KARAKTER TAK TERLUPAKAN: SOEKARNO PEMIMPI, PENGGAGAS DAN PELAKSANA
oleh:
Bambang Hidayat, Observatorium Bosscha ITB dan Jurusan Astronomi ITB, Bandung
Sudah banyak ditulis sketsa biografi tentang “anak fajar” kelahiran 6 Juni 1901 yang bernama Soekarno ini. Epitome kehidupannya terdini yg tercetak, kalau tidak salah, terbit pada tahun 1933 oleh wartawan Im Yang Tjoe. Setelah itu pada masa awal kepresidenannya M.Nasution pada tahun 1945 menerbitkan “Penghidupan dan Perjuangan Ir. Soekarno (sic: ejaan disesuaikan dengan kaidah penulisan sekarang). Menjelang akhir masa jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia, jadi 20 tahun setelah Nasution menggoreskan kalamnya, Cindy Adams mengemukakan sangkakala “An autobiography as told to Cindy Adams”.
Mantan fotomodel yang kemudian menjadi wartawati ABC ini telah menarik perhatian Soekarno karena perilaku dan tampangnya yg charmant dan menteteskan hagiographi Soekarno hampir seluruhnya berdasar bentuk-aku, dalam arti aku-nya Soekarno. Setelah Sukarno wafat terbit buku ke 2 Cindy Adams “My friend the dictator”. Buku ini memberi kesan pembelaan diri dan pencerahan bahwa bobot bukunya yang pertama adalah Sukarno seperti yang beliau lihat sendiri. Jadi merupakan sebuah ego dokumen.
Pada masa keluruhan Soekarno 1965-1970 penulisan tentang Presiden kita yang pertama ini tampak tidak obyektif karena sudah berselubung aura kebencian yang sangat mengarah kepada penjerumusan dan pengkucilan. Orang tidak usah mempelajari teori penjalaran disinformasi tetapi tampak bahwa berita tentang Soekarno dalam episode fajarnya Orde yang baru lahir di kala itu, di bangkitkan oleh mesin propaganda yang sangat mengenal phenomena permukaan subyeknya,yakni Soekarno. Dengan selubung indah, tetapi tak tembus pandang, proses demistifikasi dan demitosasi sering ber-langgam nada vulgar, yg hanya mengungkap sisi kurang cerah pribadi Soekarno. Sinyal dari sisi tersebut diamplifikasi, didistorsi (istilah tahun 2001:dipelintir) dan diloloskan melalui penapis-selektif-satupita sehingga subyek itu tinggal tampak, terutama, sebagai petualang politik yg dungu dan penyanjung wanita.
Wawasan politiknya, jerit dan pekik perjuanganya untuk rakyat dunia ke 3 menentang ketidakadilan, usahanya melepas-kan diri dari genggaman oligarki internasional dan “to build the world anew”nya, tenggelam dalam kritik yg dilandasi sandungan kerikil langkah Soekarno dalam kehidupan yang mendunia.Bahkan pada suatu saat timbul rasa canggung melihat dan membaca pemberitaan di harian yg biasanya tidak kuning memper mainkan impian dengan kenyataan.
Rangkaian berita tersebut kadangkala, walaupun dalam kebisuan, mengecambahkan tanda tanya besar:beginikah cara kita manusia Indonesia, yg terkenal atau memperkenalkan dirinya sebagai warga sopan dunia, menjatuhkan palu keputusan kepada salah seorang “the founding father” negaranya?. Tindak perorangan yang dapat terjadi secara alami dalam keadaan normal nir kebencian sering diletakkan di bawah lensa pembesar untuk mencari indikasi keterlibatan Soekarno dengan kemelut yang baru saja terjadi pada akhir bulan September 1965. Kepergiannya ke Halim Perdana Kusumah, umpamanya, pada pagi hari tanggal 1 Oktober 1965 atas nasihat para pengawal dapat diotak-atik, seperti memainkan potongan teka-teki mozaik dengan pola dasar suatu konsensus yang sudah disepakati.
Hasil pemetaan potongan kardus itu pada teka-teki menghasilkan citra di mana Soekarno tampak sebagai salah seorang yang mengetahui, atau setidaknya mempunyai praduga, akan terjadinya proses penting dalam ketata-negaraan yang sudah terpolarisasi oleh kekuatan kiri dan kekuatan lainnya. Nawaksara dan pelengkap Nawaksara pun yang diucapkannya sebagai pembelaan tidak membantu menjernihkan disput ini .
Tetapi presentasi siang ini tidak bermaksud untuk tinggal dan tenggelam ke dalam disput peristiwa kontroversial yang melibatkan dua orang (baca: dua orang) Presiden kita. Sesuai dengan dekorum hari ini, yakni memperingati 100 tahun lahirnya pendiri Republik, menurut hemat saya akan jauh lebih mengena jika kita mengungkap sikap Soekarno dari suatu keadaan yang bermakna dalam kehidupannya dan bagi penapak tilas. Tentu saja tulisan ini juga tidak harus merupakan laudatio saja, karena Soekarno sendiri pernah meninggalkan pesan bahwa epitap pada makamnya seseder-ana “Soekarno penyambung lidah rakyat.” Kedisiplinan ilmu yang penulis runut hampir tidak memungkinkan penulis ini melihat manusia berkapasitas mega pemikiran itu secara keseluruhan. Penilaian historis politik jelas di luar kemampuan penulis, namun ada wilayah minat penulis yang bersinggungan dengan kandungan sejarah perkembangan intelektual. Hendaknya juga dicatat bahwa membatasi tema itupun sebenarnya merugi karena sifatnya yg myopik tidak dapat menjangkau seluruh pesan dan kesan yg ada.
Sebabnya ialah karena denyut dan pancaran frekwensi cerebral cortex Soekarno, yang polyglot itu, sering menerobos perbatasan geografis negara dan budaya. Ungkapan bersayap “go to hell with your aids“, sebagai contoh, menimbulkan riak gelombang kejut ketidaksenangan para senator di Amerika dan maezena lain, yakni para penderma bagi kehidupan warga dunia ke 3. Mereka tersentak dan rasakan “misi suci”nya terusik. Tetapi teriakan lantang itu juga sekaligus mem-bangkitkan ingatan bahwa bantuan yang mencencang dan mengikat adalah manisfestasi pemikiran ekspansionistik gaya baru. Teriakan itu menggema ke panggung politik 30 tahun kemudian bahkan sekarang menjadi kredo pencari bantuan luar negeri agar waspada menerima bantuan asing. Pidato kenegaraan 17 Agustus 1964 yg berjudul “vivere pericoloso” demikian juga, selain dilahirkan oleh desakan beban keadaan di dalam negeri, yg perbendaharaan ekonominya sudah menurun mendekati alas-dasar pundi-pundi simpanan, mengandung peringatan agar berhati-hati meniti perjalanan globalisasi (waktu itu istilah ini belum lahir). Pidato itu disulut oleh situasi internasional yang sudah diintensifikasi dengan rasa “bersama aku atau lawan”. Dan dia ingin agar Indonesia yang berkemanusiaan tetap mandiri. Keprihatinan dan wawasan profetik yang tertuang ke dalam pidato 17 Agustus itu, oleh Soekarno biasanya disebut dialog antara Soekarno manusia dengan rakyatnya, merupakan dokumen intelektual.
bersambung