Dengan Indonesia sebagai salah satu negara dengan ekonomi terbesar di dunia dan memiliki potensi pembangunan yang masif di tahun-tahun mendatang, peran usaha kecil dan menengah menjadi semakin penting bagi pemerintah. UKM berkontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia, karena mereka memainkan peran penting dalam inklusi sosial.
Dari menciptakan lapangan kerja hingga memiliki kemampuan untuk mengentaskan kemiskinan, UKM Indonesia menyumbang hampir 56 persen dari investasi bisnis dan 97 persen dari pekerjaan rumah tangga. Menyadari pentingnya UKM, tidak mengherankan jika pemerintah memberikan dukungan dengan berbagai cara, dengan strategi keuangan untuk memperkuat sektor tersebut. Namun, masalah utama tampaknya masih tetap ada, karena banyak pengusaha Indonesia masih menghadapi kesulitan untuk mencoba membangun dan mempertahankan usahanya.
Problem klasik
Profitabilitas dan pertumbuhan bisnis berkorelasi dengan ukurannya karena perusahaan yang lebih besar memiliki kemungkinan bertahan hidup yang lebih tinggi. Apakah UKM merupakan pilihan yang lebih berisiko? Meskipun sistem perbankan Indonesia mungkin telah membaik sejak krisis moneter sebelumnya, lembaga-lembaga ini masih sangat berhati-hati dan enggan memberikan pinjaman, terlepas dari kenyataan bahwa UKM merupakan kontributor utama perekonomian Indonesia. Namun, jika mereka meminjamkan, mereka sering membebankan kepada UKM dengan tingkat bunga yang lebih tinggi daripada dari perusahaan yang lebih besar. Usaha kecil dan menengah cenderung kesulitan mencari pendanaan yang memadai, karena lebih sedikit lembaga keuangan yang bersedia mendukung mereka.
Banyak dari UKM ini tidak memperbarui laporan keuangannya secara konsisten, yang dianggap oleh phak Bank sebagai investasi yang berisiko.
Faktor utama dalam manajemen dengan risiko kredit yang buruk adalah asimetri informasi antara pemberi pinjaman dan peminjam UKM. Banyak dari UKM ini tidak memperbarui laporan keuangannya secara konsisten, yang dianggap sebagai investasi berisiko bagi bank, terutama karena mereka memiliki lebih sedikit aset dan riwayat kredit yang belum banyak. Namun, mereka (UKM) yang (berbisnis) besar mengikuti aturan audit tertentu dari auditor eksternal, sehingga tampaknya ada lebih banyak keaslian dan kepercayaan dalam laporan keuangan mereka. Untuk menghilangkan konsekuensi yang mungkin terjadi, bank cenderung meminta agunan atau suku bunga yang lebih tinggi.
Meskipun pasokan pembiayaan untuk perusahaan baru (start-ups ) telah berkembang di negara-negara seperti Amerika Serikat, negara-negara seperti Indonesia masih menghadapi metode pendanaan yang tidak mencukupi untuk UKM mereka. Meskipun penting di Indonesia, kurangnya akses keuangan tetap menjadi masalah utama bagi dunia usaha. Pada tahun 2018, Badan Pusat Statistik mengungkapkan bahwa 93,5 persen usaha kecil harus mendanai usahanya menggunakan uang sendiri, sementara hanya 6,7 persen dari jumlah tersebut yang memiliki akses ke pinjaman bank. Meskipun tidak ada laporan terbaru, ini kemungkinan tidak berubah menjadi lebih baik, terutama mengingat pandemi Covid-19.
Menilai policy untuk UKM
Pendaftaran perusahaan bisnis menyoroti pentingnya menilai kebijakan pemerintah Indonesia dalam mendukung UKM. Dengan pendirian UKM yang membutuhkan biaya pendaftaran tinggi dan waktu proses yang lama, ukuran perusahaan “tidak resmi” telah meningkat pesat. Konsekuensinya, para pembuat kebijakan pemerintah Indonesia tampaknya mengkhawatirkan jumlah UKM akan menjadi bagian dari sektor informal. Karena firma-firma ini menghindari pembayaran pajak dan pendaftaran resmi, pemerintah kita mengalami kesulitan untuk mencari tahu bagaimana memberikan dukungan dan meningkatkan barang dan jasa publik mereka.
Selain itu, dengan sektor formal dan informal bersaing dalam industri yang sama, timbul ketimpangan biaya produksi marjinal (pajak dan biaya tenaga kerja). Ketika sektor informal memperoleh keuntungan biaya, ketidakmampuan untuk mengekspor barang secara legal dan mendapatkan kredit finansial dapat mengganggu pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Kurangnya akses dan pendalaman informasi tentang UKM juga menjadi masalah bagi pemerintah Indonesia. Agar pemerintah fokus pada penyusunan kebijakan makro dan mikro, perlu ada penekanan pada statistik UKM yang andal, komprehensif, dan terkini. Dengan sedikit variasi dalam bentuk informasi, hal ini telah menghalangi program yang disponsori pemerintah untuk mempelajari cara mendukung UKM. Jika masalah ini dihilangkan, akan ada cara yang lebih mudah untuk meningkatkan produktivitas mereka dan membantu mereka mengakses pasar. Selain itu, akses yang tidak memadai mendapat informasi tentang UKM menyebabkan menghilangkan kemampuan pembuat kebijakan untuk merancang sistem pendukung dan secara efisien menargetkan masalah dalam sektor UKM. Tampaknya jika hambatan komunikasi dan koordinasi antara kantor lokal dan nasional perlu diurai dan ditingkatkan secara signifikan, agar penetrapan dan implementasi kebijakan pemerintah berhasil.
Pemerintah Indonesia telah mensubsidi dan meringankan pembayaran bunga pinjaman untuk UKM akibat pandemi global. Karena usaha kecil dan menengah merupakan faktor penstabil yang penting dalam perekonomian Indonesia, pemerintah tampaknya khawatir tentang masa depan keuangan negara akibat detrimental effects yang menimpa UKM dari covid 19. Menteri Keuangan Indonesia, Sri Mulyani Indrawati, mengatakan bahwa pemerintah akan menanggung 6 persen dari bunga tersebut, dan memperpanjang pembayaran pinjaman hingga enam bulan lagi untuk bisnis ultra-mikro. Pemerintah juga akan membantu usaha mikro dalam membayar bunga pinjaman bagi mereka yang meminjam hingga Rp 500 juta (sekitar $ 34.000) atau lebih.
Mengoptimalkan peran
Pemerintah Indonesia memiliki banyak pilihan untuk UKM. Sektor UKM memainkan peran penting dalam perekonomian Indonesia sehingga mendukung bisnis ini bermanfaat bagi negara. Pertama, akses permodalan harus ditingkatkan. Dengan kurangnya akses ke lembaga keuangan di pedesaan dan daerah terpencil di Indonesia, UKM seringkali bergantung pada pendapatan individu atau dana lain untuk mendukung bisnis mereka.
Kedua, manajemen risiko kredit merupakan masalah klasik UKM yang juga dapat dimitigasi. Tampaknya ada tingkat kepastian yang lebih rendah antara bank dan UKM karena investasi tampaknya lebih berisiko. Jika bukan karena persyaratan agunan tambahan dan suku bunga yang lebih tinggi, lembaga keuangan cenderung menghindari pemberian pinjaman kepada bisnis dengan laporan dan catatan keuangan yang tidak memadai. Pemerintah pusat dapat meningkatkan status UKM dengan menggunakan program bantuan yang memberikan pendampingan yang sesuai yang dapat membantu mengembangkan bisnis mereka. Jika mereka dapat membangun diri mereka sendiri dengan cara yang lebih berwenang, hubungan antara pemberi pinjaman dan peminjam (UKM) menjadi lebih sehat dan operatif.
Konklusi
Meskipun banyak masalah kritis bagi UKM dan rekomendasi untuk mengatasinya telah dikemukakan dalam esai ini, masih banyak pertanyaan penelitian penting yang tersisa. Bagaimana jika pemerintah dapat memperluas aksesibilitas permodalan bagi wirausahawan di seluruh nusantara, membuat strategi umum untuk meminimalkan risiko kredit dan membuat sektor formal UKM lebih mudah didekati? Dalam hal ini, pengentasan kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi pasti akan terjadi. UKM tidak hanya akan diberi penghargaan sebagai pengusaha, tetapi juga menjadi kontributor yang lebih besar bagi pembangunan ekonomi Indonesia.
terjemahan bebas oleg gandatmadi46@yahoo.com