Oleh Joseph S. Nye, Jr. Dean of Harvard Kennedy School, a US assistant secretary of defense.
Project Syndicate 16 Mei 2025.
Kekuasaan atau power adalah kemampuan untuk membuat orang lain melakukan apa yang Anda inginkan. Hal itu dapat dicapai melalui paksaan (“tongkat”), pembayaran (“wortel”), dan daya tarik (“madu”). Dua metode pertama merupakan bentuk hard power, sedangkan daya tarik merupakan soft power. Soft power tumbuh dari budaya, nilai-nilai politik, dan kebijakan luar negeri suatu negara. Dalam jangka pendek, hard power biasanya mengalahkan soft power. Namun dalam jangka panjang, soft power seringkali menang. Joseph Stalin pernah bertanya dengan nada mengejek, “Ada berapa divisi yang dimiliki Paus?” Namun, kepausan tetap berlanjut hingga saat ini, sementara Uni Soviet di bawah Stalin telah lama runtuh.
Ketika Anda menarik, Anda bisa menghemat wortel dan tongkat. Jika sekutu menganggap Anda ramah dan dapat dipercaya, mereka cenderung lebih terbuka terhadap persuasi dan mengikuti arahan Anda. Jika mereka menganggap Anda sebagai pengganggu yang tidak dapat diandalkan, mereka cenderung mengulur waktu dan mengurangi saling ketergantungan sebisa mungkin. Eropa pada masa Perang Dingin adalah contoh yang baik. Seorang sejarawan Norwegia menggambarkan Eropa terbagi menjadi kekaisaran Soviet dan Amerika. Namun, ada perbedaan krusial: pihak Amerika adalah “sebuah kekaisaran atas undangan.” Hal itu menjadi jelas ketika Soviet harus mengerahkan pasukan ke Budapest pada tahun 1956, dan ke Praha pada tahun 1968. Sebaliknya, NATO tidak hanya bertahan tetapi juga secara sukarela meningkatkan keanggotaannya.
Pemahaman yang tepat tentang kekuasaan harus mencakup aspek keras dan lunaknya. Machiavelli mengatakan lebih baik seorang pangeran ditakuti daripada dicintai. Namun, lebih baik memiliki keduanya. Karena soft power jarang cukup dengan sendirinya, dan karena dampaknya membutuhkan waktu lebih lama untuk disadari, para pemimpin politik sering kali tergoda untuk menggunakan hard power berupa paksaan atau pembayaran. Namun, ketika digunakan sendiri, hard power dapat melibatkan biaya yang lebih tinggi daripada jika dikombinasikan dengan soft power berupa daya tarik. Tembok Berlin tidak runtuh akibat rentetan artileri; tembok itu dirobohkan oleh palu dan buldoser yang digunakan oleh orang-orang yang telah kehilangan kepercayaan pada Komunisme dan tertarik pada nilai-nilai Barat.
Setelah Perang Dunia II, Amerika Serikat sejauh ini merupakan negara paling kuat, dan berusaha mengabadikan nilai-nilainya dalam apa yang kemudian dikenal sebagai “tatanan internasional liberal” – sebuah kerangka kerja yang terdiri dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, lembaga-lembaga ekonomi Bretton Woods, dan badan-badan multilateral lainnya. Tentu saja, AS tidak selalu menjunjung tinggi nilai-nilai liberalnya, dan bipolaritas Perang Dingin membatasi tatanan ini hanya untuk separuh penduduk dunia. Namun, sistem pascaperang akan terlihat sangat berbeda jika Axis powers memenangkan Perang Dunia II dan memaksakan nilai-nilai mereka.
Note: Axis powers adalah koalisi militer Jerman, Italia, dan Jepang yang berperang melawan Sekutu dalam Perang Dunia II. Aliansi ini dibentuk melalui serangkaian perjanjian, dimulai dengan Poros Roma–Berlin pada tahun 1936 dan diakhiri dengan Pakta Tripartit pada tahun 1940.
Meskipun presiden-presiden AS sebelumnya telah melanggar beberapa aspek tatanan liberal, Donald Trump adalah orang pertama yang menolak gagasan bahwa soft power memiliki nilai dalam kebijakan luar negeri. Salah satu tindakan pertamanya setelah kembali menjabat adalah menarik diri dari perjanjian iklim Paris dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), meskipun ancaman nyata yang ditimbulkan oleh perubahan iklim dan pandemi.
Dampak dari penyerahan soft power oleh pemerintahan AS sudah terlalu mudah ditebak. Memaksa sekutu demokratis seperti Denmark atau Kanada melemahkan kepercayaan pada aliansi kita. Mengancam Panama membangkitkan kembali ketakutan akan imperialisme di seluruh Amerika Latin. Melumpuhkan Badan Pembangunan Internasional AS (USAID) – yang dibentuk oleh Presiden John F. Kennedy pada tahun 1961 – merusak reputasi kita sebagai negara yang murah hati. Membungkam Voice of America adalah hadiah bagi para pesaing otoriter. Menerapkan tarif pada teman membuat kita tampak tidak dapat diandalkan. Mencoba membungkam kebebasan berbicara di dalam negeri merusak kredibilitas kita. Daftar ini masih panjang.
Trump telah mendefinisikan Tiongkok sebagai tantangan besar Amerika, dan Tiongkok sendiri telah berinvestasi dalam kekuatan lunak sejak 2007, ketika Presiden Tiongkok saat itu, Hu Jintao, mengatakan kepada Partai Komunis Tiongkok bahwa negara tersebut perlu membuat dirinya lebih menarik bagi negara lain. Namun, Tiongkok telah lama menghadapi dua kendala utama dalam hal ini. Pertama, Tiongkok masih memiliki sengketa wilayah dengan banyak negara tetangga. Kedua, Partai Komunis Tjina (PKT) bersikeras mempertahankan kontrol ketat atas masyarakat sipil. Biaya dari kebijakan semacam itu telah dikonfirmasi oleh jajak pendapat publik yang menanyakan kepada orang-orang di seluruh dunia negara mana yang mereka anggap menarik. Namun, kita hanya bisa bertanya-tanya apa yang akan ditunjukkan oleh survei-survei ini di tahun-tahun mendatang jika Trump terus melemahkan soft power Amerika.
Memang, soft power Amerika mengalami pasang surut selama bertahun-tahun. AS tidak populer di banyak negara selama Perang Vietnam dan Irak. Namun, soft power dari masyarakat dan budaya suatu negara, serta dari tindakan pemerintah. Bahkan selama Perang Vietnam, ketika massa berbaris di jalan-jalan di seluruh dunia untuk memprotes kebijakan AS, mereka menyanyikan lagu kebangsaan hak-hak sipil Amerika, “We Shall Overcome.” Masyarakat terbuka yang memungkinkan protes dapat menjadi aset soft power. Namun, akankah soft power budaya Amerika bertahan dari kemerosotan soft power pemerintah selama empat tahun ke depan?
Demokrasi Amerika kemungkinan besar akan survive selama empat tahun pemerintahan Trump. Negara ini memiliki budaya politik yang tangguh dan konstitusi federal yang mendorong mekanisme checks and balances. Ada kemungkinan besar Partai Demokrat akan kembali menguasai Dewan Perwakilan Rakyat dalam pemilu 2026. Selain itu, masyarakat sipil tetap kuat, dan pengadilan tetap independen. Banyak organisasi telah mengajukan gugatan hukum untuk menentang tindakan Trump, dan pasar telah menunjukkan ketidakpuasan terhadap kebijakan ekonomi Trump.
Soft power Amerika pulih setelah titik terendah dalam perang Vietnam dan Irak, serta dari penurunan di masa jabatan pertama Trump. Namun, begitu kepercayaan hilang, kepercayaan itu tidak mudah dipulihkan. Setelah invasi Ukraina, Rusia kehilangan sebagian besar soft power yang dimilikinya, tetapi Tiongkok berusaha keras untuk mengisi celah yang diciptakan Trump. Seperti yang diutarakan Presiden Tiongkok Xi Jinping, Timur sedang bangkit di atas Barat. Jika Trump berpikir ia dapat bersaing dengan Tiongkok sambil melemahkan kepercayaan di antara sekutu Amerika, menegaskan aspirasi kekaisaran, menghancurkan USAID, membungkam Voice of America, menantang hukum di dalam negeri, dan menarik diri dari badan-badan PBB, ia kemungkinan besar akan gagal. Memulihkan apa yang telah ia hancurkan bukanlah hal yang mustahil, tetapi akan membutuhkan biaya yang mahal.
terjemahan bebas oleh gandatmadi46@yahoo.com
