Head of Agreement (HoA) pengembangan Lapangan Gas Abadi di Blok Masela akhirnya ditandatangani oleh Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto dengan CEO Inpex Corporation Takayuki Ueda.
Penandatanganan itu disaksikan oleh Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan dan Menteri Ekonomi, Perdagangan dan Industri Jepang Hiroshige Seko di sela-sela G20 Ministerial Meeting on Energy Transitions di Karuizawa, Jepang, Minggu (16/6/2019). Penandatangan HoA itu merupakan puncak dari proses perundingan panjang, yang dimulai pada 2010 hingga hampir 10 tahun kemudian.
History
Lapangan gas Blok Masela terletak di tengah laut, di perairan Laut Arafura, Kabupaten Maluku Tenggara Barat, yang bersisian dengan garis batas Indonesia dan Australia. Cadangan gas terbukti di Blok Masela yang diperkirakan sekitar 27,6 Trillion Cubic Feet (TCF).
Pemegang Kontrak Kerja Sama (KKS) Lapangan Gas Abadi adalah Inpex Corporation (Jepang), melalui anak perusahaannya Inpex Masela Ltd. Pada 2010, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah menyetujui Project On Development (POD) dengan kilang terapung (off shore), yang kapasitas produksinya 2,5 juta ton per tahun.
Pada 2013, Inpex mulai mengebor tiga sumur untuk memperluas cadangan gas. Pada 2015, Inpex mengajukan revisi POD Kilang Terapung lantaran adanya penemuan cadangan gas yang meningkat sehingga kapasitas kilang naik menjadi 7,5 juta ton per tahun.
Namun, pada 2016 Presiden Joko Widodo memutuskan untuk mengubah skema terapung menjadi kilang di darat (on shore). Perubahan skema dari offshore ke on shore menyebabkan perubahan POD Blok Masela yang telah disusun sebelumnya, sehingga perlu perundingan lanjutan untuk menyetujui revisi POD.
Sejak itu, perundingan pembahasan revisi POD sempat tertunda dalam waktu cukup lama, hampir 2 tahun. Baru pada Oktober 2018, Menteri ESDM Ignasius Jonan kembali melakukan perundingan dengan pihak Inpex.
(Biaya pengembangan tersebut berada di kisaran US$6-7 per setara barel minyak (boe) atau 20% lebih murah dibandingkan biaya di offshore sebesar US$8-9/boe.)
Di sela-sela menjadi pembicara pada the 9th Top Seminar Japinda pada 26 Oktober 2018, Jonan menyempatkan diri untuk melakukan pertemuan dengan Takayuki Ueda beserta tim untuk segera merealisasikan proyek Lapangan Gas Abadi Blok Masela. Dalam pertemuan itu, ada mutual agreements untuk mempercepat pelaksanaan proyek Masela. Untuk itu, Inpex harus mengajukan revisi PoD paling lambat akhir 2018.
Namun, revisi POD itu belum kunjung disepakati kedua belah pihak hingga akhir 2018. Untuk mendobrak kebuntuan itu, Menteri ESDM dan Tim kembali mengadakan pertemuan dengan Tim Inpex di Tokyo pada pertemuan pada 16 Mei 2019.
Lalu, pertemuan final kembali digelar di Tokyo hingga terjadi kesepakatan pada pertemuan 27 Mei 2019. Dalam pertemuan itu, telah disepakati untuk menandatangani HoA pada 16 Juni, saat digelar G20 Meeting.
Sementara itu, POD rencananya akan ditandatangani pada 27 Juni, bersamaan dengan acara puncak pertemuan negara G20 di Osaka. Penandatanganan PoD itu rencananya disaksikan oleh Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri (PM) Jepang Shinzo Abe.
Benefit dan Multiplier Effects
POD yang disepakati itu meliputi keekonomian proyek, volume produksi, jumlah investasi dan nilai pengembalian investasi, serta pembagian keuntungan. Penetapan keekonomian proyek dengan perhitungan biaya berdasarkan hasil Pre-FEED.
Cadangan gas Blok Masela diperkirakan sebesar 18,54 TCF, dengan rencana produksi sebesar 1.750 MMSCFD per tahun. Jumlah investasi disepakati sebesar US$20 miliar, dengan tingkat pengembalian investasi yang diukur dengan Internal Rate of Return (IRR) sebesar 15 persen, setara dengan IRR Lapangan Gas Jangkrik di Selat Makassar.
Pemerintah akan mendapatkan keuntungan bagi hasil dari Blok Masela sebesar 59 persen, sedangkan Inpex sebesar 41 persen. Dalam POD itu juga diberikan kepastian perpanjangan pengelolaan Blok Masela hingga 20 tahun.
Dengan ditandatanganinya PoD Masela, Inpex sudah bisa melakukan bidding untuk proyek Blok Masela. Pada 2020, sudah bisa memasuki tahapan proses konstruksi fasilitas produksi, sedangkan mulai produksi (on stream) ditargetkan pada 2027.
Dimulainya pengelolaan Blok Masela akan memberikan berbagai manfaat (benefit) dan efek berganda (multiplier effect) bagi perekonomian nasional dan daerah Maluku.
Dengan investasi sebesar US$20 miliar, yang merupakan jumlah Foreign Direct Investment (FDI) terbesar sepanjang sejarah Republik Indonesia, menunjukkan bahwa iklim investasi di Indonesia sangat kondusif. Diharapkan FDI tersebut dapat mendorong investor lainnya untuk berinvestasi di Indonesia, utamanya investasi minyak dan gas (migas).
Beroperasinya Blok Masela akan memicu pertumbuhan industri di berbagai bidang usaha di daerah Maluku, utamanya industri yang menggunakan bahan baku gas. Multiplier effect bagi perekonomian nasional diestimasikan sekitar 1,3 persen terhadap PDB, sehingga dapat memberikan kontribusi terhadap PDB sekitar US$153 miliar.
Selain itu, beroperasinya Blok Masela akan memberikan benefit meningkatkan pendapatan rumah tangga dalam jumlah yang besar. Pada tahapan konstruksi, peningkatan pendapatan rumah tangga diperkirakan sebesar US$3 miliar dan pada tahapan produksi diestimasikan sebesar US$ 30 miliar.
Penciptaan lapangan pekerjaan diperkirakan rata-rata sebesar 73,1 ribu per tahun selama periode 2022-2050, sehingga dapat mengurangi kemiskinan. Agar benefit ekonomi pengelolaan Blok Masela dapat dirasakan secara langsung oleh rakyat Maluku, barangkali ke depan perlu dicanangkan untuk memberikan Participating Interest (PI) bagi Pemerintah Daerah (Pemda) Maluku.
Dengan demikian, berdasarkan benefit ekonomi, multiplier effect, penciptaan lapangan pekerjaan, dan pemberian PI bagi Pemda Maluku, pengelolaan Blok Masela sesungguhnya akan memberikan kemakmuran sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, sesuai dengan amanah konstitusi Pasal 33 UUD 1945.
Selain itu, pengelolaan Blok Masela juga sesuai dengan Program Nawacita, yang membangun di daerah pinggiran terluar untuk memperkuat geo-politik Negara Kesatuan Republik Indonesia di daerah-daerah perbatasan.
Fahmy Radhi – Bisnis.com 21 Juni 2019 (Penulis adalah Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada)
diposting oleh gandatmadi46@yahoo.com