Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengumumkan bahwa Indonesia menyimpan potensi methane hydrate (metana hidrat) yang bisa menggantikan minyak bumi, batu bara, dan gas
Metana hidrat adalah senyawa hidro karbon yang unik, karena tidak seperti energi fosil lain yang berbentuk padat (batu bara), cair (minyak bumi), dan gas (gas alam), ia berbentuk kristal es. Namun tidak seperti es biasanya, ia mudah terbakar karena di dalamnya terperangkap gas metana dalam jumlah besar. Dari situ, ia mendapat julukan baru, yakni ‘Es Api’.
Menurut Arifin, potensi sumber daya metana hidrat di Indonesia saat ini diperkirakan mencapai 850 triliun kaki kubik (TCF) di dua lokasi utama yaitu perairan Selatan Sumatra hingga Barat Laut Jawa (625 TCF) dan di Selat Makassar Sulawesi (233,2 TCF).
“Jumlah tersebut setara dengan delapan kali lipat cadangan gas alam saat ini, sehingga kita berharap sumber energi alternatif baru ini akan mendukung ketahanan energi nasional,” tuturnya kepada pers, pada Selasa (15/6/2021).
Biaya Produksi
Energy International Agency (EIA) mengestimasikan bahwa Es Api sudah bisa diproduksi secara komersial pada 2025, dengan biaya US$ 4,7 hingga US$ 8,6 per MMBtu.
Biaya memproduksi tiap energi dari minyak tanah (kerosin) mencapai US$ 23,97/MMbtu. Batu bara yang saat ini menjadi energi termurah biaya produksinya mencapai US$ 10,18/MMBtu.
Eksplorasi dan Exploitasi
Senyawa ini sudah ditemukan sejak tahun 1960 di Rusia. Saat itu, ilmuwan menemukan akumulasi gas alam di zona hidrat-lapisan perairan (formasi hidrosfer). Temuan itu dipublikasikan di jurnal ilmiah Rusia bernama Doklady Akademii Nauk-salah satu jurnal ilmiah tertua, yang sayangnya sudah tidak lagi terbit sejak tahun 1992.
Meski demikian, ilmuwan Rusia belum berpikir untuk mengeksploitasi temuan Es Api di Siberia tersebut karena sifat senyawanya yang sangat rentan oleh perubahan tekanan, dan cadangan gas dan minyak saat itu masih melimpah.
Studi mengenai penggunaannya baru dimulai awal tahun 2000, di tengah menipisnya cadangan energi fosil konvensional. Salah satunya dilakukan oleh Stephen P. Hesselbo dalam makalah berjudul “Massive Dissociation of Gas Hydrate during A Jurassic Oceanic Anoxic Event.”
Dalam kurun waktu satu dekade terakhir, negara maju berlomba-lomba mengembangkan riset pemanfaatan Es Api. Bedanya, negara Barat seperti Amerika Serikat (AS), Rusia, dan Kanada memilih berburu gas metana yang terperangkap es kutub Utara, sementara negara Timur seperti Jepang dan China memilih berburu es di hidrosfer, tepatnya di dasar Samudera Pasifik.
Jepang menjadi negara Asia yang paling awal melakukan studi dan eksperimen ekstraksi Es Api, yakni sejak tahun 2013. Pasalnya, Negeri Sakura tersebut memang kini sudah tidak memiliki cadangan energi fosil konvensional dan bergantung pada pasokan gas dan batu bara impor.
Bencana nuklir Fukushima pada 2011 makin mendesak mereka untuk menemukan energi alternatif mandiri. Namun sampai sekarang Jepang belum menemukan know-how untuk mengeksploitasi Es Api tersebut secara aman, efisien, dan menguntungkan secara bisnis.
China mulai menguji coba ekstraksi Es Api pada tahun 2017. Negeri Panda ini mengumumkan bahwa pihaknya telah berhasil mengekstraksi senyawa tersebut ke permukaan bumi secara lebih efektif ketimbang Jepang.
Pada Maret 2020 lalu, Kementerian Sumber Daya Alam China dalam situs resminya menyebutkan bahwa pada 17 Februari hingga 18 Maret, pihaknya telah mencetak rekor dunia dengan mengangkat 861.400 meter kubik Es Api dari laut berkedalaman 1.225 meter.
Itu merupakan rekor ekstraksi Es Api terbesar dalam sejarah modern. Bahkan, China juga menyematkan diri sebagai pihak yang mengekstraksi Es Api terbanyak dalam sehari, yakni sebesar 287.000 meter kubik.
Keberhasilan China itu merupakan terobosan besar yang akan memperkuat pasokan energi gas, mengingat Es Api tersebut memiliki kandungan gas alam yang 10 kali lipat lebih besar dari gas celah bebatuan (shale gas).
Potensi Konflik di Kawasan Laut China Selatan
Kemungkinan besar, Es Api inilah yang menyebabkan China siap berkonfrontasi dengan negara-negara Asia Tenggara dalam kasus Laut China Selatan. Pasalnya, keberhasilan ekstraksi Es Api itu memang terjadi di titik geopolitik terpanas di kawasan Asia Pasifik tersebut.
Ya, kawasan yang berdekatan dengan pulau Natuna tersebut memang menjadi salah satu kantong penyimpan Es Api terbesar di Asia Pasifik. Dan harap dicatat, Es Api ini merupakan pemerangkap terbesar gas metana di alam, dengan persentase 53% atau nyaris dua kali lipat dari cadangan energi fosil konvensional.
Sementara kondisi alami permukaan di dasar laut China mengandung tanah liat, dan bukannya di permukaan pasir seperti di perairan Pasifik sekitar Jepang, atau di sumur penelitian AS dan Kanada
Resiko Besar
Menurut dokumen Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), tiap 1 ton gas metana memiliki efek rumah kaca 28 kali lebih buruk dari 1 ton CO2 dalam kurun waktu 1 abad. Ringkasnya, perlu 1 tahun bagi gas metana untuk menimbulkan kerusakan sama seperti kerusakan yang ditimbulkan oleh emisi CO2 selama 28 tahun.
Selain itu muncul kekhawatiran mengenai potensi tsunami. Di kalangan masyarakat Jepang, proyek ini mendapat penolakan karena kekhawatiran bahwa perubahan tekanan di dasar permukaan laut bakal mempengaruhi lantai samudera dan memicu gempa. Jika dinding laut roboh dalam skala masif karena perubahan tekanan, dikhawatirkan terjadi tsunami.
“Hilangnya metana hidrat bisa memiliki konsekuensi fatal. Gas hidrat bertindak seperti semen yang mengisi pori-pori antara partikel endapan dan menstabilkan dasar laut” tulis World Ocean Review dalam laporan berjudul “How Climate Change Alters Ocean Chemistry” (2010).
Kalangan pemerhati lingkungan juga mengkhawatirkan praktik eksploitasi Es Api di dasar laut berisiko merusak biota laut, karena permafrost tempat Es Api bersemayam juga merupakan habitat jutaan mikroplankton termasuk bakteri dan jasad renik berusia ribuan tahun.
Tidak ada yang tahu apa jadinya jika bakteri-bakteri kuno tersebut tersebut terlepas ke atmosfer dan mengada di tengah manusia modern. Akankah memicu gangguan kesehatan atau merusak ekosistem di permukaan bumi?
Namun, lingkaran setan pemanasan global bisa memberi alasan solid untuk melanjutkan eksplorasi Es Api. Pasalnya, peningkatan suhu bumi secara alami bakal membuat lapisan es dan permafrost mencair, yang diikuti terlepasnya gas metana ke atmosfer. Daripada terbuang langsung, lebih baik dipakai untuk pembakaran, begitu kurang lebih logikanya.
dikutip dari CNBC Indonesia
gandatmadi46@yahoo.com