Apa yang dimaksud akurasi
Di dunia jurnalistik, kecepatan seringkali disandingkan dengan akurasi. Ya, akurasi informasi yang diberitakan dengan cepat. Apakah berita yang cepat itu akurat? Atau sebaliknya, yang penting cepat sampai dan jika ternyata keliru maka akan direvisi kemudian?
Sebagian pengelola ruang redaksi di media online mengatakan kecepatan adalah panglima. Siapa yang tercepat dialah yang menguasai pasar, begitu yang diyakin banyak pengelola media online.
Namun, seringkali kecepatan ini menjadi bumerang ketika ternyata informasi yang disebarkan keliru. Media massa (cetak, elektronik, online) pun akan kehilangan kredibilitasnya jika terlalu sering menyampaikan informasi yang keliru atau tidak akurat.
Akurasi meliputi banyak hal, di antaranya ketepatan penulisan nama, ketepatan penulisan angka, ketepatan pengungkapan waktu hingga detail tahapan suatu kejadian. Akurasi tak melulu soal fakta tetapi juga data bahkan penempatan tanda baca.
Bayangkan saja, jika seharusnya menulis 12,5 kg dan tertulis 125 kg atau sebaliknya. Jadi ini bukan tentang “hanya” kurang tanda koma. Tanda koma ini bermakna sebagai pembeda yang nyata.
Karena itu, akurasi harus menjadi salah satu poin penting yang selalu dipegang teguh oleh para jurnalis dalam menuliskan berita, tak peduli di masa lalu ataupun masa depan. Akurasi dalam jurnalistik merupakan hal yang harus diperhatikan tanpa mempersoalkan ruang dan waktu. Akurasi adalah bagian dari disiplin verifikasi yang menjadi pembeda antara media massa tepercaya dengan media sosial yang kerap kali tanpa identitas (anonim) sehingga sulit dicek
Seperti kita ketahui, tantangan jurnalis di era teknologi informasi ini memang berbeda dengan jurnalis di masa lalu. Jika dulu, kemampuan menulis atau bicara di depan layar kaca menjadi hal yang utama bagi jurnalis maka kini syaratnya menjadi lebih banyak.
Kini, jurnalis harus bisa menulis secara cepat dan akurat, harus dapat melakukan wawancara dengan efisien dan efektif. Jurnalis juga harus bisa menembus narasumber sulit dengan segera hingga mempunyai kemampuan mengoperasikan kamera untuk memotret atau merekam dengan kualitas prima. Jurnalis masa kini haruslah multitasking jika ingin tetap eksis.
Di sisi lain, ketika pekerjaan jurnalis dianggap sebagai sebuah rutinitas, maka kesigapan dan berbagai persyaratan yang serba tadi, dianggap kurang relevan. Jika jurnalis menganggap bahwa meliput di lokasi penugasan kantornya, seperti kantor menteri A, kantor gubernur Z atau markas kepolisian adalah rutinitas harian maka urgensi akurasi kadang terabaikan.
Akibatnya, jurnalis menyampaikan data kurang sesuai dengan informasi yang disampaikan narasumber atau bahkan kekeliruan dalam mengutip pernyataan atau data yang diungkap oleh narasumber. Ini yang berbahaya.
Mengutip pernyataan motivator dan pengusaha Amerika, Jim Rohn, maka ketidakakuratan informasi yang disebarkan media massa akan merusak kredibilitas media tersebut. Apalagi jika hal ini dilakukan secara terus-menerus meskipun tidak secara sengaja. Pembaca/penonton media akan hilang kepercayaan yang pada ujungnya akan menyebabkan media tersebut ditinggalkan audiens-nya.
ika ini yang terjadi maka secara ekonomi hal tersebut akan merugikan medianya. Bukan tidak mungkin, media bisa ditutup karena kehilangan kredibilitas. Apakah kondisi tersebut pernah terpikir para pengelola media? Apalagi saat ini banyak yang meragukan kelangsungan hidup media massa (baik cetak, online maupun elektronik) di tengah peluang bahwa semua orang bisa memproduksi informasi dan menyebarkannya secara cepat.
Dampaknya sudah mulai terasa. Saat ini, sebagian narasumber potensial mulai membatasi dirinya dari wawancara secara langsung dengan jurnalis.
Mengutip pernyataan motivator dan pengusaha Amerika, Jim Rohn, “accuracy bulids credibility” maka ketidakakuratan informasi yang disebarkan media massa akan merusak kredibilitas media tersebut. Apalagi jika hal ini dilakukan secara terus-menerus meskipun tidak secara sengaja. Pembaca/penonton media akan hilang kepercayaan yang pada ujungnya akan menyebabkan media tersebut ditinggalkan audiens-nya.
Jika ini yang terjadi maka secara ekonomi hal tersebut akan merugikan medianya. Bukan tidak mungkin, media bisa ditutup karena kehilangan kredibilitas. Apakah kondisi tersebut pernah terpikir para pengelola media? Apalagi saat ini banyak yang meragukan kelangsungan hidup media massa (baik cetak, online maupun elektronik) di tengah peluang bahwa semua orang bisa memproduksi informasi dan menyebarkannya secara cepat.
Dampaknya sudah mulai terasa. Saat ini, sebagian narasumber potensial mulai membatasi dirinya dari wawancara secara langsung dengan jurnalis.
Para narasumber ini lebih suka diwawancarai secara tertulis melalui WhatsApp ketimbang wawancara langsung. Alasannya, untuk menghindari kekeliruan penulisan yang dilakukan jurnalis, yang akan berakibat fatal bagi dirinya selaku narasumber. Padahal, dari sisi jurnalistik, wawancara langsung ini lebih hidup dan lebih dapat menggali informasi yang diperlukan, ketimbang wawancara tertulis melalui media apapun.
Namun, keengganan narasumber untuk diwawancara langsung juga dapat dipahami. Bayangkan jika informasi yang disampaikan menyangkut kepentingan orang banyak dan terjadi salah kutip.
Yang lebih fatal lagi, kesalahan informasi (berita) yang sudah disebarluaskan tidak bisa diralat begitu saja. Karena hal itu seperti menabur serpihan kertas ke langit yang akan sulit untuk dikumpulkan lagi. Apalagi di zaman ini, saat jempol kita bisa dengan sekali tekan menyebarkan informasi apa pun ke seluruh dunia, seketika.
Karena itulah, seharusnya rutinitas yang membuat para jurnalis “lengah” dengan akurasi dan ketepatan informasi bisa diantisipasi. Pelatihan untuk menyegarkan kembali dasar-dasar jurnalistik, dasar penulisan berita maupun kemampuan wawancara menjadi hal yang seharusnya dilakukan secara berkala. Tak perlu bergantung pada perusahaan media untuk melakukannya. Banyak asosiasi jurnalis yang bisa menjadi medium kegiatan ini.
Namun selain itu, kesadaran dari para jurnalisnya sendiri bahwa pekerjaan mereka bukanlah pekerjaan yang berulang -seperti pekerjaan administrasi- harus dimunculkan senantiasa. Jurnalis adalah profesi yang juga dikawal dengan kode etik. Jurnalis bukan pekerjaan biasa. Karena itu, tuntutannya juga lebih tinggi, senada dengan tuntutan pada profesi lain seperti dokter atau pengacara.
Persoalan akurasi adalah hal mendasar. Termasuk di dalamnya tentang salah kutip pernyataan narasumber yang kerap dianggap sepele. Jika media massa ingin tetap bertahan sebagai pusat informasi utama, pemberi edukasi, hiburan dan pembentuk opini publik maka awak media (manajemen dan jurnalis) tak bisa tinggal diam.
Tantangan zaman ini harus ditanggapi dengan strategi yang jitu. Salah satunya dengan senantiasa meningkatkan dan mengasah kemampuan jurnalisnya. Bagaimanapun para jurnalis di lapangan adalah ujung tombak media dan mereka adalah aset yang harus dijaga.
Era Post Truth
Post truth adalah suatu era dimana kebohongan dapat menyamar menjadi kebenaran. Caranya dengan memainkan emosi dan perasaan netizen. Apakah Indonesia pernah mengalaminya? Bukan hanya pernah, tapi sudah dan masih mengalaminya.
Era post-truth atau pasca kebenaran ditandai lebih dominannya keyakinan personal atas sebuah informasi dibanding fakta sesungguhnya. Kondisi ini menyebabkan makin tersebarnya hoaks atau berita bohong, terutama isu-isu terkait sosial politik saat ini.
Opini Publik
Di Indonesia, tingkat kepercayaan publik terhadap berita di media tergolong rendah menurut laporan Digital News Report 2021 yang dirilis Reuters Institute for the Study of Journalism, yakni 39 persen. Hanya 37 persen responden yang percaya pada berita di mesin pencarian dan 31 persen responden percaya pada berita di media sosial.
CNN Indonesia menjadi media yang mendapat tingkat kepercayaan tertinggi sebesar 68,94 persen, disusul Kompas sebesar 66,94 persen. Sedangkan tvOne menjadi media dengan tingkat ketidakpercayaan terbesar, yakni 12,34 persen, disusul Tribunnews sebesar 10,66 persen. Tempo sendiri memiliki tingkat kepercayaan terbesar kedelapan sebesar 59,86 persen dan tingkat ketidakpercayaan terbesar keempat sebesar 9,8 persen.
Media daring—termasuk media sosial— menjadi sumber berita paling populer, terutama di kalangan urban, yakni sebesar 89 persen, disusul media sosial sebesar 64 persen. Untuk mengakses berita, ponsel pintar menjadi alat terpopuler sebesar 85 persen, disusul komputer sebesar 37 persen.
Kredibilitas Madia Utama AS
Tingkat Kepercayaan Terhadap Media di Sejumlah Negara
Mohon di simpulkan wawancara video dengan Ekonom lulusan Australia dan Tokoh Muhammadiyah – Apakah Kesimpulan sudah cukup data?
diposting oleh gandatmadi46@yahoo.com