IMPLIKASI PEMAHAMAN TAFSIR AL-QUR’AN TERHADAP SIKAP KEBERAGAMAAN (2)

Muhsin Mahfudz

Program Studi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir

Fakultas Ushuluddin Filsafat dan Politik UIN Alauddin Makassar

Implikasi Tafsir Skripturalis terhadap Radikalisasi Agama

 Membincang radikalisme agama yang bisa muncul dalam semua agama, jelas merupakan reaksi atau akibat dari ketidakpuasan seseorang atau kelompok penganut agama terhadap solusi-solusi yang ditawarkan oleh peradaban global. Ketika peradaban global mereduksi simbol-simbol keagamaan yang dinilai luhur, kekhawatiran sekelompok orang pun muncul untuk memperjuangkan kembalinya kejayaan itu. Akibatnya, Barat yang dianggap sebagai simbol peradaban global sering menjadi sasaran aksi radikalisme agama. Peristiwa 11 September 2001 atau yang lebih dikenal dengan istilah “tragedy of September 11th , serangan terhadap Sari Club dan Paddy’s Cafe di Legian, Bali dan aksi-aksi terror yang tak terhitung jumlahnya yang terjadi di belahan dunia Barat adalah bukti nyata atas penolakan dominasi peradaban global dewasa ini.

Secara motodologis, boleh jadi kedua corak interpretasi di atas (formalistik dan substantif) sangat berpotensi menciptakan radikalime agama, karena sebuah gerakan, selamanya didahului oleh sebuah konsep atau paham ideologi. Dan menurut Max Weber, ideologi keagamaan sangat kuat mempengaruhi berbagai sektor sosial. Jika agama dipercaya sebagai ajaran kesucian, maka akan sangat sulit untuk berubah, bahkan dapat mempengaruhi aspek lain dalam kehidupan sosial. Begitupun sebaliknya, jika agama berhasil dirasionalisasikan, maka akan mudah merasionalisasikan aspek lain dalam kehidupan sosial.(34)

(34)  George Ritzer, Classical Sociological Theory, Edisi ke-2 (New York: The McGraw-Hill Companies, 1996), h. 249.

Ada dua pendekatan dalam studi teks-teks keagamaan, yaitu pendekatan normatif dan pendekatan deskriptif. Pendekatan yang pertama bersifat apologetik yakni, berupaya menjelaskan agama dari aspek doktrin, keunggulan sistem nilai, otentisitas teks dan fleksibilitas ajarannya dalam sejarah dan masa depan umat manusia. Sementara pendekatan yang kedua (deskriptif) berupaya menjelaskan secara meyakinkan aspek-aspek historis dari seluruh doktrin-doktrin penting dalam suatu agama tanpa melibatkan diri dalam menilai kebenaran-kebenaran yang diyakini oleh pemeluknya.

Menurut Alwi Shihab, pendekatan normatif sangat dominan mempengaruhi studi agama-agama sejak masa Yunani dan Romawi kuno hingga Abad Pertengahan. Sementara pendekatan deskriptif mulai mereduksi pendekatan normatif pada akhir abad ke-19, sejak diperkenalkannya disiplin Ilmu Agama-Agama (the Science of Religions) oleh Max Muller (1823-1900), pemikir Perbendingan Agama asal Jerman.(35)

(35) Lihat Alwi Shihab, Islam Inklusif, Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, h. 46-48.

Pada pendekatan normatif, lebih jauh Alwi Shihab membuktikan pengaruhnya dengan menyebutkan sejumlah sarjana Barat dan Muslim. Dari Abad ke-7 hingga ke-12, dari pihak Kristen antara lain diwakili oleh St. John of Damascus (675-753), Theodore Abū Gurrah  (740-825), Catholicos Thimothy (728-823), dan Ammār al-Basarī (800-850). Tema sentral kajian mereka berkisar pada pembenaran ajaran Kristiani, penolakan terhadap kenabian Muhammad dan skeptifitas atas otentisitas al-Qur’an. Berikutnya adalah Elias al-Nāsibī (975-1046) dan Paus Gregorius VII (1020-1085). Keduanya berupaya membuktikan kebenaran agama Kristen dengan menunjukkan kontradiksi dalam ayat-ayat al-Qur’an. Dari Pihak Islam, misalnya ‘Āli ibn Sahl al-Taabarī (w. 855) dan al-Jāhiz (776-869) yang keduanya menulis buku dengan judul yang sama, al-Radd ‘ala al-Nashara, yang bertujuan menjelaskan jasa besar al-Qur’an dalam memunculkan kembali informasi tentang Nabi Isa as. Yang telah didistorsi oleh umat Kristiani. Selain itu, Ibn Hazm (994-1064) dan Imām al-Juwainī (1028-1085) yang ingin membuktikan kebenaran al-Qur’an dengan menelusuri kejanggalan dalam Perjanjian Lama dan Baru dan membedahnya untuk menunjukkan kelemahannya. Sementara, pada pendekatan deskriptif  Alwi Shihab menyebutkan nama-nama seperti Rudolf Otto, Emil Durkheim, Max Weber dan Hegel yang mereka adalah pakar-pakar di bidang Sosiologi Agama, Psikologi Agama, Fenomenologi Agama, sementara tokoh yang paling berjasa dalam bidang dialog antaragama dari kalangan muslim antara lain Isma‘īl Rāji al-Farūqī dan Mahamud Ayyūb.(36)

(36)  Baca Islam Inklusif, Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama

Informasi tersebut di atas telah membuktikan bahwa pendekatan yang berbeda terhadap pemahaman teks-teks agama, akan sangat kuat mempengaruhi interaksi doktrin dan pemikiran bahkan tindakan terhadap dunia lain. Lebih menyedihkan, pada batas-batas tertentu jastifikasi atas pendekatan yang digunakan dapat berakibat negetaif bagi kelangsungan hidup umat manusia, dan ini sangat bertentangan dengan tujuan universal agama dan ilmu pengetahuan.

Drama jastifikasi ajaran agama dan menuding agama lain jelas merupakan akibat yang ditimbulkan, tidak saja oleh interpretasi formalistik terhadap teks-teks keagamaan, tetapi juga oleh faktor sosiologis yang mengkoptasi pemikiran saat itu. Pengaruh perang salib antara Kristen dan Islam yang berlangsung selama satu setengah abad telah membekas kuat bahkan telah menjadi doktrin bagi kedua penganut agama yang bersaudara ini. Doktrin tersebut dapat dibuktikan dengan slogan-slogan yang sangat provokatif seperti sebutan “the holy war” (perang suci) bagi konfrontasi melawan komunitas muslim dan sebutan “al-jihad fI sabilillah” bagi konfrontasi melawan kaum Nasrani. Bahkan, selanjutnya menjadi ‘api dalam sekam’ yang telah menciptakan gerakan radikalisme agama di kemudian hari.

Sesungguhnya, potensi radikalisme dalam setiap agama selalu ada dan bisa bermakna positif sebelum ia menjadi gerakan politik. Karena itu, nama-nama seperti Gilles Kepel, Bruce B. Lawrence dan Mark Juergensmeyer berpandangan bahwa usia gerakan radikalisme agama masih terbilang muda. Munculnya, ketika pusat-pusat muslim telah merdeka dari penjajah Barat.(37)

(37) Tarmizi Taher, Anatomi Radikalisme Keagamaan dalam Sejarah Islam dalam Bahtiar Effendy dan Hendro Prasetyo [ed.], Radikalisme Agama (Jakarta: PPIM, 1998), h. 27-31.

Mungkin saja kesimpulan mereka di atas betul, akan tetapi jika membaca rekaman sejarah Islam, radikalisme agama dalam wujud gerakan politik tentu saja tidak muncul sebagai gerakan yang baru, melainkan suatu gerakan yang telah menyejarah. Pada tahun 37 Hijriah atau tahun 657/658 Masehi, telah muncul kelompok radikal Islam pertama yang dikenal dengan sebutan “khawarij” (keluar dari barisan khalifah Ali). Sebelum menyebut diri sebagai kelompok khawarij, mereka adalah orang-orang yang sangat berdedikasi tinggi terhadap Khalifah ‘Āli ibn Abī Taālib, tetapi ketika mereka merasa kecewa atas pendekatan dialog yang respons oleh Khalifah Ali dari pihak lawan, Mu’awiyah, maka mereka pun keluar dari barisan.

Pada awalnya, kelompok radikal Khawarij adalah pasukan garda depan Khalifah yang dengan kuat memberikan dukungan terhadap Khalifah dari tuduhan pihak Mu’awiyah atas keterlibatan Khalifah dalam drama pembunuhan Usman ibn Affan, Khalifah sebelumnya. Sebetulnya, tuduhan tersebut merupakan propaganda politis yang bertujuan agar keturunan Usman yang mewakili kelompok Sunni dapat meraih simpati publik dan sebaliknya menjatuhkan kelompok ahal al-bait yang mewakili kelompok Syi’ah. Di saat fitnah menfitnah semakin memanas maka konfrontasi terbukapun digelar dengan apa yang dikenal dengan “Perang Siffīn”. Menjelang kemenangan pihak Khalifah, Mu’awiyah mengangkat mushaf al-Qur’an di ujung tombak sebagai pertanda bahwa pihaknya mengajukan gencatan senjata. Khalifah Ali segera mengambil tindakan dengan menawarkan dua opsi kepada pasukannya, yaitu tawaran musuh diterima atau ditolak. Mayoritas menerima dan yang lainnya menolak. Rupanya Khalifah memilih yang mayoritas dengan opsi menerima tawaran gencatan senjata dan akan diteruskan ke meja perundingan yang dikenal dengan peristiwa arbitrase (tahakim). Pihak yang menolak opsi itulah yang kemudian menjadi cikal bakal lahirnya kelompok radikal Khawārij. (38)

(38)  Lihat H.U. Rahman, A Chronology of Islamic History 570 – 1000 CE (Cet. I; Inggris: Mansell, 1989), h. 38-40.

Hal yang penting dari bentuk radikalisme Khawarij dapat dilihat dalam dua hal. Pertama, penafsiran literal atau pemahaman tekstual terhadap ayat al-Qur’an. Mereka melegitimasi tindakan pemisahan kelompoknya dari Khalifah dan orang-orang Syiriah yang sebelumnya bersatu melawan Mu’awiyah melalui jastifikasi pemahaman dari sejumlah ayat-ayat suci al-Qur’an. Misalnya, mereka (Khawārij) menganggap Mu’āwiyah sebagai orang musyrik yang pantas dibunuh di mana saja ia bisa ditemukan berdasarkan ayat QS. Al-Taubah (9): 5.

Klaim musyrik tersebut didasarkan pada image mereka di masa lalu. Kata mereka: “dulu mereka selalu menolak seruan kami ketika kami mengajak mereka kepada kitabullah (the Book of God). Sekarang kalian (kelompok Khalifah) dan dia (Mu’awiyah) telah menuliskan satu dokumen dan kesepakatan tentang gencatan senjata dan permusyawaratan, sementara Allah telah menetapkan berakhirnya negosiasi dengan pihak musuh (musyrikun) setelah turunnya Surah al-Taubah ayat 29, kecuali atas orang-orang yang setuju membayar pajak (jizyah).(39)

(39) QS. Al-Taubah (9): 29: “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk”

Kedua, Klaim kafir terhadap kelompok Islam lain yang tidak sepaham. Di awal mendeklarasikan diri keluar dari kelompok Khalifah Ali, kelompok Khawārij mengklaim kafir terhadap orang-orang Syiria di bawah pimpinan Ziyād ibn al-Nadr dan kelompok Syiah di bawah pimpinan Khalifah Ali karena keduanya telah melakukan kompromi politik dengan pihak Mu’āwiyah melalui arbitrase. Menurut pandangan mereka pengambilan keputusan hukum hanya dilakukan oleh Allah SWT. (al-Qur’an) atau yang popular dengan “la haukma illa billah”. Karena itu, pihak Khalifah Ali dan Mu’awiyah serta masing-masing yang mendukung proses arbitrase tersebut telah membuat hukum sendiri di luar hukum Allah dan karenanya mereka adalah kafir.(40)

(40)  Mengenai perdebatan kelompok Khawārij dengan pihak Khalifah Ali dan pendukungnya selengkapnya lihat Ibnu Jarīr al-Thabarī, Tarīkh al-Rusul wa al-Muluk diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh G.R.Hawting dengan judul The History of al-Thabarī, Vol. XVII (The First Civil War) (Cet. I; New York: State University of New York Press, 1996), h. 100-103.

Ideologi yang dianut oleh kelompok Khawarij di atas, kemudian berkembang menjadi persoalan teologis dalam Islam. Belakangan lahir kelompok-kelompok lain yang memiliki pemahaman teologi yang berbeda, seperti Murji’ah, Qadariyah, Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Ideologi Khawārij yang radikal muncul kembali pada awal abad ke-18. Meskipun sulit dibuktikan apakah ada hubungan langsung secara hirarkis, tetapi munculnya gerakan Wahabiyah yang dibawah oleh Muhammad ‘Abd al-Wahhab (1703-1787) seakan menghidupkan kembali ideologi radikal kelompok Khawārij.

Beberapa ideoligi kelompok Wahabiyah – di luar Saudi Arabiyah disebut salafiyah – dapat disebutkan berikut, sebagaimana yang telah diidentifikasi oleh Vincenzo Oliveti: Pertama, Penolakan terhadap transmisi ijtihād yang tradisional kecuali al-Qur’an. Mereka berkata: “هم رجال ونحن رجال” (mereka laki-laki kita juga laki-laki) dalam arti bahwa mengapa kita harus menerima pendapat mereka (para ulama setelah generasi tabi’in) sementara kita juga bisa berijtihad seperti mereka?. Kedua, Penolakan terhadap Ushul Fiqh. Ushul Fiqh adalah perangkat teoritis dalam menentukan hukum Islam yang pada umumnya berdasar pada al-Qur’an, Hadis, Qiyas dan Ijma’. Formulasi seperti itu mereka tolak dengan membuka kembali selebar-lebarnya pintu ijtihad (re-opening the door of absolute ijtihād) dengan hanya berdasar pada al-Qur’an dan Hadis.

Ironisnya, menurut Oliveti, adalah mengapa mereka mengatakan membuka kembali (re-opening) pintu ijtihad sementara ulama sebelumnya tidak pernah menutup pintu ijtihad. Bahkan, mereka meletakkan syarat otoritas mujtahid – seperti menghafal sekurang-kurangnya 400.000 hadis – yang sebenarnya pendiri gerakan mereka, ‘Abd al-Wahhab, juga tidak dalam syarat itu. Di sanalah letak radikalisme Salafiyah. Ketiga, Penolakan terhadap tafsir (anti-reason) dan anti Filsafat, terutama yang memuat cerita-cerita isra’iliyat (Biblical references). Karena itu, mereka pun menolak tafsir al-Taabarī (w.923) sebab memuat banyak cerita isra’iliyat. Menurut mereka, al-Qur’an telah cukup lengkap menjelaskan segala sesuatu [QS. al-An’am (6): 38; QS. al-Nahl (16) 89] dan tidak perlu ditafsirkan lagi. Kalupun perlu harus ditafsirkan oleh hadis Rasulullah saw. Sejalan dengan hal ini, mereka berkata: “لاخير في القرآن بغيرسنة ولا خير في سنة بغير فهم سلفنا الصالح ” (tidak ada penjelasan yang betul dalam al-Qur’an selain dengan sunnah (Hadis) dan tidak ada penjelasan terhadap sunnah selain dengan pemahaman ulama salaf al-salih). Sementara Filsafat ditolak karena ia merupakan landasan utama lahirnya Teologi dalam Islam yang mereka sangat alerigi dengannya. Keempat, memahami al-Qur’an secara literal. Bagi kelompok Salafiyah, tidak ada alegori (kata kiasan) – atau dalam bahasa Arab disebut majaz – dalam al-Qur’an. Setiap kata dalam al-Qur’an harus dipahami secara literal, karena tak seorangpun di antara kita setelah ulama salaf yang berhak menafsirkannya. Kelima, anti kultural, terutama pada ‘high culture’ (budaya tinggi). Dan Keenam, Agresif dan represif. Artinya, kelompok Salafiyah sangat cepat menolak ketika melihat kultur dan mental yang berbeda dengan mereka.(41)

(41)  Sebetulnya, Oliveti memaparkan 22 ideologi atau doktrin Salafiyah, akan tetapi yang terpenting yang kami kutip hanya sebagian kecil yang dipandang sangat relevan dengan konteks pembahasan kami. Selengkapnya lihat Vincenzo Oliveti, Terror’s Source, The Ideology of Wahabi-Salafism and its Cinsequences (Cet. II; Inggris: Amadeus Books, 2002), h. 21-43

Dari sebagian kecil ideologi atau doktrin kelompok Salafiyah di atas, nampaknya tidak sulit menemukan kemiripan dengan ideologi kelompok Khawarij. Keduanya (Khawārij dan Salafīyah) mempunyai ideologi yang sangat eksklusif, sulit menerima pendapat orang lain diluar kelompoknya, terutama yang berbau rasional atau filsafat, dan sangat literal atau tekstual dalam memahami teks keagamaan. Persoalan yang kemudian muncul adalah apakah setiap ideologi eksklusif dan literal dalam pemahaman teks mempunyai berpengaruh kuat pada gerakan radikalisme agama?. Hal ini yang masih perlu dicermati lebih jauh.

Oliveti mengakui bahwa meskipun Islam fundamentalis sudah ada sejak lama, tetapi baru pada abad ke-20 secara signifikan dapat terbaca. Pada abad ini, terdapat tiga gerakan radikal yang berbeda, dua dari kalangan Sunni, yakni gerakan Salafiyah dan gerakan Ikhwan al-Muslimin dan satu dari kalangan Syi’ah, yakni Revolusi Iran (1979). Ikhwan al-Muslimin yang didirikan di Mesir pada tahun 1928 oleh Hasan al-Banna (1908-1949). Pada tahun 1980 mulai berinfiltrasi dengan ideologi Salafiyah dan pada tahun 2000 diketahui bahwa Ikhwan al-Muslimin benar-benar menjadikan ideologi Salafiyah menjadi roh perjuangannya. Sementara revolusi Iran berawal dari doktrin Vilayat al-Faqih yang diproklamirkan oleh Ayatullah Khomeini tahun 1960-an. Doktrin itu mengatakan bahwa umat muslim tidak wajib patuh pada pemegang otoritas di dunia ini karena mereka hanya boleh patuh pada Imam Mahdi yang dinanti kedatangannya di penghujung kehidupan. Tetapi karena saatnya belum tiba maka pemimpin dunia Islam dipegang oleh Imam tertinggi Syi’ah.(42)

(42)  Vincenzo Oliveti, Terror’s Source, The Ideology of Wahabi-Salafism and its Cinsequences, h. 16.

Mencari benang merah ideologi kelompok redikal agama seperti di atas hingga gerakan radikalisme agama dewasa ini, ada baiknya temuan David C. Rapoport berikut ini menjadi bahan perbandingan.

Rapoport, seperti yang dikutip oleh Mark Sedgwick, membagi gerakan radikalisme dalam bentuk terorisme ke dalam empat gelombang. Gelombang pertama dimulai sejak 1880-an di Rusia dengan Narodnya Volya, termasuk pula ‘masa kejayaan’ (golden age) terorisme internasional 1890-an, ketika anarkisme teroris membidik sejumah target penting seperti Presiden Prancis, Perdana Menteri Spanyol, Permaisuri Kaisar Austria, Raja Italia dan terakhir Presiden AS. Gelombang kedua, masa terorisme anti kolonialisme tahun 1940-an hingga 1960-an. Gelombang ketiga masa gerakan kiri terorisme (leftist terrorism) dari 1970-an hingga 1980-an. Dan Gelombang keempat adalah terorisme agama kontemporer, termasuk di dalamnya kelompok radikal al-Qaedah.(43)

(43)  Mark Sedgwick, ‘Al-Qaedah and the Nature of Religious Terrorism’ Terrorism and Political Violence, Vol. 16, No. 4 (Winter 2004), h. 796.

Saya tidak perlu membahas tiga gelombang pertama, karena meskipun semua bentuk terorisme merupakan gerakan politik, akan tetapi gelombang keempat adalah gelombang terorisme yang melibatkan agama sebagai spirit perjuangan ideologinya,(44) berbeda dengan bentuk terorisme sebelumnya.

(44)  Saya sependapat dengan Sedgwick bahwa radikalisme agama dalam bentuk aksi terror hendaknya dilihat secara terpisah antara radikalisme murni agama dengan radikalisme politis. Hal tersebut dapat dilihat dari adanya ‘obyek langsung’ (immediate objective) dan ‘tujuan-tujuan akhir’ (ultimate aims). Yang pertama pada umumnya merupakan bentuk radikalime politis sementara yang kedua biasanya murni tujuan agama. Rupanya, dalam konteks pertamalah al-Qaedah beraksi. Lihat Mark Sedgwick, ‘Al-Qaedah and the Nature of Religious Terrorism’ Terrorism and Political Violence, Vol. 16, No. 4 (Winter 2004), h. 195.

Lagi pula untuk melihat hubungan historis secara ideologis dari radikalisme agama klasik hingga kini, radikalisme agama gelombang keempat adalah lebih Ideologi radikal yang dianut oleh kelompok radikalisme agama klasik, seperti klaim pengkafiran, literalistik dalam memahami teks agama, ternyata juga ditemukan dalam kelompok radikalisme agama kontemporer. Para eksekutor penghancuran gedung WTC dan Markas Besar Militer di Pentagon sehari sebelum melakukan aksinya sempat melakukan serangkaian ritual yang sempat direkam oleh Juan Cole dalam sebuah tulisannya yang disebut sebagai “Doomsday Document” (dokumen hari kiamat). Dokument itu memuat 15 instruksi sebelum melaksanakan aksi pemboman. Dari 15 instruksi tersebut, dengan jelas terbaca bahwa para pelaku (raiders) menggunakan ritual-ritual agama (Islam) dalam membangkitkan semangat berani mati (suicide commitment). Pada instruksi pertama, misalnya, mereka diperintahkan bersumpah untuk menerima kematian, tetap mawas diri (tajdId al-tanbIh), mencukur rapi rambut, memakai parfum, dan mandi bersih secara ritual. Pada instruksi ketiga, mereka diperintahkan untuk membaca surah al-Anfal dan al-Taubah, merenungi maknanya dan pahala-pahalanya yang Tuhan persiapkan untuk kesyahidan. (45)

(45)  Juan Cole, Al-Qaeda’s Doomsday Document and Psychological Manipulation, (http://www.juancole.com/essays/qaeda.htm.) diakses pada tanggal 10 Maret 2005.

Apa yang menarik dari instruksi ketiga di atas adalah penggunaan ayat-ayat al-Qur’an dalam melaksanakan aksinya. Untuk membangkitkan semangat tanpa gentar, mereka dianjurkan untuk selalu membaca surah al-Anfal yang berarti “harta rampasan” yang dapat mendatangkan perasaan penuh harapan akan balasan Allah setelah syahid dalam aksinya. Secara khusus, dalam instruksi keempat meraka mengutuip surah al-Anfal (8): 46 Allah berfirman:

“Dan taatlah kalian kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kalian berselisih (paham) lalu (menyebabkan) kalian gentar dan kehilangan keberanian dan bersabarlah kalian sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar”

Ayat tersebut jelas dimaknai dengan sangat literal atau skripturalis, karena dengan menjastifikasi bahwa aksi mereka adalah bentuk ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah hal yang sangat mempersempit makna ayat. Potongan ayat yang berbunyi “wa lA tanaza’a fa tafsyala wa tadhaba rīhukum” digunakan sebagai pemicu psikologis dalam melancarkan aksinya.

Sementara itu, anjuran membaca surah al-Taubah yang berarti (pertobatan) merupakan jastifikasi ayat-ayat Allah untuk membelokkan aksi dekstruktif, karena tidak dalam keadaan darurat perang, menjadi suatu aksi yang suci (jihad). Surah al-Taubah (9): 5, sebagaimana yang telah di sebutkan di atas, merupakan ayat yang juga digunakan oleh kelompok radikal Khawarij ketika menghalalkan darah Mu’awiyah yang diklaim sebagai orang-orang musyrik. Kesamaan landasan ayat yang digunakan adalah bukti kesamaan ideologi sekaligus kesamaan metode pemahaman yang literal, tekstual atau skriptural sejak gerakan radikalisme agama zaman klasik hingga kontemporer.

Bom Bali adalah peristiwa yang paling dekat secara geografis dan emosional dengan umat Islam di Indonesia sekaligus membawa Imam Samudra ke dalam jeruji besi. Dengan jelas Imam Samudra mengakui bahwa dirinya menganut paham Salafiyah, yang ia lebih senang menyebutnya paham salaf al-ÒAliÎ (paham ulama-ulama klasik yang benar). Bahkan, ia menyebutkan nama-nama yang ia sebut sebagai ulama kaliber internasional yang menempuh metode Salaf al-Saāliha, seperti Syekh Muqbil al-Wādi’ī al-Yamānī, Syeik Rabī’ al-Madkhalī, Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Syeikh Bin Baz, Syeikh Hammud ‘Uqalā’ al-Syu’abī, Syekh Albānī, Syeikh Salmān Fahd al-Audah, syekh Dr. Safar al-Hawālī, Syekh Dr. Aiman al-Zawāhirī, Syekh Sulaiman Abū Gaits, Syekh al-Syahīd Dr. Abdullāh Azazām. Nama-nama tersebut, menurut Imam Samudra, dituduh oleh pihak-pihak tertentu sebagai kelompk Khawārij atau Murji’ah.(46)

(46)  Abdul Aziz/Imam Samudra, Aku Melawan Teroris (Cet.II; Solo: Jazera, 2004), h. 59-66.

Sebagai legitimasi atas aksinya di Legian Bali, Imam Samudra juga menguti ayat al-Qur’an, al-Taubah (9): 5, sama dengan kelompok radikal sebelumnya. Ayat tersebut dianggapnya sebagai landasan hukum tahap keempat atas wajibnya jihad memerangi seluruh kaum kafir dan musyrik, setelah tahap pertama (menahan diri [QS. al-Baqarah (2): 109]), tahap kedua (diizinkan perang [QS. al-Hajj (): 39]) dan tahap ketiga (wajib memerangi secara terbatas [QS. al-Baqarah (2): 190]) telah dilalui.(47)

(47)  Abdul Aziz/Imam Samudra, Aku Melawan Teroris, h. 125-132.

Dalam konteks kesalehan, berzikir (żikrullAh) dan sifat sabar (al-saabr) merupakan indikator kesalehan ritual, dalam arti bahwa berzikir dan bersabar adalah upaya yang dilakukan oleh seorang muslim untuk memperkuat kualitas ketakwaan secara internal, dan sama sekali tidak pernah dihubungkan dengan sikap berzikir dan bersabar dalam tindak kekerasan. Ironisnya, dalam “Doomsday Document” atau disebut juga “Last Night Document” kedua bentuk kesalehan tersebut (zikir dan sabar) begitu identik dengan kekuatan supra yang menjadikan seorang berani mati dan dapat menjadikan tindak kekerasan menjadi tindak kesucian.

Kesimpulan

 Kesimpulan yang dapat ditarik dari pembahasan di atas adalah bahwa dari sekian banyak ragam penafsiran terhadap al-Qur’an, akhirnya dapat didudukkan pada dua mainstream yaitu penafsiran yang bersifat Skripturalis dan penafsiran yang bersifat Subtansialis. Perbedaan tersebut, mungkin, sulit diidentifikasi pada level wacana karena keduanya merupakan akumulasi kecenderungan seorang penafsir yang mencakup motifasi, latar belakang intelektual dan wawasannya.

Kesimpulan lain adalah bahwa meskipun sulit diidentifikasi pada level wacana, sangat mudah dibedakan pada level praktis. Penafsiran Skripturalis umumnya mengekspresikan keberagamaan-nya dengan cara yang kaku dan formalistik, sementara Subtansialis umumnya lebih fleksibel dan esensialis. Sehingga, dalam memperjuangkan ideologinya masing-masing memberi warna yang berbeda.

diposting oleh gandatmadi46@yahoo.com

 

 

Post navigation

Leave a Reply

Your email address will not be published.