Argumen tentang  Demokrasi Militan

Oleh Katharina Pistor, Profesor Hukum Perbandingan di Sekolah Hukum Columbia, adalah penulis The Code of Capital: How the Law Creates Wealth and Inequality (Princeton University Press, 2019).

Project Syndicate Mei 2025

Dengan banyaknya orang di Jerman yang menyerukan pelarangan Alternative für Deutschland, kaum sayap kanan ekstrem dan rekan-rekannya menggambarkan diri mereka sebagai korban persekusi politik. Namun, mereka mencoba mencampuradukkan dua jenis rezim yang berbeda: demokrasi konstitusional dan “demokrasi rakyat” yang otoriter.

Pertanyaan tentang apakah, dan bagaimana, demokrasi harus membela diri dari subversi kembali menjadi isu yang panas. Di Jerman, semakin banyak orang yang menuntut proses hukum yang mungkin berujung pada pelarangan partai sayap kanan Alternative für Deutschland (AfD). Kantor Federal untuk Perlindungan Konstitusi – sebuah badan intelijen domestik – telah melabeli partai tersebut sebagai organisasi ekstremis, yang menyiratkan bahwa partai tersebut inkonstitusional.

Note: Subversi memiliki dua arti utama: pertama, sebagai tindakan merusak atau menggulingkan kekuatan yang ada, seperti pemerintahan atau institusi, melalui cara-cara tersembunyi atau kekerasan terbuka. Kedua, sebagai perangkat lunak pengelola versi sumber terbuka yang digunakan dalam pengembangan perangkat lunak untuk melacak dan mengelola perubahan pada berkas dan direktori dari waktu ke waktu.

Namun, dalam pemilihan presiden Rumania baru-baru ini, para pemilih menolak kandidat nasionalis sayap kanan, yang menunjukkan bahwa ancaman terhadap demokrasi dapat digagalkan di kotak suara. Debat serupa juga terjadi sebelum pemilihan umum AS tahun lalu, ketika negara bagian Colorado memimpin upaya untuk menyingkirkan Donald Trump dari daftar pemilih. Haruskah seorang kandidat dicoret dari pencalonan karena melanggar hukum, atau haruskah para pemilih selalu memiliki keputusan akhir?

Mengajukan pertanyaan dengan cara ini mengabaikan apa yang sebenarnya dipertaruhkan: masa depan demokrasi konstitusional, yang tidak sama dengan demokrasi rakyat. Konstitusi menetapkan aspirasi normatif sistem politik yang diciptakannya, termasuk hak-hak sipil dan politik fundamental. Konstitusi menentukan ruang lingkup dan batasan kekuasaan yang dapat dijalankan oleh berbagai cabang pemerintahan, termasuk mekanisme pengawasan dan keseimbangan di antara mereka.

Sebaliknya, demokrasi rakyat meniadakan batasan hukum, yang dianggap sebagai hambatan untuk mewujudkan kehendak rakyat yang sejati. Mao Zedong mungkin adalah pemimpin demokrasi rakyat yang paling terkenal. Ia memerintah dengan dekrit, membongkar sistem hukum, dan mencap tuan tanah, orang kaya, dan berbagai pengaruh buruk (termasuk pengacara) sebagai musuh rakyat. Semua tindakan tersebut ditindak tegas.

Apakah ini benar-benar mencerminkan kehendak rakyat masih belum dapat dipastikan, karena Mao hanya menyatakan dirinya sebagai satu-satunya suara rakyat. Ia juga menghapuskan pemilu; tetapi, tentu saja, ketika rakyat diteror hingga tunduk, mereka akan menghasilkan hasil apa pun yang diinginkan pemimpin, sehingga pemilu menjadi tidak berarti.

Adolf Hitler adalah contoh lain pemimpin yang mengaku mewujudkan kehendak rakyat yang sejati. Ia juga menentukan siapa musuh rakyat (komunis, pembangkang, Roma, Yahudi) dan memerintahkan pembersihan, pemenjaraan, dan pembunuhan jutaan orang. Namun, tidak seperti Mao, ia tidak sepenuhnya membongkar sistem hukum. Di balik pemerintahan teror Nazi terdapat sistem hukum yang telah dilucuti fondasi normatifnya, tetapi masih berfungsi seperti mesin yang diminyaki dengan baik dalam memutuskan masalah perdata, administratif, dan bahkan pidana. Jerman Nazi, tulis Ernst Fraenkel, adalah “negara ganda”: ia mengatur kehidupan rakyat biasa melalui hukum, tetapi “Sang Pemimpin” memerintah tanpa kendali hukum.

Meskipun Mao berkuasa melalui revolusi, namun upaya awal Hitler untuk merebut kekuasaan dengan paksa berujung pada pemenjaraannya. Namun, Hitler belajar dari kesalahannya dan menyusun rencana untuk meraih kekuasaan melalui cara-cara demokratis, lalu membongkar sistem dari dalam.

Ia mengubah National Socialist German Workers’ Party (NSDAP) menjadi sebuah gerakan yang secara sistematis mendiskreditkan institusi-institusi Republik Weimar dan menjadi alasan kebangkitannya. Nama partai tersebut dipilih dengan tepat. Dengan memasukkan kata “sosialis” dan “pekerja”, partai tersebut seolah menawarkan alternatif bagi partai-partai pro-pekerja yang ada, meskipun sebenarnya partai tersebut merupakan organisasi nasionalis radikal yang bertekad membebaskan Jerman dari cengkeraman musuh-musuh internal dan eksternalnya (sebagaimana ditentukan oleh Sang Pemimpin yang tak pernah salah).

Kali ini berhasil. Pada tahun 1932, National Socialist German Workers’ Party (NSDAP) menjadi partai terbesar di parlemen, melegitimasi sang mantan putschist. Ketika Hitler diangkat menjadi kanselir pada tahun berikutnya, ia bergerak cepat untuk melarang partai-partai pesaing dan menyempurnakan perebutan kekuasaannya dengan Undang-Undang Pemberian Kekuasaan (Ermächtigungsgesetz) yang kontroversial pada tanggal 24 Maret 1933. Sejak saat itu, undang-undang baru dapat menyimpang dari konstitusi, dan perjanjian internasional dapat diadopsi tanpa partisipasi legislatif. Sisanya adalah sejarah.

Dalam konteks ini, konstitusi pascaperang Jerman, Hukum Dasar, secara eksplisit dirancang sebagai “konstitusi militan” – sebuah istilah yang dicetuskan oleh ahli hukum Jerman Karl Löwenstein, yang melarikan diri dari Nazi Jerman ke Amerika Serikat. Konstitusi tersebut mengabadikan prinsip bahwa organisasi internal partai politik haruslah konstitusional (Pasal 21): “Partai yang, karena tujuan atau perilaku para penganutnya, berusaha untuk melemahkan atau menghapuskan tatanan dasar demokrasi yang bebas atau membahayakan keberadaan Republik Federal Jerman, adalah inkonstitusional.” Dengan demikian, proses hukum terhadap suatu partai dapat diajukan oleh majelis tinggi atau majelis rendah parlemen, dan oleh pemerintah, meskipun Mahkamah Konstitusi memiliki keputusan akhir.

Negara-negara lain juga memiliki mekanisme pertahanan serupa. Mekanisme ini mencakup pelanggaran pidana seperti pengkhianatan, prosedur pemakzulan terhadap pejabat, kewenangan darurat, dan mekanisme pelarangan partai politik. Bagi sebagian orang, mekanisme ini mungkin tampak seperti penyimpangan dari gagasan demokrasi liberal – sebagai cara sinis untuk menyingkirkan pesaing, seperti yang baru-baru ini dikatakan oleh kanselir baru Jerman, Friedrich Merz.

Namun, masalah dengan argumen ini adalah Anda hanya dapat mengalahkan pesaing dengan cara demokratis jika mereka sendiri mematuhi prinsip-prinsip demokrasi. Sebuah tim olahraga yang menunjukkan kesediaannya untuk melanggar aturan, dan mengabaikan keputusan wasit, tidak akan pernah dianugerahi gelar juara, betapapun antusiasnya para penggemarnya. Aturan memberlakukan batasan pada para pemain untuk memastikan permainan yang adil dan hasil yang sah. Hal ini berlaku baik dalam demokrasi konstitusional maupun sepak bola.

terjemahan bebas oleh gandatmadi46@yahoo.com

Post navigation

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *