Profesor Arnold Heertje selama pendudukan Nazi dalam WW ke dua disembunyikan oleh keluarga Belanda agar terhindar dari kejaran terhadap keturunan Yahudi. Keluarga ini miskin di wiayah miskin. Pengalaman tersebut membuat Arnold muda bertanya, where that poverty actually came from. Keinginantau itu dia sekolah ekonomi.
Prof Heertje, ekonom dan anggota the Dutch Academy of Sciences sejak 1997 sangat produktif baik dalam kegiatan membuat karya tulis maupun seminar dan tentu saja mengajar. Diantara buku karya beliau yg terkenal adalah Echte Economie atau Real Economy. Berbicara tentang Real Economy tidak terlepas dengan kemakmuran ( welfare ) tetapi juga happiness menurut beliau. Berikut kutipan dari halaman 40 sampai 60 dari buku tsb.
Konsep kemakmuran adalah tersedianya lingkungan hidup yg sehat, udara segar , bersih dan hening. Jika untuk memenuhi kebutuhan tersebut melibatkan sumber daya yg langka seperti biasanya muncul maka yg menjadi pedoman kemakmuran bukan objective measure yg didorong oleh ekonomi tetapi perasaan rakyat.
Jika orang menemukan bahwa kemakmuran mereka terpengaruh oleh kebisingan di Schiphol ( Bandara di Belanda ) , inilah titik bawah kemakmuran ini, aspek ini juga harus dipahami. Pendekatan berbasis kemakmuran terhadap standar kebisingan untuk Schiphol. yang hanya mencakup aspek keuangan, seperti harga rumah, tidak pantas memakai nama kemakmuran yg dimaksud.
Studi yang relevan dari Biro Perencanaan Pusat dapat lebih baik disebut sebagai pendekatan keuangan terhadap standar kebisingan Schiphol.
Studi parsial tentang kemakmuran total bermanfaat. Para penulis, semua ekonom, tidak mengetahui bahwa nature atau kodrat dari studi mereka terbatas (PPB, 2006, nomor 116). Di sisi lain, ada penulis yang berbicara mengenai subjek survei Happiness (Van Praag dan Baarsman, 2005). Sedangkan yang bingung banyak.
Begitu disadari bahwa pada akhirnya ekonomi adalah kebutuhan akan kepuasan, seperti ini dirasakan oleh orang dan kelompok, muncul pertanyaan dimana hasil Visibility berbeda dengan Human Happiness. Lagipula, perasaan biasanya bersifat pribadi, yang tidak sesuai dengan agenda tujuan spesifik atau pengukuran spesifik.
Apakah mungkin ekonomi ilmu kebahagiaan bukan uang ? Jawaban atas pertanyaan ini relatif sederhana. Begitu pencapaian kebahagiaan manusia memerlukan perebutan sumber daya yang langka, maka ilmu ekonomi mulai berperan. Tapi ini tentu bukan untuk semua kebahagiaan manusia. Sebagai contoh kebahagian dalam perkawinan.
Ini adalah perasaan yang tidak ada hubungannya dengan sumber daya yang langka. Oleh karena itu, aspek ekonomi tidak berperan, meski perhatian diberikan sehingga mengambil waktu terhadap kegiatan lain. Dalam hal ini kebahagiaan mencakup lebih dari sekedar kemakmuran. Dalam kemakmuran, perasaan subjektif berhubungan dengan sumber daya yang langka dan, sebagian, bukan itu masalahnya. Para ekonom sejati memahami bahwa kemakmuran kurang dari sekedar keberuntungan namun lebih dari sekedar uang.
Buku terbaru Frey and Stutzer tentang kebahagiaan dan ekonomi menunjukkan kebingungan besar tentang hal itu (Frey and Stutzer, 2002). Di satu sisi, mereka berbicara tentang kebahagiaan sebagai kategori subjektif, terlepas berurusan dengan sumber daya yang langka, namun di sisi lain mereka dengan senang hati memahami komponen yang tidak terpengaruh oleh perebutan sumber daya yang langka. Dengan melepaskan kelangkaan sebagai titik awal ekonomi, Frey dan Stutzer mengaburkan spekulasi psikologis dan tidak efektif.
Buku Layard yang populer terbit dalam bahasa Belanda dengan judul: “Mengapa kita tidak bahagia?” Juga menunjukkan kebingungan besar (Layard, 2005). Menurut Layard, orang tidak hanya rugi karena masalah pencatatan dan kehidupan seks yang kurang memuaskan, namun pendapatan yang lebih tinggi juga tidak membuat orang lebih bahagia. Di sini semuanya diperhatikan. Menjadi dekat adalah keadaan mental pikiran yang esensinya berada di luar bidang sains ekonomi.
Pengamatan bahwa peningkatan pendapatan individu dan nasional tidak membuat orang lebih bahagia adalah pengamatan yang sebagian besar berada di luar sudut pandang ekonomi. Bisa jadi, tapi outward claim semacam itu belum pernah diperhatikan ilmu ekonomi. Pertanyaannya adalah apakah income yang lebih tinggi memungkinkan untuk memuaskan lebih banyak kebutuhan dan meningkatkan kualitas kepuasan dari kebutuhan. Dengan kata lain income yg lebih tinggi berarti kebutuhannya juga bertambah namun yang menjadi pertanyaan apakah penambahan tersebut memperoleh kepuasan?
Jika harga barang dan jasa lebih murah dari income, ini umumnya terjadi. Kemudian pendapatan yang lebih tinggi datang dengan tingkat kemakmuran yang lebih tinggi karena orang secara individu dan bersama-sama mencapai tingkat kepuasan subjektif yang lebih tinggi. Lebih dari sekedar uang, tapi kurang dari keberuntungan, karena kebahagiaan juga tergantung pada tindakan yang tidak mengenal aspek ekonomi. Tentu saja, kita bisa melihat hubungan antara kemakmuran dan kebahagiaan sesuai dengan yg diinginkan.
Kedua konsep tersebut menyangkut keadaan mental orang. Kemakmuran mereka hubungkan dengan kebahagiaan, sangat mungkin bahwa tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi berkontribusi pada kebahagiaan orang. Bagaimanapun, kemakmuran yang lebih tinggi berarti bahwa orang-orang mencapai penilaian mereka sendiri untuk mencapai tingkat kepuasan dari kebutuhan yang lebih banyak.
Dalam hal ini, mereka menjadi lebih bahagia dan bahkan bisa bicara tentang arsitektur kebahagiaan seperti memiliki kursi yang indah, bingkai yang indah atau bangunan batu (De Botton, 2006). Hal ini tidak dikecualikan bahwa efek positif ini dieliminasi dengan mempengaruhi hubungan persahabatan, kehidupan keluarga dan pernikahan atau kebahagiaan secara negatif, sehingga orang merasa lebih tidak bahagia. Inilah isu di luar bidang ekonomi
Layard kurang menyadari hal ini. Di satu sisi, dia salah mengasumsikan bahwa sains ekonomi didasarkan pada kebutuhan yang diberikan dan tidak memiliki mata untuk perubahan dari dalam dan di bawah pengaruh barang serta jasa baru. Di sisi lain, ia memahami komponen yang tidak memerlukan alokasi (Layard, 2006, hal. C24-C34).
Kritik ini juga mencakup profesor ekonomi lingkungan Vrije Universiteit, J.C.J.M. van den Bergh, yang menggunakan kemakmuran dan kebahagiaan sebagai sinonim (Van den Bergh, 2005, hal 502-505). Dia menolak produk nasional bruto sebagai indikator kemakmuran atau kemajuan, tanpa memiliki gagasan yang jelas tentang konsep kesejahteraan dan sifat sains ekonomi. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, BNP paling tidak memiliki pendekatan terhadap pengembangan kemakmuran sosial, dalam arti kepuasan kebutuhan warga.
Bagaimana mungkin dalam beberapa tahun terakhir ini, ada pula yang mencoba membuat kehebohan dalam literatur ekonomi dengan pertanyaan apakah orang bahagia? Jawabannya sederhana. Ini ada kaitannya dengan keterbatasan kemakmuran terhadap perhitungan keuangan pendapatan, produksi dan pertumbuhan, yang kini telah umum terjadi selama beberapa dekade.
Terkadang ada kontradiksi antara kemakmuran dan kesejahteraan. Istilah ‘kemakmuran’ dipahami dalam pengertian yang sangat sempit, artinya uang, produksi fisik, industrialisasi dan barang konsumsi yang berkelanjutan. Kata ‘kesejahteraan’ menjadi agak kabur, digunakan untuk segala macam objek yang dianggap penting dan yang diyakini tidak termasuk dalam kata kemakmuran. Kita menginginkan lingkungan yang sehat, humanisasi tenaga kerja, lebih banyak waktu luang dan hiburan yang berarti dan mengangkat segala bentuk diskriminasi. Realisasi tujuan ini biasanya terjadi perebutan pada sumber daya yang langka.
Aspek ekonomi ini termasuk dalam konsep kemakmuran karena alokasi tersebut bertujuan untuk memenuhi kebutuhan. Sampai-sampai mereka menyebutkan benda-benda yang tidak memerlukan sumber daya yang langka, tidak ada aspek ekonomi dan isi dari istilah kesejahteraan merupakan bagian dari kebahagiaan. Sepanjang kesejahteraan mencakup semua bentuk kepuasan kebutuhan, yang meminta penggunaan sumber daya yang langka, isi dari istilah tersebut sepenuhnya bertepatan dengan kemakmuran. Penghapusan diskriminasi membuat masyarakat lebih bahagia, tapi tidak sejahtera karena penyediaan kebutuhan ini tidak menghasilkan sumber daya yang langka.
Dengan menghindari kontradiksi antara kemakmuran dan kesejahteraan, pengambilan keputusan tidak dipotong-potong. Keputusan Schiphol atau The Naardermeer diselenggarakan dengan membawa semua komponen kebutuhan subyektif satu sama lain. Klasifikasi faktor ekonomi dan non-ekonomi secara ilmiah tidak berkelanjutan dan menyebabkan diskusi membingungkan mengenai tujuan ekonomi yang tidak ada. Di sisi lain, aspek ekonomi untuk mencapai tujuan adalah dalam berurusan dengan sumber daya yang langka. Sekali lagi, perlu ditekankan bahwa pada akhirnya kebutuhan akan kepuasan warga negara dan bahwa sains ekonomi tidak dapat memberikan konten yang konkret dan objektif untuk tujuan ini.
Dalam situasi konkret apapun, lebih banyak keinginan terdaftar, yang semuanya merupakan dampak dari konsep kesejahteraan subyektif dan formal, dan yang saling terkait tidak terpisahkan, karena semuanya langka. Singkatnya, ilmu ekonomi merupakan aspek sains.
Prof Heertje kelahiran 1934, lulusan University of Amsterdam dalam bukunya De Kern van De Economie atau Intisari Ilmu Ekonomi mengupas sekilas tentang Tujuan dari Ilmu Ekonomi…. setiap cabang ilmu pengetahuan mempelajari sejumlah fenomena dari sudut pandangnya, sudut pandang biologi bebeda dengan sudut pandang psikologi. Kontribusi masing2 selalu terbatas. Berikut kutipan dari halaman 1 buku yg saya terjemahkan De Kern van De Economie edisi 2008.
Tujuan Ekonomi menjelaskan fenomena dari sudut tertentu. Dengan titik pangkalnya adalah kelangkaan atau scarcity. Timbul tensi antara kebutuhan terhadap makanan, pakaian, mobil, teater disatu sisi dengan tuntutan memenuhi kepuasan dari sisi lain. Arti kata scarce hendaknya dibedakan dengan kata jarang atau rare atau zeldzaam.
Eksistensi dari kata scarce tidak memiliki cukup basis dalam ilmu ekonomi. Jika daging sapi di suatu pasar tidak ada karena faktor transportasi dapatkah konsumen memilih daging ayam? Dengan demikian tidak adanya daging sapi tidak disebut langka atau scarce.
Contoh lain, lahan kosong yg terlantar dapat dipergunakan untuk membangun perumahan, untuk pertanian, untuk rekreasi dll. Pertanian di perkotaan bisa dibilang langka karena lahan dialihkan untuk aplikasi lain. Dengan demikian scarcity sesungguhnya adalah hasil dari proses memilih dari sejumlah alternatif. Adalah tugas ilmu ekonomi untuk menjelaskan kemudian memilih alternatif yang terbaik.
Prof Arnold Heertje mengajurkan agar para politisi memahami Ilmu Ekonomi
Diterjemahkan oleh gandatmadi46@yahoo.com.