Oleh Dani Rodrik dan Rohan Sandhu. Diterbitkan Project Syndicate pada Juni 2024.
Negara-negara berkembang saat ini sedang terlilit masalah, karena inovasi dalam manufaktur telah mengambil bentuk yang didominasi oleh keterampilan, sehingga mengurangi permintaan pekerja dengan tingkat pendidikan yang relatif rendah. Ini berarti bahwa layanan yang menyerap tenaga kerja harus cukup produktif untuk mendukung pertumbuhan pendapatan.
Masa depan negara-negara berkembang terletak di sektor jasa. Ini mungkin terdengar aneh mengingat fakta bahwa industrialisasi telah menjadi jalan tradisional menuju pertumbuhan dan kemakmuran, yang ditempuh oleh semua negara maju saat ini dan negara-negara yang baru saja meraih kesuksesan seperti Korea Selatan, Taiwan, dan Cina. Manufaktur tampaknya bahkan lebih penting mengingat kebijakan industri untuk menghidupkannya kembali sedang menjadi tren di AS dan Eropa.
Namun, manufaktur saat ini berbeda. Inovasi dalam manufaktur telah mengambil bentuk yang didominasi oleh keterampilan, sehingga mengurangi permintaan pekerja dengan tingkat pendidikan yang relatif rendah. Teknologi baru seperti otomatisasi, robot, dan 3D printing secara langsung menggantikan modal fisik untuk tenaga kerja. Sementara perusahaan-perusahaan di negara-negara berkembang memiliki insentif untuk menggunakan teknik yang lebih padat karya, bersaing di pasar global memerlukan penggunaan teknik produksi yang dapat berbeda secara signifikan dari yang digunakan di negara-negara berkembang. Kebutuhan untuk memproduksi sesuai dengan standar kualitas yang ketat yang ditetapkan oleh global value chains membatasi seberapa banyak tenaga kerja tidak terampil dapat menggantikan modal fisik dan tenaga kerja terampil.
Dengan demikian, meningkatnya intensitas keterampilan dan modal di sektor manufaktur pada gilirannya berarti bahwa sektor manufaktur formal yang kompetitif secara global di negara-negara berkembang telah kehilangan kemampuan untuk menyerap sejumlah besar tenaga kerja. Sektor-sektor ini secara efektif telah menjadi sektor “enclave”, tidak jauh berbeda dengan sektor pertambangan, dengan potensi pertumbuhan yang terbatas dan sedikit dampak positif pada sisi penawaran dari sektor ekonomi lainnya.
Ini berarti bahwa peningkatan produktivitas dalam layanan yang menyerap tenaga kerja telah menjadi prioritas penting, baik untuk alasan pertumbuhan maupun pemerataan. Karena sebagian besar pekerjaan akan berada di sektor jasa, pekerjaan ini harus cukup produktif untuk mendukung pertumbuhan pendapatan. Masalahnya adalah kita tidak tahu banyak tentang cara meningkatkan produktivitas dalam layanan yang menyerap tenaga kerja.
Sementara beberapa layanan, seperti perbankan, TI, dan business-process outsourcing (BPO) bersifat dinamis dan dapat diperdagangkan secara produktif, layanan tersebut tidak akan menyerap tenaga kerja karena alasan yang sama dengan manufaktur. Bahkan dalam keadaan terbaik, layanan yang relatif padat keterampilan ini tidak akan memberikan jawaban atas tantangan penciptaan lapangan kerja yang produktif. Tantangannya adalah meningkatkan produktivitas dalam layanan yang menyerap tenaga kerja seperti ritel, perawatan, dan layanan pribadi dan publik, di mana kita memiliki keberhasilan yang terbatas, sebagian karena layanan tersebut tidak pernah menjadi target eksplisit productive development policies.
Dalam makalah baru, kami menguraikan empat strategi untuk memperluas lapangan kerja produktif di bidang jasa yang menciptakan lapangan kerja terbanyak di negara-negara berkembang:
Strategi pertama berfokus pada perusahaan mapan, besar, dan relatif produktif, dan memerlukan pemberian insentif kepada mereka untuk memperluas lapangan kerja, baik secara langsung maupun melalui rantai pasokan lokal. Perusahaan-perusahaan ini dapat berupa pengecer besar, seperti layanan berbagi (ride-sharing services), atau bahkan eksportir manufaktur (dengan potensi untuk menghasilkan upstream linkages dengan penyedia layanan).
Strategi kedua berfokus pada perusahaan kecil- UMKM (yang merupakan bagian terbesar dari perusahaan di negara berkembang) dan bertujuan untuk meningkatkan kemampuan produksi mereka melalui penyediaan masukan publik tertentu. Masukan ini dapat berupa pelatihan manajemen, pinjaman atau hibah, keterampilan pekerja yang disesuaikan, infrastruktur tertentu, atau bantuan teknologi.
Mengingat heterogenitas perusahaan-perusahaan tersebut, mulai dari usaha mikro dan kepemilikan mandiri hingga perusahaan menengah, kebijakan dalam domain ini memerlukan pendekatan yang berbeda menjawab kebutuhan mereka yang berbeda. Selain itu, mengingat jumlah yang terlibat, kebijakan sering kali juga memerlukan mekanisme untuk memilih di antara perusahaan-perusahaan yang paling menjanjikan, karena sebagian besar tidak mungkin menjadi dinamis dan sukses.
Strategi ketiga berfokus pada penyediaan, baik bagi pekerja secara langsung maupun bagi perusahaan, perangkat digital atau bentuk teknologi baru lainnya yang secara eksplisit melengkapi tenaga kerja berketerampilan rendah. Tujuannya di sini adalah untuk memungkinkan pekerja yang kurang berpendidikan untuk melakukan (sebagian) pekerjaan yang secara tradisional diperuntukkan bagi profesional yang lebih terampil dan untuk meningkatkan jangkauan tugas yang dapat mereka lakukan.
Strategi keempat juga berfokus pada pekerja yang kurang berpendidikan dan menggabungkan pelatihan kejuruan dengan layanan “wrap-around”, serangkaian program bantuan tambahan bagi para pencari kerja untuk meningkatkan kemampuan kerja, retensi, dan promosi mereka di kemudian hari. Dimodelkan berdasarkan Project Quest, sebuah inisiatif yang berbasis di AS, dan skema pengembangan tenaga kerja sektoral serupa lainnya, program pelatihan ini biasanya bekerja sama erat dengan para pengusaha, baik untuk memahami kebutuhan mereka maupun untuk membentuk kembali praktik sumber daya manusia mereka guna memaksimalkan potensi ketenagakerjaan.
Ada contoh inisiatif semacam ini di seluruh dunia, banyak di antaranya telah dievaluasi secara ketat dan kami rangkum dalam makalah kami. Sudah ada landasan praktik tentang apa yang mungkin disebut “kebijakan industri untuk jasa” yang dapat dijadikan dasar upaya di masa mendatang.
Terlepas dari keberhasilan masing-masing program, penting untuk diingat skala tantangan yang dihadapi strategi pembangunan berorientasi layanan. Intervensi kebijakan acak yang meningkatkan pendapatan pekerja berpenghasilan rendah, misalnya, sebesar 20% biasanya akan dinilai sebagai keberhasilan besar (dengan asumsi biaya program yang wajar). Namun, bahkan jika berhasil ditingkatkan ke ekonomi secara luas, perolehan ini tidak akan menutupi bahkan 1% dari kesenjangan pendapatan yang saat ini terjadi antara negara seperti Ethiopia dan AS. Keberhasilan yang nyata akan membutuhkan ambisi yang lebih besar, eksperimen berkelanjutan, dan implementasi berbagai program yang sangat luas.
Terjemahan bebas oleh gandatmadi46@yahoo.com