Memahami Chilean paradox antara kinerja ekonomi yang baik dan konflik sosial

Chilean paradox

Menurut Enrique Vásquez,  Full Professor di Departemen Ekonomi Universidad del Pacífico (Peru). Direktur program Magister Manajemen Investasi Sosial. Meraih gelar Phd dari Universitas Oxford dan menaruh minat penelitian kebijakan dan program untuk memerangi kemiskinan. Ia telah menjadi penasihat untuk beberapa organisasi internasional.

Antara tahun 2000 dan 2017, Chili menunjukkan kinerja ekonomi yang baik antara tahun 2000 dan 2017, dengan tingkat rata-rata tahunan sebesar 3,87%. Perekonomian Chili menikmati stabilitas dan Bank Sentral mengelola kebijakan moneter dengan hati-hati. Periode 2000-2017 ditandai dengan keterbukaan perdagangan Chili, dan impor serta ekspor meningkat. Arus masuk FDI meningkat dari US$4,8 miliar pada tahun 2000 menjadi US$30 miliar pada tahun 2012, dan menurun menjadi US$5,8 miliar pada tahun 2017.

Meskipun demikian, Chili hidup dalam skenario ketidakpuasan sosial, yang terwujud dalam mobilisasi menentang sistem pendidikan dan jaminan sosial. Konflik sosial berawal dari tingkat ketimpangan yang tidak berubah, yang mendorong distribusi manfaat yang tidak merata di Wilayah Metropolitan Santiago dan di antara sektor-sektor berpendapatan tertinggi. Terkait hal tersebut, disajikan analisis singkat tentang indikator ekonomi makro dan sosial.

Kemudian, the World Bank Worldwide  Governance  Indicators  membuat analisa, dengan penekanan khusus pada suara dan akuntabilitas, efektivitas pemerintah, dan pengendalian korupsi. Terakhir, gerakan Acute Flaccid Paralysis (AFP) dan Revolución de los Pinguinos dipelajari dari sudut pandang paradoks antara kinerja ekonomi yang baik dan konflik sosial.

Selain itu, indikator ketenagakerjaan relatif lebih baik pada tahun 2017 dibandingkan tahun 2000. Ketenagakerjaan meningkat terus menerus dari 49,3% menjadi 56,3% selama kurun waktu tersebut, dan partisipasi angkatan kerja meningkat dari 54,2% menjadi 60,3%. Kinerja ekonomi makro yang baik diiringi dengan penurunan angka kemiskinan dari 20,2% pada tahun 2000 menjadi 8,6% pada tahun 2017, dan indeks Gini menurun dari 0,528 menjadi 0,466.

Meskipun hasil ekonomi makro menguntungkan, konflik sosial masih terlihat, sehingga menciptakan paradoks, yang dipicu oleh ketimpangan dan incomplete democracy. Paradoks tersebut terwujud dalam ketidakpuasan penduduk terhadap sistem pendidikan, yang menunjukkan ekspresi maksimalnya dalam Revolucion de los Pinguinos. Sumber ketidakpuasan lainnya adalah sistem jaminan sosial, yang dianggap sebagai sistem yang hanya mencari keuntungan pribadi.

Dalam konteks tersebut, muncul gerakan yang menuntut restrukturisasi sistem, seperti No+AFP. Tujuan dari makalah ini adalah untuk menganalisis paradoks yang dihadapi Chili selama tahun 2000-2017, melalui perspektif indikator sosial dan ekonomi, serta the World Bank Worldwide Governance indicators.

Konflik Sosial

Serangkaian demonstrasi besar-besaran dan kerusuhan hebat, yang dikenal di Chili sebagai Estallido Social (ledakan sosial ), bermula di Santiago dan terjadi di semua wilayah Chili, dengan dampak yang lebih besar di ibu kota daerah. Protes tersebut terutama terjadi antara Oktober 2019 dan Maret 2020, sebagai respons terhadap kenaikan tarif kereta bawah tanah Metro Santiago , krisis kejujuran, biaya hidup , pengangguran lulusan universitas, privatisasi ,  dan kesenjangan.

Pada 25 Oktober 2019, lebih dari 1,2 juta orang turun ke jalan di Santiago untuk memprotes kesenjangan sosial dalam apa yang disebut sebagai ” unjuk rasa terbesar di Chili . Hingga 28 Desember 2019, 29 orang meninggal,  hampir 2.500 orang terluka, dan 2.840 orang ditangkap

Organisasi hak asasi manusia telah menerima beberapa laporan pelanggaran yang dilakukan terhadap pengunjuk rasa oleh pasukan keamanan, termasuk mutilasi mata , penyiksaan, pelecehan seksual, dan penyerangan seksual.  Pada 28 Oktober 2019, Presiden Piñera mengganti delapan kementerian kabinetnya sebagai tanggapan atas kerusuhan tersebut, memberhentikan Menteri Dalam Negeri Andrés Chadwick.

Pada tanggal 15 November 2019, Kongres Nasional Chili menandatangani perjanjian untuk mengadakan referendum nasional yang akan menulis ulang konstitusi jika disetujui.  Pada tanggal 25 Oktober 2020, warga Chili memberikan suara 78,28 persen mendukung konstitusi baru, sementara 21,72 persen menolak perubahan tersebut. Tingkat partisipasi pemilih adalah 51 persen. Pada tanggal 16 Mei 2021, pemungutan suara diadakan yang menghasilkan terpilihnya 155 warga Chili yang membentuk konvensi yang merancang konstitusi baru.  Pada tanggal 18 November, dinas keamanan Chili menghentikan penyelidikan atas dugaan keterlibatan agen Kuba dan Venezuela dalam protes tersebut, karena tidak menemukan bukti konklusif.

Skala protes akhirnya berkurang dengan munculnya COVID-19, yang mendorong penerapan langkah-langkah pembatasan sosial dan karantina wilayah yang diberlakukan pemerintah.  Diperkirakan 3,5 miliar dolar dan 300.000 pekerjaan hilang karena kerusakan dan kehancuran infrastruktur publik dan swasta, termasuk Metro Santiago, sebagai akibat dari protes dan vandalisme yang dilakukan terutama antara Oktober dan November 2019. Selama paruh kedua tahun 2020 dan sebagian besar tahun 2021, demonstrasi berlanjut hampir secara eksklusif di sekitar Plaza Baquedano , di mana setiap hari Jumat antara 100 dan 500 orang berhadapan dengan polisi dan merusak lingkungan sekitar, menuntut pembebasan yang disebut ” Tahanan Pemberontakan “. Perilaku ini dicap oleh pemerintah sebagai “tindakan kejahatan yang tidak mau menanggapi demonstrasi atau tuntutan sosial.

Kelas Menengah di Indonesia

Masalah kelas menengah di dalam negeri tidak boleh diabaikan, terutama ketika Indonesia bertekad menjadi negara maju. Pasalnya, jumlah kelas menengah di Indonesia terbilang cukup besar dan berdampak pada ekonomi.

Mantan Menteri Keuangan RI 2013-2014 Chatib Basri pada 12/2/2024 mengingatkan pemerintah tidak boleh abai terhadap nasib masyarakat kelas menengah di Indonesia, jika ingin menjadi negara maju. Menurutnya, Indonesia harus belajar dari Chile. Negara ini adalah negara dengan kinerja ekonomi bagus  di antara negara-negara Amerika Latin. Namun, ironisnya ditengah kinerja ekonomi yang hebat Chile pada Oktober 2019, terjadi unjuk rasa besar, yang nyaris menimbulkan revolusi. Hal itu lantaran terabaikannya masyarakat kelas menengah. Fenomena ini dikenal sebagai the Chilean Paradox. Sebastian Edwards, dari UCLA menyebut salah satu alasan penjelasnya adalah terabaikannya kelas menengah.

Chatib menyebut kelas ini sebagai “Professional complainers. Issue kelas menengah ini akan semakin relevan untuk Indonesia. Dia juga menjabarkan studi yang dilakukan oleh Dartanto dan Can (2023) menunjukkan bagaimana dalam periode 2019-2022 manfaat dari kebijakan atau program pemerintah terfokus pada 20% persen kelompok terbawah dan 10% kelompok teratas.

Tetapi melupakan kelompok kelas menengah (40-80%). Bahkan kelompok persentil 60%-80% mengalami pertumbuhan ekonomi negatif,” kata Chatib. Adapun, Chatib menilai masyarakat kelas menengah tidak merasakan dampak apapun dari pertumbuhan ekonomi yang pesat. Hal itu lantaran masyarakat kelas menegah tidak berhak mendapatkan bantuan sosial karena tidak miskin. Namun di saat yang sama, kelas menengah tidak menikmati pertumbuhan ekonomi seperti kelas pendapatan atas.

Kemudian terdapat gap atas ekspektasi dengan realita dimana kemajuan yang terjadi dianggap tidak ksesuai dengan ekspektasi kelas menengah. Dengan begitu, dia menilai perlu adanya peningkatan kualitas pelayanan jasa publik yang lebih baik dan tata kelola pemerintahan yang lebih baik pula. Hal itu seperti yang akan dituntut oleh masyarakat seiring dengan meningkatnya pendapatan per kapita sebubah negara.

Menkeu Sri Mulyani menjelaskan fokus kebijakan dalam APBN untuk kelas menengah belum secara khusus masuk akibat daya belinya berbeda antar percentile kelasnya, demikian juga dengan pola perilakunya.

“Middle class ini memang range nya masih sangat besar kalau kita bicara percentile (pembagian kelas) 3 sampai 7 itu variety dari behavior-nya beda-beda, purchasing power-nya beda-beda,” ucap Sri Mulyani.

Oleh karena itu, Sri Mulyani mengungkapkan untuk menopang keberlangsungan hidup masyarakat kelas menengah, yang bisa dilakukan pemerintah saat ini adalah memastikan seluruh sektor pelayanan publik itu terjangkau dengan kualitas yang baik.

Makanya kalau bicara masalah infrastruktur sampah pendidikan ini sesuatu yang menjadi perhatian, air bersih, listrik, internet menjadi sesuatu yang menjadi kebutuhan middle class, mereka membutuhkan itu tapi mereka tidak punya daya beli yang besar juga makanya itu harus tersedia dan affordable dan mereka mulai menuntut kualitas.

diposting oleh gandatmadi45@yahoo.com

Post navigation

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *