Middle Income Trap
Adalah Menkeu Sri Mulyani yang mengingatkan bahwa jumlah orang miskin sekitar 30 juta orang akan sulit untuk dihapus selama Indonesia masih terperangkap kondisi ekonomi middle income atau yang di kenal dengan Middle Income Trap. Faktor penting agar kita bisa loncat adalah melakukan diversifikasi hasil produksi dan jasa dengan meninggalkan teknologi yang memanfaatkan keunggulan komperatif seperti tenaga kerja murah ( kerena melimpahnya pengangguran ). Teknologi yang demikian adalah low technology.
Salah satu indicator dimana posisi suatu negara adalah GDP income per capita PPP, indikator ini berbeda dengan income per capita yang kita kenal dimana posisi GDP Indonesia pada 2017 mendekati $ 4000 per capita. Angka ini diperoleh jumlah GDP dibagi dengan jumlah penduduk Indonesia. Namun GDP percapita PPP berbasis harga sekelompok barang ( basket of consumer goods ) disuatu negara dibandingkan dengan harga barang tersebut di US. Sekelompok barang tersebut diantaranya orange fruit, pensil, kertas, beras dst. PPP ini lebih mencerminkan the quality of life.
GDP per capita PPP
Singapore $ 82,762. Japan $ 37,390. South Korea $ 35,277. Malaysia $ 24,654. Thailand $ 16,835. Indonesia $ 11,699. Philippines $ 7,696. India $ 6,748. Vietnam $ 6,422
Daya Saing (Competitiveness)
Berdasarkan ranking ( 2017 – 2018 ); US no 2, Singapore 3,Nederlands 4, Djerman 5, Malaysia 23, Thayland 34, Indonesia 36, Viet 55, Filipina 56, Kamboja 94.
Dua belas pilar dari competitiveness:
Untuk mempertahankan daya saing pada tahap pengembangan ini, daya saing bergantung terutama pada institusi publik dan swasta yang berfungsi dengan baik (pilar 1), infrastruktur yang sesuai (pilar 2), kerangka kerja makro ekonomi yang stabil (pilar 3), dan kesehatan yang baik dan pendidikan dasar (pilar 4 ).
Seiring kenaikan upah dengan perkembangan yang maju, negara-negara beralih ke tahap pengembangan berbasis efisiensi, ketika mereka harus mulai mengembangkan proses produksi yang lebih efisien dan meningkatkan kualitas produk. Pada titik ini, daya saing semakin didorong oleh pendidikan dan pelatihan yang lebih tinggi (pilar 5), pasar barang yang efisien (pilar 6), pasar tenaga kerja yang efisien (pilar 7), pasar keuangan (pilar 8), kemampuan untuk memanfaatkan manfaat yang ada. teknologi (pilar 9), dan ukuran pasarnya, baik domestik maupun internasional (pilar 10)
Akhirnya, ketika negara-negara memasuki tahap inovasi, mereka hanya mampu mempertahankan upah yang lebih tinggi dan standar kehidupan yang lebih tinggi jika bisnis mereka dapat bersaing dengan menyediakan produk baru atau unik. Pada tahap ini, perusahaan harus bersaing dengan memproduksi barang baru dan berbeda dengan menggunakan proses produksi yang paling canggih (pilar 11) dan melalui inovasi (pilar 12).
Dengan demikian, dampak masing-masing pilar terhadap daya saing bervariasi antar negara, dalam fungsi tahap perkembangan ekonomi mereka. Oleh karena itu, dalam perhitungan GCI, pilar diberi bobot berbeda tergantung pendapatan per kapita bangsa. [8] Bobot yang digunakan adalah nilai yang paling baik menggambarkan pertumbuhan dalam beberapa tahun terakhir. Misalnya, faktor kecanggihan dan inovasi berkontribusi 10% terhadap skor akhir dalam ekonomi faktor dan efisiensi, namun 30% pada ekonomi berbasis inovasi. Nilai menengah digunakan untuk ekonomi dalam transisi antar tahap.
Laporan tahunan Global Competitiveness Index agak mirip dengan Ease of Doing Business Index dan Indices of Economic Freedom,, yang juga melihat faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi (tapi tidak sebanyak Global Competitiveness Index).
Kendala yg dihadapi Indonesia
Tiada pilihan lain jika Indonesia secepatnya ingin lolos dari Middle Income Trap untuk jangka menengah adalah menaikkan Value Added di sektor Manufacture (MVA), di sektor Pertanian (AVA) dan Jasa. Secara kasat mata sangat dibutuhkan investasi atau dana investasi a.l (a) untuk renovasi mesin2, pelatihan di sektor Industri, (b) untuk meningkatkan manajemen bibit pertanian, mekanisasi alat pertanian, penyuluhan (c) infra structure jasa pariwisata.
Total Debt to GDP (PDB) pada 2018 masih disekitar 30% sehingga kita memiliki ruang untuk mencari dana yang dibutuhkan untuk meningkatkan ranking menuju negara maju atau lolos dari Middle Income Trap. Kita mulai 2019 setelah terpilihnya Presiden secara bertahap menaikkan Utang, Debt to PDB menjadi 40%, di 2020 menjadi 45%. Saya optimis kita akan menjadi negara ekonomi maju pada 2021.
Note: Kalau perlu UU APBN yang membatasi defisit anggaran 3% dirubah menjadi 4-5%.
GG