidupan desa, seperti penggunaan traktor atau didirikannya usaha-usaha kerajinan, berarti penyesuaian segala aspek kehidupan dan susunan kehidupan di desa kepadanya. Dalam hal traktor misalnya, yang perlu bukan hanya bahwa orang cakap menggunakannya, melainkan bahwa orang yakin akan perlunya memeliharanya. Pengalaman kita menunjukkan bahwa justeru dalam hal itu kita masih lemah. Di samping itu, perlu untuk menyesuaikan cara-cara bekerja bersama di dalam desa mengenai penggarapan tanah dan sebagainya kepada adanya traktor-traktor tadi, agar supaya kita dapat menarik keuntangan sebesar-besamya daripadanya, dan begitu seterusnya.

Traktor dan mesin oleh orang desa harus dapat dianggap dan diperlukan sebagai lanjutan tangan manusia yang dapat dikuasainya, sepenuhnya, seperti juga paculnya. Dengan demikian itu si mesin tadi bukan lagi suatu benda yang asing baginya, melainkan suatu alat yang asli, suatu penjelmaan dari kebutuhan dan kesanggupan masyarakat desa itu. Dan untuk itu kita perlu menyesuaikan diri, termasuk mentalitet kita, cara-cara hidup, dan hubungan produksi pada umumnya kepada mesin yang kita masukkan dan terima ke dalam kehidupan kita, atau dalam perkataan lain, kita harus mencernakan mesin tadi dalam tubuh, kehidupan masyarakat kita.

Hal ini juga berlaku jikalau kita meningkat pada lapangan industrialisasi umumnya. Di sini pun pemasukan mesin-mesin hanya merupakan permulaan proses perubahan sosial dan tanggapan jiwa bangsa kita. Baru sesudah kita menyesuaikan, cara-cara organisasi kerja, disiplin kerja, kecepatan hidup kita dan sebagaimana di samping kecakapan kita untuk menggunakan mesin itu, dapat kita katakan bahwa mesin itu sudah menjadi barang yang hidup dalam masyarakat kita. Malahan lebih jauh lagi, kita baru dapat dikatakan telah mencernakan mesin itu, sesudah pada kita timbul keinginan dan kesanggupan, tidak saja untuk memelihara mesin itu, melainkan juga untuk membuatnya sendiri dan untuk senantiasa menciptakan mesin-mesin yang lebih baik daripada yang sudah, yang lebih sesuai lagi dengan kebutuhan kita sendiri.

Nyatalah bahwa mesin itu hanya pernyataan dan alat suatu masyarakat untuk mencapai tujuan-tujuannya:. Kita tidak dapat melepaskan mesin itu serta teknologi umumnya dari nilai-nlaai sesuatu masyarakat, dari segala sesuatu yang dianggap penting oleh masyarakat itu. Dengan perkataan lain mesin serta teknologi merupakan penjelmaan kebudayaan suatu masyarakat yang tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan yang menciptakannya. Jadi menghadapi masalah industrialisasi di negeri kita berada juga menghadapi suatu proses perubahan sosial, suatu proses perubahan tanggapan jiwa, suatu penyesuaian kreatif dari kebudayaan kita.

Penyesuaian kreatif ini berarti bahwa kita harus mencari dan membangkitkan di dalam kebudayaan kita sendiri asas-asas otonom, yang atas kekuatan sendiri, akan memperkembangkan dinamik sosial kita sendiri, dan mampu mendorong dan menuntun kita dalam menempuh jalan modernisasi, kehidupan kita. Jikalau tidak demikian, maka segala penyesuaian kita akan bersifat pasif. Kita tidak akan dapat melampaui taraf imitasi, taraf tiruan belaka, dan kita hanya akan meningkat dari tingkat statis yang satu kepada tingkat statis yang lain, dan kita senantiasa akan terbelakang.

Industrialisasi

Oleh sebab itu, dalam menghadapi masalah industrialisasi, kita tidak dapat mengatakan bahwa kita hanya bersedia menerima mesin serta teknologi dunia moderen dengan menolak begitu saja penjelmaan-penjelmaan lain dari kebudayaannya. Eklektisisme yang murah ini, yang dianut oleh beberapa pendekar kebudayaan kita dan yang secara samar-samar juga terdapat di berbagai kalangan masyarakat kita, tidak dapat dipertahankan. Untuk menguasai mesin dan teknologi kita perlu mengertinya lebih dahulu, yaitu menyelami dan mengerti kebudayaan dan jiwa yang menciptakannya. Usaha untuk menyelami kebudayaan Barat, yang menjadi induk dunia moderen ini, agaknya akan dapat membantu kita dalam mencari asas-asas dinamik otonom pada kita sendiri, yang kita maksudkan di atas ini.

Akan tetapi sebelum kita meningkat pada soal ini, agaknya ada baiknya kita menyimpang sebentar dan menghadapi suatu soal lain dahulu. Kita telah melihat bahwa proses industrialisasi dan pembangunan ekonomi umumnya ialah suatu proses perubahan sosial dan suatu proses perubahan tanggapan jiwa. Akan tetapi, orang dapat bertanya, apakah perubahan mentalitas itu bukannya akibat dari pemasukan mesin dan teknologi dalam kehidupan kita? Bukankah kebudayaan itu merupakan bangunan atas dari susunan hubungan produksi di dalam suatu masyarakat?

Memang sejarah jalannya revolusi industri di Eropa Barat membuktikan bahwa pada umumnya hal itu demikianlah adanya. Akan tetapi jikalau suatu negara hendak mengubah susunan hubungan produksinya dan mempertinggi tingkat produksinya dalam waktu singkat dan menurut rencana tertentu, dengan sedapat-dapatnya mengurangi kesengsaraan yang diderita oleh rakyat Eropa Barat sewaktu revolusi industrinya itu, maka ia terpaksa turut memperhitungkan dan menggunakan secara sadar faktor-faktor kebudayaan tadi.

Demikianlah Uni Soviet, pada suatu ketika merasa perlu untuk mengabdikan kehidupan kebudayaan Rusia kepada keperluan industrialisasinya. Dan untuk keperluan itu ia telah mengendalikan dan mengatur penciptaan di segala lapangan. Faham Realisme Sosialis adalah akibat dari politik ini. Begitupun di Indonesia mentalitas kita akan berubah dengan adanya industrialisasi serta segala akibat sosialnya. Sebenarnya mentalitas kita sudah berubah dan akan terus-menerus berubah dengan berlangsungnya keruntuhan susunan masyarakat kita yang lama. Akan tetapi terang jugalah, bahwa apabila kita hendak mengejar waktu, mengingat urgensi pembangunan ekonomi ini untuk keselamatan kemerdekaan kita, kita akan harus mengerahkan secara sadar faktor-faktor kebudayaan untuk memudahkan dan mempercepat proses perubahan itu.

Perubahan mentalitas akan terjadi sesudah proses industrialisasi dimulai. Dimulai oleh Pemerintah. Artinya perubahan mentalitas harus dimulai di kalangan pemerintah dan pemimpin masyarakat kita, sebelum kita dapat mulai dengan pembangunan ekonomi. Dan ternyata di situlah letaknya kesukaran kita, sebab tekad dan hasrat pembangunan kurang dirasakan. Dan akibatnya ialah, lambatnya usaha pembangunan ekonomi. Dan kita akan melihat nanti bahwa untuk sebagian hal itu disebabkan oleh rintangan-rintangan kebudayaan yang berpengaruh di lapisan masyarakat itu. Akibatnya ialah bahwa perubahan mentalitas yang bergandengan dengan runtuhnya susunan sosial yang lama dan keinginan rakyat banyak untuk mencoba cara-cara baru, tidak dapat ditampung dengan secukupnya.

Di dalam susunan statis dari masyarakat agraris feodal, yang kita kenal itu, intisari asas hidup sebagian besar bangsa kita ialah penyesuaian serta persatuan dengan kodrat dan hukum-hukumnya. Manusia adalah bagian kodrat, dan kodrat itu meliputi keseluruhannya. Manusia itu menentukan tempatnya serta hubungannya dengan alam di sekitarnya dengan perantaraan bermacam-macam upacara dan pantangan. Dengan jalan ini sedapat-dapatnya ia menjamin keselamatannya. Di dalam suatu tingkat yang lebih tinggi, kebahagiaan terbesar yang dapat dirasakannya ialah mengatasi dan membebaskan diri kungkungan pribadinya sendiri dan dengan cara demikian menikmati rasa persatuan dengan kodrat. Di dalam tanggapan jiwa yang demikian sungguh segala pemikiran untuk menguasai alam dan mengabdikannya kepada kebutuhan manusia.

Tanggapan jiwa dunia moderen berpangkal pada paham bahwa penguasaan alam oleh manusia merupakan suatu hal yang mungkin dan yang patut dikejar. Dengan tanggapan jiwa ini manusia tidak lagi merupakan suatu bagian dari alam melainkan ia mulai menyendiri daripadanya, ia mulai menyelidikinya sebagai suatu hal yang lepas dari dirinya sendiri, dan ia mulai menguasainya. Untuk dapat menguasai alam, perlu manusia mengetahui hukum-hukumnya agar ia mampu mengganakan hukum-hukum itu untuk menaklukan alam. Dan dorongan mengenal alam ini, untuk mengetahui hukum-hukum demi pengetahuan itu sendiri, tidak lain daripada tanggapan jiwa Pengetahuan.

Ilmu Pengetahuan

Tanggapan ilmu pengetahuan ini berikhtiar melihat mengerti alam di dalam keseluruhannya sebagai suatu kebulatan yang berangsur-angsur dapat dikenal dan dipahaminya, yang pengetahuannya dapat disusun dalam suatu teori yang logis, yang bagian-bagiannya saling berhubungan secara konqisten. Ia senantiasa berusaha membuat obyektif pendapatnya dan mengujinya kembali, untuk mencocokkannya dengan pendapat-pendapat dan hubungan-hubungan baru yang didapatnya, dan jika perlu mengubah teorinya. Maka intisari tanggapan ilmu pengetahuan ini ialah usaha pembaharuan terus-menerus. Kebenaran yang didapatnya tidak dianggap sebagai suatu kebenaran yang mutlak, melainkan sebagai sesuatu yang senantiasa harus diuji kemboli, ditaklukkan dan dipahami kembali. Sebab baginya yang benar pada hari ini, besok sudah menjadi takhyul, dan yang baik sekarang besok menjadi musuh dari yang lebih baik.

Keinginan untuk mengenal dan menguasai alam, ikhtiar manusia untuk terus-menerus, mencari kebenaran sebagai sesuatu yang senantiasa harus dikejar namun tidak pemah dicapai seluruhnya, kesediaan untuk mencocokkan pandangan serta cara-cara hidupnya kepada faham ini, bersama dengan keyakinan bahwa nasib manusia di dunia ini untuk sebagian penting dapat diperbaiki oleh manusia sendiri berkat pengetahuan alam ini, kedua unsur inilah yang menjadi sumber perkembangan teknologi Barat dan sumber dinamik sosialnya yang besar itu. Kami rasa, dengan segala kekurangan dan kedangkalan yang dikandung dalam generalisasi semacam ini, kita dapat menggunakannya dalam penyelidikan kita ini.

Teranglah sekarang bahwa tidak cukup kita hanya mengoper saja alat-alat, cara-cara dan bentuk-bentuk susunan produksi dari luar. Semuanya ini akhimya harus menjadi darah-daging kita sendiri; ia harus menjadi alat-alat dan cara-cara kita memenuhi kebutuhan kita sendiri, menjadi penjelmaan kebudayaan kita sendiri. Dalam pada itu intisari persoalan yang kita hadapi ialah mencari asas-asas dinamik kita sendiri yang otonom, artinya yang dapat berkembang menurut hukum-hukum pribadi kita sendiri berkat kekuatan kita sendiri. Dinamik itu harus sedemikian kuatnya sehingga kita tidak lagi ketinggalan oleh dinamik perkembangan dunia. Dan bagaimanapun juga di samping komponen-komponen lainnya asas-asas dinamik itu akan harus meliputi juga kepercayaan bahwa manusia sanggup dan harus dapat menguassi nasibnya sendiri di dunia ini, lebih daripada semula. Lagi pula, keinginan untuk mengenal dan menguasai alam dan kesanggupan untuk menghadapi perubahan dan pembaruan terus-menerus harus hidup pula.

Dalam menghadapi masalah pembangunan ekonomi di negeri kita, daya penentang, perubahan ini akan nyata dalam berbagai-bagai bentuk. Salah satu di antaranya ialah sikap yang banyak, terdapat di kalangan pegawai tinggi, pemimpin politik dan juga profesor-profesor kita. Sering didengar ucapan mereka ; Apakah perlu pembangunan ekonomi? Apakah bangsa kita harus menjadi seperti bangsa barat? Apakah kita harus membimbing bangsa kita ke arah suatu masyarakat yang dikuasai oleh suasana persaingan yang tak terbatas, dimana manusia menjadi serigala untuk sesama manusia, dimana individu tidak merasakan hubungan bathin dengan pekerjaan yang dijalankannya atau dengan kawan-kawan sekerjanya? Apakah semangat ini yang harus kita tanamkan ke dalam kebudayaan dan susunan masyarakat kita?

Penolakan terhadap modernisasi

Di beberapa kalangan di Indonesia pun, baik secara samar-samar, maupun dalam bentuk-bentuk yang lebih tegas, penolakan terhadap kehidupan moderen semacam ini terdapat juga. Dan agaknya inilah salah satu sebab mengapa sebagian lapisan atas kita kurang memperhatikan masalah ini sebagai suatu masalah yang tak dapat ditunda. Boleh dikatakan bahwa masalah pembangunan ini tidak memegang peranan dalam pikiran dan sepak-terjang kebanyakan partai-partai politik umumnya, kecuali sejauh suatu rencana pembangunan khusus ada singkut-paut langsung dengan kepentingan partai.

Jikalau kita menghendaki supaya usaha pembangunan ekonomi itu tidak tinggal omongan saja dan semua partai politik sebenarnya dengan bibirnya telah menyokong perlunya pembangunan ekonomi, perlulah lebih dahulu urgensi pembangunan ekonomi dirasakan, sehingga bangkitlah hasrat untuk membangun. Perlu juga orang menyadari kecepatan yang diperlukan. Hal itu berarti bahwa tidak boleh lagi ada kebimbangan moril terhadap faedah dan baiknya pembangunan ekonomi. Tidak boleh ada kesangsian lagi bahwa pembangunan ekonomi berarti menambah pada suatu waktu tingkat konsumsi, menambah kebutuhan-kebutuhan masyarakat, artinya perlunya menimbulkan keinginan di dalam masyarakat dan setiap individu untuk memiliki atau menggunakan hasil-hasil kehidupan industrial.

Dalam perkataan lain, menerima konsepsi pembangunan ekonomi berarti menerima lebih dulu halalnya umat manusia dan bangsa Indonesia khususnya mengecap kenikmatan hidup di dunia ini dalam segala bentuk material dan spiritualnya dan mengejarnya sebagai salah satu dari beberapa tujuan hidup. Sikap itu berarti membuang segala ciri sikap Weltverneinung tersebut. Kita harus mengerti bahwa tanggapan jiwa ilmu kebatinan yang klasik dan etik Wedhotomo, betapapun 1uhurnya nilai-nflai yang terkandung di dalamnya, berakar pada suasana hidup agraris feodal, yaitu suasana hidup yang tidak dapat dipertahankan lagi oleh sebab dasar sosialnya sudah runtuh. Tugas bangsa Indonesia dalam taraf sejarah sekarang ini terletak di dunia fana ini dan bukannya di dalam dunia yang baka.

Rupanya belum begitu disadari bahwa apabila kita sebagai bangsa menghadapi masalah pernbangunan ekonomi, maka pada bakekatnya juga kita menghadapi masalah pandangan hidup bangsa kita. Selama hal ini belum terang di dalam pemikiran kita sendiri, segala rencana pembangunan ekonomi akan dijalankan setengah-setengah saja, oleh sebab ia selalu akan tersentuh pada “weerstanden”, perlawanan yang timbul dari pandangan hidup yang lama. Jikalau di lapisan atas masa pandangan hidup ini terutama merupakan masalah moral-falsafah, di dalam lapangan lain daya penentang perubahan itu menyatakan dirinya dalam bentuk-bentuk yang lebih konkrit. Yaitu di lapangan penyesuaian suasana agraris ke suasana industrial atau penyesuaian si tani menjadi buruh. Masalah yang berhubungan dengan itu ialah masalah perangsang kerja.

Urbanisasi & Ketrampilan

Jikalau dilihat selayang pandang, maka surplus penduduk di desa yang sudah mulai memboyong secara besar-besaran ke kota-kota untuk melepaskan diri dari kesempitan hidup di desa itu, akan merupakan suatu pasaran buruh yang baik untuk program industrialisasi kita. Dan memang dapat dikatakann bahwa kemelaratan akan mendorong golongan ini ke lapangan industri. Akan tetapi di situ pun ada batasnya. Golongan ini ialah golongan yang biasanya tidak mempunyai suatu keahlian atau kejuruan, jadi mereka merupakan pasaran buruh hanya untuk pekerjaan di pabrik-pabrik yang tidak memerlukan kejuruan. Akan tetapi untuk pekerjaan-pekerjaan lainnya di lapangan industri, kita tetap menghadapi kesukaran.

Soalnya ialah bagaimana caranya kita dapat membawa golongan buruh ini ke taraf kejuruan? Kemungkinan-kemungkinan perkembangan industri di negeri kita, untuk sebagian besar tergantung dari jawaban kita atas soal ini. Dan jikalau kita tidak dapat mengatasi kesukaran ini, maka sangat boleh jadi kita akan kekurangan buruh yang berkejuruan di dalam suatu pasaran buruh tidak berkejuruan yang sangat luas.

Pengalaman di negara-negara lain yang juga menghadapi soal ini telah menunjukkan bahwa meskipun kemelaratan mendorong orang-orang ke lapangan industri, kemelaratan saja tidak cukup untuk memaksakan mereka menambah pengetahuan serta kejuruan yang diperlukan oleh perkembangan industrialisasi itu. Timbullah di sini soal incentives, soal perangsang yang diperlukan untuk memajukan golongan ini sehingga mereka merasa perlu menambah kejuruannya itu. Ternyatalah bahwa penambahan upah tidak senantiasa memberikan tambahan dorongan tadi. Itu memang benar di negara-negara di mana uang memang menjadi ukuran segala nilai yang berlaku di dalam masyarakatnya.

Ada juga rintangan-rintangan psikologis yang menghalangi pemboyongan penduduk ke lapangan industri. Meninggalkan desa biasanya menimbulkan berbagai kesulitan jiwa bagi orang-orang yang bersangkutan. Jikalau ia meninggalkan desa, ia juga meninggalkan suatu susunan nilai dan juga suatu suasana hidup yang dikenalnya dan yang dianggapnya baik dan benar : Suasana itu memberikan kepadanya kepastian jiwa, yang di dalam berbagai kebudayaan merupakan suatu tujuan hidup yang sangat ponting. Oleh sebab itu pemboyongan ke kota itu sering diangapnya sebagai suatu tindakan darurat. Sesudah ia dapat memperbaiki taraf kehidupannya, biasanya ia ingin pulang lagi ke desa. Maka di sini pun terasa kesukaran yang kita hadapi dalam usaha kita untuk mencapai perbaikan pada tingkat kejuruan kaum buruh.

Evolusi atau Revolusi

Sampailah kita sekarang pada pertanyaan : Berapa besarkah perubahan yang masih dapat diterima dan dicernakan oleh suatu kebudayaan. Atau di dalam hubungan pembangunan ekonomi kita, haruskah kita bersikap evolusioner atau revolusioner dalam mengejar tujuan-tujuan pembangunan ekonomi. Kita telah melihat adanya suatu keinginan untuk perubahan. Akan tetapi kita telah melihat juga bahwa jikalau perubahan-perubahan itu terlalu jauh perbedaannya dengan suasana serta adat kebiasaan yang lama, maka sikap terhadap perubahan itu ialah negatif dan menolak.

Apakah perubahan yang kecil-kecil dan secara berangsur-angsur akan mencukupi untuk mengatasi kesukaran yang sekarang kita alami dalam rangka susunan masyarakat kita yang lama itu? Jikalau kita mengikuti politik evolusioner, sangat bisa jadi perubahan yang kecil itu memang dapat ditampung dan dicernakan berkat keinginan akan perubahan yang sudah ada itu. Akan tetapi, sekali keinginan itu sudah dipenuhi dan kita tidak boleh melupakan bahwa keinginan itu ialah keinginan yang besar-kecilnya ditentukan oleh keadaan di dalam lingkungan desa saja maka mungkin sekali, masyarakat desa itu akan kembali kepada konservatisme baru dan akan menolak penerusan perubahan itu yang tidak begitu lagi dirasakan pentingnya dan urgensinya.

Konkritnya, andaikata di dalam suatu desa dimulai suatu kerajinan desa, maka besarlah kemungkinan bahwa kerajinan itu akan diterima dengan gembira oleh masyarakat desa itu. Akan tetapi belum pasti entah hal itu berarti bahwa mereka akan bersedia juga untuk bekerja di lapangan industri yang lebih besar, yang hubungannya dengan kehidupan di desa mungkin tidak begitu erat tetapi akan lebih penting artinya untuk mempertinggi taraf kehidupan di dalam suatu daerah yang lebih luas, daripada desa itu. Atau dengan perkataan lain, kalau toh perkembangan cottage industries tidak merupakan penyelesaian bagi masalah rekonstruksi desa dan keperluan industrial, apakah tidak lebih baik kita membuang cara evolusioner ini dan menggantikannya dengan cara-cara revolusioner, yaitu dengan terus meloncat kepada industrialisasi besaf-besaran? Orang dapat, mengatakan, meskipup penderitaan, dan kesukaran penyesuaian akan lebih besar, barangkali waktu penderitaan itu akin lebih singkat.

Maka dari uraian di atas ini agaknya sudah teranglah bahwa, jikalau kita hendak melaksanakan pembangunan ekonomi dengan kecepatan yang diperlukan dan sesuai dengan proporsi masalah ini dalam segala sangkut-pautnya, tidak cukup menghadapi pembangunan ekonomi ini dari sudut ekonomi ataupun dari sudut birokratis saja. Pembangunan ekonoini harus didasarkan atas, atau lebih tegas lagi, harus merupakan penjelmaan dari suatu proses perubahan sosial dan kebudayaan yang dibimbing dengan kesadaran.

diposting oleh gandatmadi46@yahoo.com

Post navigation

Leave a Reply

Your email address will not be published.