Keputusan Bahtsul Masail Maudhu’iyah PWNU Jawa Timur tentang Islam Nusantara di Universitas Negeri Malang13 Februari 2016.
A.Mukadimah
B.Poin2 Pembahasan
- Syafruddin Syarif. KH. Romadlon Khotib. KH. Marzuki Mustamar
- Farihin Muhson. KH. Muhibbul Aman Ali
Perumus:
1.Ahmad Asyhar Shofwan, M.Pd.I. 2.H. Azizi Hasbulloh. 3.H. MB. Firjhaun Barlaman
4.H. Athoillah Anwar. 5.H. M. Mujab, Ph.D
Moderator:
Ahmad Muntaha AM
Notulen:
Ali Maghfur Syadzili, S.Pd.I.-H. Syihabuddin Sholeh-H. Muhammad Mughits-Ali Romzi
ISLAM NUSANTARA
Mukadimah
Pakar sejarah Ibn Khaldun (1332-1406 M) dalam karyanya, Muqaddimah (37-38) mengatakan:
“Sungguh keadaan dunia, bangsa-bangsa, adat-istiadat dan keyakinan mereka tidak selalu mengikuti satu model dan sistem yang tetap, melainkan selalu berbeda-beda (berubah) seiring perjalanan hari dan masa, berpindah dari satu kondisi menuju kondisi lainnya. Sebagaimana hal itu terjadi pada manusia, waktu, dan kota, di berbagai kawasan, zaman, dan negeri juga terjadi/berlangsung sunnah Allah (sunnatullah) yang telah terjadi pada hamba-hambaNya.”
Di bumi Nusantara (Negara Kesatuan Republik Indonesia/NKRI) terdapat tradisi dan budaya dalam sistem pengimplementasian ajaran agama, sehingga hal itu menjadi ciri khas Islam di Nusantara yang tidak dimililiki dan tidak ada di negeri lain. Perbedaan tersebut sangat tampak dan dapat dilihat secara riil dalam beberapa hal, antara lain:
1.Dalam implementasi amalan Islam di Nusantara ada tradisi halalbihalal setiap tahun, haul, silaturrahim setiap hari raya (Idul Fitri), hari raya ketupat, baca sholawat diiringi terbangan, sedekahan yang diistilahkan selamatan 7 hari, 40 hari, 100 hari, dan 1000 hari, tingkepan, sepasaran bayi, sepasaran pengantin, arak-arak pengantin yang meliputi undang mantu, ngunduh mantu, sekaligus diadakan Walimatul ‘Urs baik oleh keluarga wanita maupun keluarga laki-laki, dan tradisi lainnya.
2.Dalam hal berpakaian ada yang memakai sarung, berkopyah, pakaian adat Betawi, Jawa, Papua, Bali, Madura, dan masih banyak model pakian adat lain, terutama telihat dalam pakaian pernikahan dimana pengantin dirias dan dipajang di pelaminan, dan lain sebagainya.
3.Dalam hal toleransi pengamalan ajaran Islam, ada yang shalat Id di lapangan, masjid, musalla, bahkan ada hari raya dua kali. Ada yang shalat Tarawih 20 rakaat, ada pula yang 8 rakaat. Diantara pelaksanaan Tarawih ada yang memisahnya dengan taradhi bagi empat al-Khulafa’ ar-Rasyidin, dengan shalawat, dan ada yang memisahnya dengan doa. Dalam acara akikah ada yang diisi dengan shalawatan, dan ada yang diisi tahlilan, dan selainnya.
4.Dalam hal toleransi dengan budaya yang mengandung sejarah atau ajaran, ada di sebagian daerah dilarang menyembelih sapi seperti di Kudus Jawa tengah yang konon merupakan bentuk toleransi Sunan Kudus pada ajaran Hindu yang menyucikannya, adat pengantin dengan menggunakan janur kuning, kembang mayang, dan selainnya.
5.Dalam toleransi dengan agama lain ada hari libur nasional karena hari raya Islam, hari raya Kristen, Hindu, Budha, Konghucu, dan ada hari libur lainnya.
Kemudian Islam Nusantara menjadi tema utama pada Muktamar NU ke 33 di Jombang. Munculnya istilah Islam Nusantara mengundang reaksi yang beragam, baik yang pro maupun yang kontra sejak sebelum Muktamar digelar sampai sekarang. Karena itu, PW LBM NU Jawa Timur memandang sangat perlu membuat rumusan tentang Islam Nusantara secara objektif dan komprehensif dalam rangka menyatukan persepsi tentang Islam Nusantara.
Pembahasan
1.Maksud Islam Nusantara
Islam adalah agama yang dibawa Rasulullah Saw., sedangkan kata “Nusantara” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah sebutan atau nama bagi seluruh kepulauan Indonesia. Wikipedia menambahkan, wilayah kepulauan yang membentang dari Sumatera sampai Papua itu, sekarang sebagian besar merupakan wilayah negara Indonesia. Ketika penggunaan nama “Indonesia” (berarti Kepulauan Hindia) disetujui untuk dipakai untuk ide itu, kata Nusantara tetap dipakai sebagai sinonim untuk kepulauan Indonesia. Pengertian ini sampai sekarang dipakai di Indonesia.
Sebenarnya belum ada pengertian definitif bagi Islam Nusantara. Namun demikian Islam Nusantara yang dimaksud NU adalah: a) Islam Ahlussunnah wal Jama’ah yang diamalkan, didakwahkan, dan dikembangkan di bumi Nusantara oleh para pendakwahnya, yang diantara tujuannya untuk mengantisipasi dan membentengi umat dari paham radikalisme, liberalisme, Syi’ah, Wahabi, dan paham-paham lain yang tidak sejalan dengan Ahlussunnah wal Jama’ah, sebagaimana tersirat dalam penjelasan Rais Akbar Nahdlatul Ulama Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari dalam Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah (h. 9).
Selain itu, Islam Nusantara menurut NU juga dimaksudkan sebagai b) metode (manhaj) dakwah Islam di bumi Nusantara di tengah penduduknya yang multi etnis, multi budaya, dan multi agama yang dilakukan secara santun dan damai, seperti tersirat dalam pernyataan Syaikh Abu al-Fadhl as-Senori Tuban dalam Ahla al-Musamarah fi Hikayah al-Auliya al-‘Asyrah, (h. 23-24) saat menghikayatkan dakwah santun Sayyid Rahmat (Sunan Ampel):
Dalam kitab yang sama, Syaikh Abu al-Fadhl as-Senori juga memaparkan dakwah Maulana Ishaq (paman Sunan Ampel) yang didahului dengan khalwat untuk riyadhah (tirakat) menjaga konsistensi mengamalkan syariat, baik ibadah fardhu maupun sunnah. Kemudian dengan karamahnya mampu menyembuhkan Dewi Sekardadu putri Minak Sembayu Raja Blambangan Banyuwangi yang sedang sakit dan tidak dapat disembuhkan para tabib saat itu, sehingga dinikahkan dengannya dan diberi hadiah separuh wilayah Blambangan. Jasa besar, posisi strategis, dan keistikamahan dakwahnya menjadi sebab keberhasilan dakwahnya mengislamkan banyak penduduk Blambangan, Banyuwangi (Ahla al-Musamarah, h. 24-26).
2.Metode Dakwah Islam Nusantara
Sampai kini masih terjadi perbedaan pendapat di kalangan sejarawan tentang masuknya Islam di Nusantara. Diantara yang menjelaskannya adalah ulama Nusantara Syaikh Abu al-Fadhl as-Senori dalam Ahla al-Musamarah, Islam masuk ke Nusantara (Jawa secara lebih khusus) pada akhir abad keenam Hijriyyah, bersamaan dengan kedatangan Sayyid Rahmat dan Sayyid Raja Pandita dari Negeri Campa (Vietnam sekarang) ke Majapahit untuk menjenguk bibinya, Martanigrum, yang menjadi istri Raja Brawijaya. Sementara menurut Sayyid Muhammad Dhiya’ Syahab, dalam ta’liqatnya atas kitab Syams adz-Dzahirah, Sayyid Ali Rahmat datang ke Jawa pada 751 H (1351 M). Meskipun demikian, semua sepakat bahwa Islam masuk ke Nusantara dengan dakwah santun dan penuh hikmah.
Metode dakwah Islam Nusantara yang ramah, santun dan penuh hikmah, setidaknya meliputi metode dakwah Islam Nusantara masa Walisongo dan masa kekinian. Pertama, metode dakwah Islam Nusantara pada masa Walisongo sebagaimana tergambar dalam Ahla al-Musamarah fi al-Auliya al-‘Asyrah yang antara lain dengan:
a.Pendidikan: pendidikan agama Islam yang kokoh meliputi syariat, tarekat, dan hakikat sebagaimana pendidikan yang dilangsungkan oleh Sunan Ampel.
b.Kaderisasi: menghasilkan generasi penerus yang konsisten menjalankan syariat, riyadhah, dan menjauhi segala kemungkaran, sehingga mampu menjadi pimpinan yang mengayomi sekaligus disegani di tengah masyarakatnya dan mampu mengajaknya untuk memeluk agama Islam, seperti halnya yang dilakukan oleh Sunan Ampel dan pamannya, Maulana Ishaq, dalam mendidik anak-anak dan murid-muridnya.
c.Dakwah: konsistensi menjalankan dakwah yang ramah dan penuh kesantunan sebagaimana dakwah Walisongo sehingga menarik simpati dan relatif diterima masyarakat luas.
d.Jaringan: jaringan dakwah yang kokoh, sistematis, dan terorganisir, penyebaran murid-murid Sunan Ampel. Sunan Bonang di Lasem dan Tuban, Sunan Gunungjati di Cirebon, Sunan Giri di Tandes, Raden Fatah di Bintoro, Sunan Drajat di Lamongan dan Sedayu, dan selainnya.
e.Budaya: seperti pendirian masjid sebagai pusat peradaban Islam, seperti masjid Ampel, Masjid Demak.
f.Politik: politik li i’lai kalimatillah yang bersentral pada musyawarah ulama.
(Referensi: Ahla al-Musamarah, h. 14-48 dan Syams adz-Dzahirah, I/525).
Kedua, metode dakwah Islam Nusantara di masa kini secara prinsip sama dengan metode dakwah di masa Walisongo, meskipun dalam strateginya perlu dilakukan dinamisasi sesuai tantangan zaman, dengan tetap berpijak pada aturan syar’i. Secara terperinci metode tersebut dapat dilakukan dengan:
a.Berdakwah dengan hikmah, mau’idzah hasanah, dan berdialog dengan penuh kesantunan.
b.Toleran terhadap budaya lokal tidak bertentangan dengan agama.
c.Memberi teladan dengan al-akhlak al-karimah.
d.Memprioritaskan mashlahah ‘ammah daripada mashlahah khasshah.
e.Berprinsip irtikab akhaff ad-dhararain.
f.Berprinsip dar’ al-mafasid muqaddam ‘ala jalb al-mashalih.
Ulama sepakat mashlahah yang dijadikan dasar adalah mashlahah yang punya pijakan syariat, sehingga mashlahah yang mengikuti hawa nafsu ditolak. Sebab, bila mashlahah dikembalikan kepada manusia maka standarnya akan berbeda-beda sesuai kepentingan masing-masing. Inilah yang melatarbelakangi rumusan fikih dikembalikan pada madzahib mudawwan (mazhab yang terkodifikasi). Allah Swt. berfirman:
Imam al-Ghazali dalam al-Mustashfa mengatakan, orang menganggap mashlahah tanpa dasar dalil syar’i maka batal. Beliau juga mengatakan, mashlahah yang dilegalkan syara’ adalah menjaga al-kulliyah al-khams, yakni:
a.Melindungi agama b.Melindungi nyawa c.Melindungi akal d.Melilndungi keturunan e.Melindungi harta.
Terkait mashlahah mursalah atau munasib mursal yang diutarakan Imam Malik, maka fuqaha Syafi’iyyah, Hanafiyah dan bahkan Ashab Imam Malik sendiri telah melarang mencentuskan hukum dengan dalil mashlahah mursalah. Lalu apa maksud maslahah mursalah Imam Malik ini? Jika Imam Malik memang melegalkan mashlahah mursalah, maka ulama menginterpretasikan bahwa yang dimaksud Imam Malik adalah al-mashlahah ad-dharuriyyah al-kulliyyah al-qath’iyyah, bukan dalam setiap mashlahah.
Seperti halnya dalam kondisi perang, tentara kafir menjadikan sejumlah orang Islam sebagai perisai, padahal andaikan mereka berhasil menerobos maka berakibat fatal karena dapat menguasai/menjajah negeri kaum Muslimin, sedangkan bila diserang jelas-jelas akan menjamin keamanan bagi kaum Muslimin yang lebih banyak, namun pasti mengorbankan sejumlah orang Islam yang dijadikan sebagai perisai tersebut. Dalam kasus ini, penyerangan terhadap mereka sangat ideal dan kemaslahatannya sangat nyata (termasuk kategori al-mashlahah ad-dharuriyyah al-kulliyyah al-qath’iyyah), meskipun tidak terdapat penjelasan dari syara’ apakah dii’tibar atau diilgha’kan. Dalam kasus ini Imam Malik membolehkan penyerangan dengan dalil mashlahah mursalah, tidak dalam semua mashlahah.
Cara mengaplikasikan kaidah maslahah dalam realitas saat ini adalah dengan: a.Mengembalikannya pada dalil-dalil syariat. b.Bemilah-milah antara hukum yang bersifat ta’abbudi (dogmatif) dengan hukum ta’aqquli (yang diketahui maksudnya). c.Membedakan antara hikmah dan ‘illat.
(Referensi: Al-Bahr al-Madid, IV/95, Tafsir al-Bahr al-Muhith, VI/48, al-Mahshul fi ‘Ilm al-Ushul, V/172-175, al-Mustashfa, VI/48, al-Ihkam, IV/160, at-Taqrir wa at-Tahbir, III/149, Tafsir al-Bahr al-Muhith, VI/48, dan Tafsir al-Bahr al-Muhith, VI/48).
3.Landasan dalam Menyikapi Tradisi/Budaya
Islam tidak anti terhadap tradisi/budaya, bahkan sebaliknya Islam akomodatif padanya. Hal ini setidaknya dapat dibuktikan dengan dua hal, yaitu berbagai ayat al-Quran dan hadits yang dalam redaksinya mengakomodir tradisi/budaya; dan beberapa tradisi/budaya jahiliyah menjadi ajaran Islam. Selain itu, dakwah Islam di Nusantara ketika berhadapan dengan berbagai tradisi/budaya bisa dilakukan dengan berbagai pendekatan sebagaimana akan dijelaskan.
a.Redaksi Ayat Al-Quran dan Hadits yang Mengakomodir Tradisi/Budaya Masyarakat
Pertama, ayat tentang riba
Jika dipahahami dari makna literalnya, riba yang dilarang dalam ayat ini hanya riba yang berlipat-ganda, bukan riba yang sedikit. Tetapi tidak ada satupun pendapat Imam Mujtahid yang membolehkannya meskipun sedikit.
Kedua, ayat tentang menikahi anak tiri:
Secara literal ayat ini hanya menyebutkan keharaman menikahi anak tiri yang ibunya sudah disetubuhi jika anak tiri tersebut dirawat ayah tirinya. Tapi tidak ada satupun Imam Mujtahid yang menghalalkan orang menikahi anak tiri yang ibunya sudah disetubuhi, baik anak tersebut dirawat ayah tirinya ataupun tidak. Sebab penyebutan kata فِي حُجُورِكُمْ merupakan pengakomodasian budaya jahiliyyah dimana jika ada percerian maka anak perempuan mereka cenderung mengikuti ibunya meskipun harus hidup bersama ayah tiri, daripada mengikuti ayahnya tapi harus hidup bersama ibu tiri, karena biasanya yang kejam adalah ibu tiri bukan ayah tiri.
Ketiga, ayat tentang perempuan dan laki-laki jalang:
Dalam ayat ini pula, secara literal Allah menjelaskan bahwa wanita jalang untuk pria jalang, dan sebaliknya; dan wanita shalihah untuk pria shalih dan sebaliknya. Tapi dalam syariat tidak diharamkan wanita jalang bersuami pria shalih dan sebaliknya. Penjelasan ayat di atas hanya sekedar mengakomodir budaya, yakni orang-orang baik biasanya akan memilih orang-orang baik dan sebaliknya. Selain itu, masih banyak ayat redaksinya mengakomodir budaya, sehingga secara implisit mengajarkan agar melestarikan budaya.
Keempat, anjuran untuk menjaga etika daripada melaksanakan perintah yang tidak wajib. Meskipun ada hadits yang melarang berdiri karena kedatangan Nabi Saw., namun dalam hadits lain beliau membiarkan Hassan Ra. berdiri menghormatinya sesuai tradisi masyarakat Arab. Bahkan di hadits lain beliau memerintahkan para sahabat untuk berdiri menghormati Mu’adz bin Jabal Ra.:
(Referensi: Rawai’ al-Bayan, I/292-293 dan 1455 dan I’anah ath-Thalibin, III/305).
b.Pengakomodiran Tradisi/Budaya Jahiliyah Menjadi Ajaran Islam
Pertama, tradisi puasa Asyura yang biasa dilakukan masyarakat Jahiliyah diakomodir menjadi kesunnahan dalam Islam:
Kedua, tradisi akikah yang pada masa Jahiliyah diakomodir menjadi kesunnahan dalam Islam, kecuali kebiasaan mengolesi kepala bayi dengan darah hewan akikah diganti dengan mengolesinya dengan minyak wangi.
Ketiga, ritual-ritual haji. Seperti thawaf yang sudah menjadi tradisi kaum Jahiliyyah dalam Islam ditetapkan sebagai salah satu ritual haji, namun dengan mengganti kebiasaan telanjang di dalamnya dengan pakaian ihram.
Keempat, kebolehan untuk menerima hadiah makanan dari tradisi kaum Majusi di hari raya mereka selain daging sembelihannya.
(Referensi: Syarh an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim, VIII/9, as-Sirah an-Nabawiyah karya Ibn Ishaq, III/305, dan Mushannaf Ibn Abi Syaibah, XII/249).
c.Pendekatan Terhadap Tradisi/Budaya
Dalam tataran praktik dakwah Islam di Nusantara, ketika berhadapan dengan berbagai tradisi/budaya bisa digunakan empat pendekatan (approach), yaitu adaptasi, netralisasi, minimalisasi, dan amputasi.
Pertama pendekatan adaptasi, dilakukan untuk menyikapi tradisi/budaya yang secara prinsip tidak bertentangan dengan syariat (tidak haram). Bahkan hal ini merupakan implementasi dari al-akhlaq al-karimah yang dianjurkan oleh Nabi Saw. Tradisi/budaya yang disikapi dengan pendekatan adaptasi mencakup tradisi/budaya yang muncul setelah Islam berkembang maupun sebelumnya. Seperti tradisi bahasa kromo inggil dan kromo alus dalam masyarakat Jawa untuk sopan santun terhadap orang yang lebih tua.
Kedua pendekatan netralisasi, dilakukan untuk menyikapi tradisi/budaya yang di dalamnya tercampur antara hal-hal yang diharamkan yang dapat dihilangkan dan hal-hal yang dibolehkan. Netralisasi terhadap budaya seperti ini dilakukan dengan menghilangkan keharamannya dan melestarikan selainnya.
Dalam menjelaskan sabab an-nuzul ayat ini Imam Mujahid menyatakan, bahwa orang-orang Jahiliyah seusai melaksanakan ibadahnya biasa berkumpul dan saling membangga-banggakan nenek moyang dan nasab mereka yang jelas-jelas dilarang dalam Islam, kemudian turun ayat tersebut yang tidak melarang perkumpulannya namun hanya memerintahkan agar isinya diganti dengan dzikir kepada Allah. Hal ini menunjukkan bahwa Islam tidak menganjurkan penghapusan tradisi/budaya secara frontal, namun menganjurkan untuk meluruskan hal-hal yang belum lurus saja.
Ketiga pendekatan minimalisasi, dilakukan untuk menyikapi budaya yang mengandung keharaman yang belum bisa dihilangkan seketika. Minimalisasi budaya semacam ini dilakukan dengan cara: a) mengurangi keharamannya sebisa mungkin, yaitu dengan menggantinya dengan keharaman yang lebih ringan secara bertahap sampai hilang atau minimal berkurang; b) membiarkannya sekira keharaman tersebut dapat melalaikan pelakunya dari keharaman lain yang lebih berat.
Keempat pendekatan amputasi, dilakukan untuk menyikapi budaya yang mengandung keharaman yang harus dihilangkan. Amputasi terhadap budaya semacam ini dilakukan secara bertahap, seperti terhadap keyakinan animisme dan dinamisme. Meskipun dilakukan dengan cara menghilangkan hingga ke akarnya, pendekatan ini dilakukan secara bertahap. Sebagaimana Nabi Muhammad Saw. dalam menyikapi keyakinan paganisme di masyarakat Arab menghancurkan fisik berhala-berhala, berikut berhala keyakinan, pemikiran, dan kebudayaannya. Tradisi tersebut berhasil dihilangkan, namun baru terlaksana secara massif pada peristiwa pembebasan Kota Makkah (Fath Makkah) pada 630 M/8 H, atau saat dakwah Islam telah berusia 21 tahun.
(Referensi: Mirqah Shu’ud at-Tasydiq fi Syarh Sulam at-Taufiq, 61, Majma’ az-Zawa’id, VIII/347, Asbab an-Nuzul karya al-Wahidhi, I/39, Ihya ‘Ulum ad-Din, III/62, dan I’lam al-Muwaqqi’in, III/12).
d.Melestarikan Tradisi/Budaya yang Menjadi Media Dakwah
Tradisi/Budaya yang telah menjadi media dakwah dan tidak bertentangan dengan agama, semestinya dilestarikan. Sebagaimana tradisi kirim doa untuk mayit pada hari ke-7, ke-40, ke-100, dan ke-1000 dari kematiannya, sebab tidak bertentangan dengan agama dan justru menarik masyarakat berkirim doa bagi orang-orang yang telah meninggal. Sebab jika tradisi ini dihilangkan, kebiasaan kirim doa juga akan ikut hilang atau berkurang.
Namun bila di tempat atau waktu tertentu tidak efektif dan justru kontra produktif bagi dakwah Islam di Nusantara, maka tradisi tersebut semestinya diubah secara arif dan bertahap sesuai kepentingan dakwah (dikembalikan pada prinsip mashlahah).
Referensi: Referensi Metode Dakwah Islam Nusantara, Nihayah az-Zain, 281, Majma’ az-Zawa’id, VIII/347, al-Adam as-Syar’iyyah, II/114, dan Ihya ‘Ulum ad-Din, III/62).
4.Sikap dan Toleransi terhadap Pluralitas Agama dan Pemahaman Keagamaan
a.Sikap terhadap Pluralitas Agama
Pertama, meyakini bahwa pluralitas agama (perbedaan agama, bukan pluralisme menyakini kebenaran semua agama) di dunia merupakan sunnatullah. Ini seharusnya yang menjadi asas dalam amr ma’ruf nahi munkar, sehingga jelas tujuannya untuk melakukan perintah Allah, bukan untuk benar-benar berhasil menghilangkan semua kemungkaran dari muka bumi yang justru dalam prosesnya sering melanggar prinsip-prinsipnya.
Kedua, memperkuat keyakinan atas kebenaran ajaran Islam; tidak mengikuti ajaran agama lain dan menghindari memaki-maki penganutnya
Ketiga, menolak dakwah yang bertentangan dengan Islam dengan cara terbaik dan bijaksana, serta menunjukkan kebaikan ajaran Islam.
Keempat, amr ma’ruf nahi munkar dengan arif dan bijaksana.
(Referensi: Mafatih al-Ghaib, XIII/114-116, III/44 dan 193, VIII/145, XX/112-114).
b.Toleransi terhadap Agama lain
Toleransi terhadap agama lain yang berkembang di masyarakat merupakan keniscayaan, demi terbangunnya kerukunan antarumat beragama di tengah pluralitas. Bahkan Islam mengajarkan agar berpekerti baik terhadap semua manusia tanpa memilih-milih, terhadap orang yang seagama maupun tidak, dan terhadap orang shalih maupun sebaliknya
Dalam rangka mendakwahkan agama Islam sebagai rahmat bagi semesta alam, toleransi dapat dipraktikkan dengan menjalin mu’amalah dzahirah yang baik antarumat beragama, memberi jaminan keselamatan jiwa dan harta, serta tidak mengganggu pengamalan keyakinan lain selama tidak didemonstrasikan secara provokatif di kawasan yang mayoritas penduduknya adalah umat Islam.
Namun demikian, penerapan toleransi kaum Muslimin terhadap agama lain perlu memperhatikan batas-batasnya sebagaimana berikut:
1)Tidak melampaui batas akidah sehingga terjerumus dalam kekufuran, seperti rela dengan kekufuran, ikut meramaikan hari raya agama lain dengan tujuan ikut mensyiarkan kekufuran, dan semisalnya, kecuali dalam kondisi darurat.
2) idak melampaui batas syariat sehingga terjerumus dalam keharaman, seperti ikut datang ke tempat ibadah agama lain saat perayaan hari rayanya, mengundang pemeluk agama lain untuk menghadiri perayaan hari raya umat Islam, mengucapkan selamat hari raya kepada mereka dan semisalnya, kecuali dalam kondisi darurat.
(Referensi: Faidh al-Qadir, III/71, Mafatih al-Ghaib, VIII/10-11, Hasyiyyah al-Bujairami, V/183, Qurrah al-‘Ain bi Fatawa Isma’il az-Zain, 199, Qurrah al-‘Ain karya Muhammad Sulaiman al-Kurdi, 208-209, Asna al-Mathalib, III/167, al-Hawi al-Kabir, XIV/330, Qurrah al-‘Ain karya Muhammad Sulaiman al-Kurdi, 208-209, al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra, IV/239, al-Adab as-Syar’iyyah, IV/122, Bughyah al-Mustarsyidin, I/528, dan al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, XII/8).
c.Toleransi terhadap Pemahaman Keagamaan Selain Ahlusssunnah wal Jama’ah
Selain pluralitas agama, di Nusantara terdapat bermacam pemahaman keagamaan (akidah) dalam lingkungan Umat Islam, sehingga diperlukan toleransi terhadap kelompok umat Islam yang dalam masalah furu’iyyah maupun ushuliyyah berbeda pemahaman dengan Ahlussunnah wal Jama’ah. Secara prinsip toleransi dalam konteks ini tetap mengedepankan semangat Islam sebagai agama yang merahmati semesta alam dan al-akhlaq al-karimah, seperti halnya dalam toleransi antarumat beragama. Begitu pula dalam tataran praktiknya, batas-batas toleransi terhadap kelompok umat Islam yang tidak berpaham Ahlussunnah wal Jama’ah sama dengan batas-batas dalam toleransi antarumat beragama, yaitu tidak boleh melampaui batas akidah dan syariat.
Toleransi dalam konteks ini tidak menafikan semangat dakwah untuk menunjukkan kebenaran (al-haqq) dan menghadapi berbagai syubhat (propaganda) yang mereka sebarkan, terlebih yang bersifat provokatif, mengancam kesatuan Umat Islam, integritas bangsa secara lebih luas.
Selain itu, dalam menyikapi umat Islam yang tidak berpaham Ahlussunnah wal Jama’ah perlu diperhatikan beberapa hal berikut:
1)Dalam melakukan amr ma’ruf nahi munkar kepada mereka tidak boleh sampai menimbulkan fitnah yang lebih besar, terlebih di daerah yang jumlah mereka seimbang dengan jumlah umat Islam Sunni. Dalam kondisi seperti ini amr ma’ruf nahi munkar wajib dikoordinasikan dengan pemerintah.
2)Tidak menganggap kufur mereka selama tidak terang-terangan menampakkan hal-hal yang telah disepakati (ijma’) atas kekufurannya, yaitu menafikan eksistensi Allah, melakukan syirk jali yang tidak mungkin dita’wil, mengingkari kenabian, mengingkari ajaran Islam yang bersifat mutawatir atau yang didasari ijma’ yang diketahui secara luas (ma’lum min ad-din bi ad-dharurah).
3)Meskipun salah dalam sebagian aqidahnya, selama tidak sampai kufur mereka masih mungkin diampuni Allah Swt.
4)Dalam ranah individu, penganut paham Ahlussunnah wal Jamaah tidak boleh beranggapan pasti masuk surga karena amalnya, sedangkan yang lain pasti masuk neraka. Sebab, sekecil apapun setiap individu mempunyai dosa dan jika tidak diampuni bisa saja kelak masuk neraka.
(Referensi: Hasyiyyah al-Bujairami, V/183, al-jami’ as-Shaghir, I/85, Majma’ az-Zawa’id, I/375, al-Milal wa an-Nihal, II/321-322, dan Mafahim Yajib an-Tushahhah, 18-19).
5.Konsistensi Menjaga Persatuan untuk Memperkokoh Integritas Bangsa
NKRI dan Pancasila selain telah terbukti mampu menjadi perekat bangsa sejak kemerdekaan hingga sekarang, juga mampu menjadi wadah dakwah Islam Nusantara secara luas. Pertumbuhan Muslim di kawasan-kawasan mayoritas non-Muslim juga semakin meningkat. Namun demikian, di tengah perjalanan sejarah tantangan disintegrasi bangsa terkadang bermunculan, bahkan wacana mendirikan negara di dalam negara terus mengemuka. Sebab itu, internalisasi nilai-nilai kebangsaan, khususnya terkait NKRI dan Pancasila sebagai upaya final dalam kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan keharusan.
Berkenaan dengan itu perlu disadari, bahwa penerimaan Pancasila sebagai falsafah kehidupan berbangsa dan bernegara telah sesuai dengan spirit Piagam Madinah yang digagas oleh Rasulullah Saw., yang berhasil menyatukan masyarakat yang plural dalam satu kesatuan negeri Madinah. Sebagaimana diriwayatkan Ibn Ishaq dalam as-Sirah an-Nabawiyah (II/126-129) karya Ibn Hisyam, Piagam Madinah.
Dari Piagam Madinah dapat diambil spirit, bahwa Nabi Muhammad Saw. menyatukan warga yang multi etnis dan multi agama menjadi ummah wahidah (satu kesatuan bangsa). Semua warga punya kedudukan yang sederajat, sama-sama berhak mendapatkan jaminan keamanan, melakukan aktifitas ekonomi, mengaktualisasikan agama, sama-sama berkewajiban untuk saling memberi nasehat dan berbuat kebaikan, menjaga keamanan serta integritas Madinah sebagai satu kesatuan negeri menghadapi ancaman dari luar.
Selain itu, untuk memupuk persatuan di tengah masyarakat yang plural perlu ditanamkan sikap menghargai perbedaan dan menjaga hak antarsesama, diantaranya dengan:
a.Menghargai ajaran agama lain.
b.Melestarikan budaya dari suku dan agama apa pun selama tidak bertentangan dengan syariat.
c.Mengapresiasi kebaikan/kelebihan orang lain dan mengakui kekurangan diri sendiri.
d.Menghindari caci-maki terhadap orang lain karena alasan perbedaan.
e.Menghindari anggapan menjadi orang yang paling baik dan menganggap orang lain tidak baik, sehingga mengabaikan kewajiban berbuat baik.
f.Membiasakan berbuat kebajikan terhadap siapapun.
g.Memprioritaskan penanaman nilai-nilai agama secara utuh dan mendalam di lingkungan internal Ahlussunah wal Jama’ah.
(Referensi: Al-Hawi al-Kabir, XIV/330, Risalah al-Qusyairiyah, I/103, Ihya ‘Ulum ad-Din, II/212, dan al-Majalis as-Saniyyah, 87).