Oleh Dr Lili Yan Ing, Ekonom Indonesia. Doktor Filsafat tentang Perdagangan Internasional dari The Australian National University.
Sekjen Sekretaris The International Economic Association, is Lead Adviser for the Southeast Asian region at the Economic Research Institute for ASEAN and East Asia.
Project Syndicate 8 September, 2025
Protes yang saat ini melanda Indonesia bukanlah ledakan sesaat, melainkan puncak dari keluhan yang telah lama terpendam atas penyalahgunaan kekuasaan dan erosi norma-norma konstitusional. Untuk mengatasi ketidakpuasan yang meluas ini, Presiden Prabowo Subianto harus berfokus pada empat prioritas.
JAKARTA – Kurang dari 11 bulan menjabat, Presiden Indonesia Prabowo Subianto menghadapi pilihan yang sulit. Ia dapat dikenang sebagai pemimpin yang masa jabatannya diwarnai kemarahan dan ketidakpuasan publik, atau sebagai pemimpin yang menyadari tantangan yang dihadapi negaranya dan bertindak demi kepentingan nasional.
Protes anti-pemerintah yang melanda Indonesia selama dua minggu terakhir bukanlah ledakan sesaat, melainkan puncak dari keluhan yang telah lama terpendam terhadap penyalahgunaan kekuasaan, erosi norma-norma konstitusional, dan pelanggaran hak asasi manusia. Para pengunjuk rasa tidak menuntut permintaan maaf atau bahkan simpati dari presiden; mereka menuntut kesempatan untuk menjalani kehidupan yang layak di mana martabat dan hak asasi manusia mereka dihormati dan dijunjung tinggi.
Pemerintahan Prabowo telah menetapkan target untuk menjadikan Indonesia sebagai negara dengan ekonomi terbesar keempat di dunia pada tahun 2045 – sebuah target yang membutuhkan pertumbuhan tahunan berkelanjutan sebesar 8%. Namun, dengan 68% penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan yang seharusnya menjadi standar negara-negara berpenghasilan menengah ke atas, ambisi tersebut tidak akan berarti apa-apa jika jutaan warga negara masih terjebak dalam kemiskinan dan kesulitan
Bangsa Indonesia telah mengalami pertumbuhan pesat sebelumnya, terutama selama kediktatoran Suharto yang panjang (1967-1998), mantan mertua Prabowo. Mengingat sejarah tersebut, mereka tahu bahwa pencapaian pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif bergantung pada reformasi politik dan sosial, bukan pemerintahan otoriter.
Menyalahkan pemerintahan sebelumnya atau mengkonsolidasikan kekuasaan di antara partai-partai kunci – yang mungkin memberikan stabilitas jangka pendek tetapi melemahkan ketahanan demokrasi – tidak akan membebaskan pemerintah saat ini dari tanggung jawab atas keputusannya. Yang dibutuhkan Indonesia adalah langkah-langkah konkret untuk mengurangi kemiskinan, menciptakan lapangan kerja, dan memulihkan kepercayaan terhadap pemerintah.
Untuk memulihkan keretakan sosial yang semakin dalam di negara ini, para pembuat kebijakan harus berfokus pada empat prioritas mendesak. Pertama, mereka harus menegakkan pemisahan kekuasaan dan menghilangkan konflik kepentingan. Demokrasi hanya dapat berkembang ketika cabang eksekutif, legislatif, dan yudikatif beroperasi secara independen, namun di Indonesia, kekuasaan masih sangat terkonsentrasi. Banyak partai politik beroperasi sebagai perusahaan keluarga, dengan para pemimpinnya memegang peran eksekutif atau memiliki pengaruh yang sangat besar di berbagai lembaga. Konsentrasi ini mendorong budaya impunitas dan mengikis kepercayaan publik.
Aturan etika yang jelas sangat penting. Pejabat publik – termasuk presiden, anggota kabinet, dan pimpinan parlemen – tidak boleh menduduki jabatan partai, jabatan di badan usaha milik negara (BUMN), dan jabatan di sektor swasta secara bersamaan. Menghilangkan tumpang tindih ini akan mengurangi korupsi, memastikan bahwa kebijakan lebih berpihak pada warga negara daripada kepentingan pribadi atau partisan, dan memperkuat kredibilitas lembaga-lembaga demokrasi Indonesia.
Kedua, transparansi fiskal sangat penting untuk memberikan bantuan sosial yang lebih tepat sasaran dan mempercepat reformasi BUMN. Selama dua dekade, rasio pajak terhadap PDB Indonesia stagnan di angka 10-12%. Meskipun anggaran 2026 memproyeksikan pendapatan sebesar 12% dari PDB, angka awal 2025 masih jauh dari target ini – kekurangan yang diperparah oleh penurunan pendapatan komoditas.
Di saat yang sama, tekanan anggaran terus meningkat, menggarisbawahi perlunya disiplin fiskal. Program Makanan Bergizi Gratis pemerintah adalah contoh utamanya. Meskipun bertujuan baik, program ini sangat mahal, dengan anggaran sebesar 171 triliun rupiah ($10,3 miliar) yang diperkirakan akan meningkat menjadi 335 triliun rupiah pada tahun 2026. Pendekatan yang lebih efektif adalah melakukan uji coba program ini di lima daerah yang kurang terlayani, dengan biaya tidak lebih dari lima triliun rupiah, sambil melibatkan masyarakat setempat. Sisa dana dapat digunakan untuk mendukung guru, tenaga kesehatan, dan petugas pengelolaan sampah, atau mendanai program yang memberikan manfaat nyata bagi rumah tangga berpenghasilan rendah dan menengah.
Demikian pula, dana kekayaan negara Danantara yang baru, dengan anggaran 300 triliun rupiah, tidak diperlukan. Dengan utang publik sebesar 41% dari PDB, pinjaman baru seharusnya diarahkan untuk investasi produktif, alih-alih ekspansi birokrasi. Reformasi BUMN yang ada akan lebih murah, lebih cepat, dan lebih efektif. Meskipun konsolidasi telah mengurangi jumlah BUMN dari 118 pada tahun 2018 menjadi 64 pada tahun 2024, negara masih mendominasi berbagai sektor, mulai dari perbankan hingga perhotelan, sehingga menekan usaha kecil.
Ketiga, otoritas sipil harus diperkuat untuk mengekang campur tangan militer. Intervensi militer atau polisi dalam urusan sipil cenderung melemahkan institusi demokrasi. Di Indonesia, di mana militer masih memegang pengaruh politik yang signifikan, menjaga batasan yang jelas sangatlah penting. Hal ini berarti pengawasan kelembagaan yang terkodifikasi, pengawasan sipil yang lebih kuat, dan kepatuhan yang ketat terhadap norma-norma hak asasi manusia. Tanpa perlindungan ini, Indonesia berisiko terjerumus ke dalam ketidakstabilan seperti yang terjadi di Myanmar atau di beberapa wilayah Amerika Latin dan Afrika.
Terakhir, Rancangan Undang-Undang Pemulihan Aset (RUU Perampasan Aset) yang telah lama tertunda, yang akan memberi wewenang kepada negara untuk mengambil kembali kekayaan yang tidak proporsional tanpa menunggu putusan pidana, harus disahkan. Yang terpenting, tujuannya bukanlah untuk merampas aset secara sewenang-wenang, melainkan untuk memastikan aset publik yang dicuri dikembalikan kepada pemiliknya yang sah – rakyat. Pertama kali dirancang pada tahun 2008 dan diajukan ke DPR pada tahun 2012, RUU ini telah terbengkalai selama hampir dua dekade, memungkinkan para pelaku korupsi untuk menjarah sumber daya publik tanpa hukuman.
Dengan menetapkan proses perdata untuk pemulihan kekayaan yang tidak dapat dijelaskan (in rem asset recovery), undang-undang ini memenuhi kewajiban Indonesia berdasarkan United Nations Convention Against Corruption dan menunjukkan bahwa pemerintah berpihak pada warga negara dalam memerangi penyalahgunaan kekuasaan. Jika Prabowo menyalurkan kekayaan yang dipulihkan ini ke dalam program pendidikan, layanan kesehatan, dan sosial, ia dapat meninggalkan warisan yang sungguh transformatif.
Kepemimpinan Indonesia dapat memilih untuk memperdalam represi, atau mengambil jalan yang berbeda dan memperkuat pemerintahan yang demokratis. Warisan Prabowo tidak akan diukur dari selisih suara elektoral, melainkan dari apakah pemerintahannya menghormati hak asasi manusia, meningkatkan layanan kesehatan dan pendidikan, serta menciptakan lebih banyak lapangan kerja yang layak. Ia dapat dikenang sebagai presiden yang memimpin protes terbesar di Indonesia sejak era Suharto, atau ia dapat dirayakan sebagai pemimpin yang mewujudkan keadilan politik, sosial, dan ekonomi. Pilihannya ada di tangannya.
Posting oleh gandatmadi46@yahoo.com