Ekonomi Global bulan Maret 2023
Oleh Markus Brunnermeir, Professor of Economics dari Princeton University
Pandangan Tim IMF mengenai Ekonomi Indonesia tgl 17 Maret 2023
Dipimpin Ms. Cheng Hoon Lim
Ekonomi Global bulan Maret 2023
*Utang Pemerintah sekarang tinggi, sehingga setiap kenaikan suku bunga untuk menangkis ancaman inflasi membuat pembayaran utang lebih mahal – dengan implikasi fiskal yang merugikan bagi pemerintah dalam jumlah besar dan segera.. Sejak awal krisis COVID-19 di awal tahun 2020, terlihat juga bahwa kebijakan fiskal dapat menjadi pendorong inflasi yang signifikan.
*Sebagian besar negara mengalami inflasi yang berlebihan. Itu berarti sekarang ada trade-off yang jelas antara kebijakan moneter yang mencoba mengurangi aggregate demand dengan menaikkan suku bunga dan yang bertujuan untuk memastikan stabilitas keuangan.
*Sifat dan frekuensi shock telah berubah. Secara historis shock sebagian besar berasal dari kenaikan atau penurunan demand – dengan pengecualian yang menonjol dari supply shocks selama apa yang disebut stagflasi tahun 1970-an. Sekarang ada banyak shock: demand vs supply, risiko spesifik vs risiko sistemik, sementara vs. permanen. Sulit untuk mengidentifikasi sifat sebenarnya dari shock ini secara tepat waktu untuk merespons. Para bankir sentral harus lebih rendah hati.
Bank sentral tampaknya bertindak sebagai direktur ekonomi modern, menetapkan suku bunga dengan tujuan menstabilkan inflasi dan seringkali juga bertujuan mencapai full employment (di negara maju). Karena bank sentral menaikkan suku bunga dan pemerintah harus membayar lebih banyak utangnya, pihak peerintah diharapkan akan mengurangi pengeluaran, sehingga mendinginkan ekonomi dan menurunkan tekanan inflasi. Kemampuan bank sentral untuk menetapkan kebijakan moneter dan mengendalikan perekonomian di masa-masa sulit bergantung pada independensinya.
Suku bunga yang rendah dan tingkat hutang publik yang tidak terlalu ekstrim yang berlaku setelah krisis global memungkinkan bank sentral untuk mengabaikan interaksi yang relatif tidak penting antara kebijakan moneter dan fiskal.
Selama krisis COVID-19, keadaan berubah secara dramatis. Pengeluaran pemerintah meningkat tajam di sebagian besar ekonomi negara maju. Di Amerika Serikat, pemerintah federal memberikan dukungan besar-besaran dan sangat terkonsentrasi dalam bentuk “stimulus” yang dikirim langsung ke rumah tangga. Negara-negara Eropa pada awalnya menerapkan program yang agak lebih sederhana (sebagian besar fokus pada pencegahan pemutusan hubungan kerja atau PHK) dan pada program pengeluaran untuk membantu transisi hijau dan digital. Ekspansi fiskal tampaknya menjadi pendorong utama inflasi di Amerika Serikat, tetapi juga berkontribusi terhadap inflasi di Eropa. Tetapi karena pengeluaran meningkat, negara-negara dilanda shock supply dengan proporsi yang belum pernah terjadi sebelumnya, sebagian besar disebabkan oleh masalah terkait pandemi – seperti gangguan supply chain. Ini menambah tekanan inflasi.
Pandemi menunjukkan bahwa kebijakan moneter tidak selalu mengendalikan inflasi dengan sendirinya. Kebijakan fiskal juga berperan. Lebih penting lagi, penumpukan utang pemerintah yang menyertainya meningkatkan kemungkinan dominasi fiskal—di mana defisit pemerintah tidak merespon kebijakan moneter. Sementara tingkat utang yang rendah dan kebutuhan akan stimulus memungkinkan otoritas moneter dan fiskal untuk bertindak bersamaan setelah krisis keuangan global, prospek dominasi fiskal kini mengancam untuk mengadu domba mereka satu sama lain.
Bank sentral ingin menaikkan suku bunga untuk mengendalikan inflasi, sedangkan pemerintah membenci biaya bunga yang lebih tinggi. Mereka lebih suka bank sentral bekerja sama dengan memonetisasi utang mereka—yaitu, dengan membeli utang pemerintah yang tidak akan dibeli oleh investor swasta.
Bank sentral dapat mempertahankan independensinya hanya jika mereka berjanji untuk tidak menyetujui keinginan pemerintah mana pun untuk memonetisasi utang yang berlebihan, yang kemudian akan memaksa otoritas untuk memangkas pengeluaran atau menaikkan pajak, atau keduanya—yang disebut konsolidasi fiskal.
Bank sentral menghadapi tantangan baru dalam interaksi antara stabilitas moneter dan keuangan. Mereka sekarang beroperasi di lingkungan di mana utang swasta tinggi, premi risiko atas aset keuangan tertekan, sinyal harga terdistorsi, dan sektor swasta sangat bergantung pada likuiditas yang disediakan bank sentral dalam suatu krisis. Perbedaan utama antara periode setelah krisis 2008 dan situasi saat ini adalah inflasi yang terlalu tinggi.
Sekarang, dalam lingkungan yang memaksa bank sentral menaikkan suku bunga untuk melawan inflasi, tujuan stabilitas inflasi dan stabilitas keuangan mereka bertentangan. Ketergantungan sektor swasta, khususnya pasar modal, pada likuiditas bank sentral telah menimbulkan situasi dominasi keuangan, di mana kebijakan moneter dibatasi oleh kekhawatiran tentang stabilitas keuangan. Dalam lingkungan seperti itu, pengetatan moneter dapat mendatangkan malapetaka pada sektor keuangan dan semakin membuat ekonomi rentan terhadap gangguan kecil sekalipun. Tingkat dominasi keuangan tergantung pada apakah bank swasta memiliki modal yang cukup untuk menahan kerugian dan pada proses kebangkrutan swasta berlangsung tanpa gejolak. Undang-undang kepailitan yang berfungsi dengan baik akan melindungi sistem dari efek limpahan dari kegagalan institusi individu dan memperkecil kemungkinan bank sentral merasa harus menyelamatkannya. Masalah-masalah ini mempersulit bank sentral untuk menurunkan inflasi tanpa menyebabkan resesi—dan agak merusak independensi de facto mereka.
Ekonomi Indonesia
-Perekonomian Indonesia telah berhasil dengan baik melewati kondisi perekonomian global yang kompleks dengan perkiraan pertumbuhan sebesar 5 persen pada 2023, neraca transaksi berjalan secara umum seimbang, dan FDI serta aliran portofolio diperkirakan akan menguat.
-Dengan defisit anggaran 2022 sebesar 2,4 persen dari PDB, target 3 persen telah tercapai setahun lebih awal. Inflasi, yang mencapai puncaknya pada 6 persen tahun lalu, diperkirakan akan kembali turun ke target Bank Indonesia sebesar 3 persen pada pertengahan 2024. Dalam konteks ini, kebijakan makro perlu fokus pada menjaga stabilitas dan membangun ruang kebijakan untuk merespons guncangan di masa depan.
-Manajemen ekonomi makro Indonesia yang kuat menghasilkan tingkat utang terkelola dengan baik dan ruang kebijakan cukup memadai untuk merespons guncangan di masa mendatang. Ke depan, reformasi yang luas untuk mendorong iklim usaha yang kondusif, mendiversifikasi ekonomi, dan memitigasi perubahan iklim akan meningkatkan pertumbuhan dan menjadikannya lebih berkelanjutan.
Kebijakan Indonesia yang hati-hati, berwawasan ke depan, dan terkoordinasi dengan baik membantu Indonesia melewati kondisi perekonomian global yang sangat menantang pada 2022 dengan pertumbuhan yang sehat, inflasi yang menurun, dan sistem keuangan yang stabil dan profitable. Otoritas Indonesia menggunakan ruang kebijakan moneter dan fiskal secara fleksibel untuk memuluskan penyesuaian ekonomi terhadap guncangan global yang signifikan sehingga menempatkan ekonomi Indonesia pada posisi yang baik bagi pertumbuhan yang kuat dan inklusif secara berkelanjutan.
“Ekonomi terus tumbuh kuat. Didukung harga yang tinggi untuk banyak komoditas ekspor Indonesia, PDB tumbuh sebesar 5,3 persen pada 2022. Pertumbuhan diproyeksikan akan tetap kuat tetapi sedikit menurun menjadi 5 persen pada 2023karena harga komoditas kembali normal di tengah kebijakan yang lebih ketat.
“Dengan defisit anggaran 2022 mencapai 2,4 persen dari PDB, tim IMF memuji pencapaian target defisit anggaran 3 persen satu tahun lebih cepat dari jadwal oleh otoritas Indonesia. Harga komoditas yang tinggi dan pertumbuhan ekonomi yang kuat serta Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) membantu meningkatkan penerimaan pajak. Di sisi lain, penyesuaian harga bahan bakar pada bulan September membantu mengurangi beban subsidi yang meningkat. Ke depan, kebijakan fiskal pada 2023 perlu tetap netral secara umum, membantu Indonesia untuk memenuhi kebutuhan pembangunannya dengan tetap menjaga kredibilitas kebijakan.
“Bank Indonesia telah senantiasa waspada dalam memantau perkembangan inflasi termasuk memperketat kebijakan moneter untuk mengatasi risiko inflasi. Kebijakan saat ini secara umum netral, dan sesuai. Inflasi diperkirakan akan kembali ke target pada pertengahan 2024. Namun, BI perlu siap bertindak tegas jika tekanan terhadap harga muncul kembali. Seiring normalisasi perekonomian, BI dapat mengambil tindakan lebih lanjut untuk meningkatkan efektivitas kebijakan moneter. Pengakhiran kebijakan pembelian surat utang negara di pasar primer oleh BI patut dipuji. Seperti kebijakan pada saat pandemi, kebijakan tersebut perlu dibatasi hanya pada periode disfungsi pasar yang serius, terikat oleh waktu, dengan jumlah yang diumumkan sebelumnya, dan dengan batas waktu yang jelas. Hal ini akan membantu menjaga independensi dan otonomi operasional BI. Mengembalikan dan meningkatkan survei tentang ekspektasi inflasi juga akan memberikan kejelasan tentang dinamika harga dan memberikan informasi berharga dalam penyusunan kebijakan.
“Manajemen ekonomi makro Indonesia telah menjaga ruang kebijakan dan menciptakan penyangga yang kuat untuk merespons guncangan. Di tengah ketidakpastian kondisi global, kebijakan perlu tetap gesit dan diarahkan untuk menjaga rekam jejak stabilitas ekonomi dan keuangan Indonesia yang kuat. Nilai tukar perlu terus memainkan perannya sebagai peredam guncangandengan intervensi valuta asing mungkin masih dibutuhkan dalam kondisi dan guncangan tertentu.
Pemerintah telah mengambil langkah menuju mitigasi perubahan iklim. Strategi pemerintah sudah tepat pada reforestasi dan penggunaan lahan yang membutuhkan biaya penggantian yang relatif rendah. Dalam jangka panjang, reformasi subsidi energi dan penetapan harga karbon dapat memainkan peran penting untuk mengubah insentif dalam ekonomi mencapai emisi nol karbon pada 2060.
“Memajukan reformasi struktural luas yang mempromosikan lingkungan bisnis yang kondusif akan membantu meningkatkan pertumbuhan jangka panjang dan menjadikannya lebih berkelanjutan. Pemerintah layak dipuji atas berbagai peraturan perundang-undangan, termasuk dalam mereformasi pasar tenaga kerja dan sektor keuangan. Imlementasi yang tepat dari beberapa legislasi omnibus serta reformasi lebih lanjut untuk mengurangi hambatan pada pasar tenaga kerja, meningkatkan iklim investasi – termasuk dalam kepastian hukum dan kebijakan serta menghapus sejumlah instrumen non-tarif di perdagangan – mengembangkan sumber daya manusia, investasi dalam infrastruktur, dan memperdalam pasar keuangan akan berdampak baik bagi Indonesia. Strategi diversifikasi ekonomi pemerintah, dengan fokus pada sektor-sektor prioritas hilir dari komoditas ekspor Indonesia, dapat membantu meningkatkan lapangan kerja, ekspor, dan menghasilkan efek spillovers positif lintas sektor antara lain karena investasi asing dapat membawa teknologi dan keterampilan yang dapat digunakan untuk meningkatkan produktivitas industri lokal. Analisis cost-benefit berkala perlu menjadi dasar penilaian terkait keberhasilan kebijakan hilirisasi. Kebijakan industri juga harus dirancang untuk tidak menghalangi persaingan dan inovasi dan, pada saat yang sama, meminimalkan efek negatif. Dalam konteks ini, otoritas Indonesia perlu mempertimbangkan kebijakan dalam negeri untuk mencapai tujuan meningkatkan nilai tambah dalam produksi dan menghapus pembatasan ekspor secara bertahap.
gandatmadi46@yahoo.com