Wilayah NKRI terdiri atas 17 000 pulau, terdapat lebih dari 300 kelompok etnik atau suku bangsa di Indonesia atau tepatnya 1.340 suku bangsa menurut sensus BPS tahun 2010. (Indonesia menempati posisi kedua dengan jumlah bahasa sebanyak 742 bahasa). Demikian penjelasan Gubernur Lemhanas Letjen TNI Purn Agus Widjojo di Westminster Institute, Virginia.
Dari catatan sejarah hampir selalu tampil individu atau tokoh yang meredakan baik ketika sedang berlangsung maupun pra dan paska konflik. Salah satu contoh ketika Kolonel M Jasin (ex WaKasad) baru menjabat panglima yang membawahi Aceh menulis surat kepada Daud Beureu meminta izin menghadap dan diizinkan. Tanpa pengawal pak Jasin yg kemudian menjadi Pangdam Brawijaya, masuk hutan menhadap tokoh Aceh yang sangat disegani. Dari hasil pertemuan tersebut konflik bersenjata berhenti namun kemudian muncul berkepanjangan tetapi peristiwa pertemuan itu tetap membekas bahwa konflik bisa diselesaikan dengan dialog. Terbukti kasus Aceh paska Gam bisa diselesaikan lewat perundingan.
Pengalaman yang lain ketika pada tanggal 2 Maret 1957 di Makassar, Letkol.Ventje Sumual memproklamirkan berdirinya Piagam Perjuangan Semesta. Gerakan ini meliputi hampir seluruh wilayah Indonesia Timur serta mendapat dukungan dari tokoh-tokoh Indonesia Timur. Ketika itu keadaan Indonesia sangat bahaya dan hampir seluruh pemerintahan di daerah diambil oleh militer. Selain itu mereka juga membekukan segala aktivitas Partai Komunis Indonesia, serta menangkap kader-kader PKI. Keadaan semakin genting tatkala diadakan rapat di gedung Universitas Permesta yang membicarakan pemutusan hubungan dengan pemerintah pusat.
Pada tahun 1960 Pihak Permesta Menyatakan kesediaanya untuk berunding dengan pemerintah pusat. Perundingan pun dilangsungkan Permesta diwakili oleh Panglima Besar Angkatan Perang Permesta, Mayor Jenderal Alex Evert Kawilarang serta pemerintah pusat diwakili oleh Kepala Staf Angkatan Darat Nicolas Bondan. Dari perundingan tersebut tercapai sebuah kesepakatan yaitu bahwa pasukan Permesta akan membantu pihak TNI untuk bersama-sama menghadapi pihak Komunis di Jawa. Pada tahun 1961 Pemerintah Pusat melalui Keppres 322/1961 memberi amnesti dan abolisi bagi siapa saja yang terlibat PRRI dan Permesta tetapi bukan untuk itu saja bagi anggota DI/TII baik di Jawa Barat, Aceh, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan juga berhak menerimanya.
Sesudah keluar keputusan itu, beramai-ramai banyak anggota Permesta yang keluar dari hutan-hutan untuk mendapatkan amnesti dan abolisi. Seperti Kolonel D.J. Somba, Mayor Jenderal A.E. Kawilarang, Kolonel Dolf Runturambi, Kolonel Petit Muharto Kartodirdjo, dan Kolonel Ventje Sumual beserta pasukannya menjadi kelompok paling akhir yang keluar dari hutan-hutan untuk mendapatkan amnesti dan abolisi. Pada tahun itu pula Permesta dinyatakan bubar.
Sampai kini memperingati Permesta dan PRRI masih dilakukan oleh para pendiri diantaranya Ventje Sumual serta sebagian masyarakat namun pengangkatan tokoh PRRI, Prof Soemitro Djojokadikoesoemo menjadi menteri oleh Presiden Soeharto mengagetkan, terutama Kodam Diponegoro asal pa Harto yang paling menderita.
Upaya para putra putri korban G30S PKI yang dipelopori Agus Widjojo, putra dari letjen anumerta Soetojo beserta putra putri dari Jendral A Jani, dan para jendral lainnya seperti Soeprapto, Panjaitan, S Parman, Katamso serta Kol Soegiono, Kapt Tendean, API KS Tubun. Tokoh Angkatan Muda Siliwangi Tatok Prajamanggala yang sempat dipenjarakan terkait kasus Puskav Kavelri. Kang Tatok direkrut oleh Wapres Darmono bersama dengan tokoh2 lainnya yang yang dulunya berseberangan aktif di Golkar. Kang Tatok menjadi Ketua Pemenang Golkar. Mereka mengajak rukun sebagai anak bangsa kepada putra putri tokoh pemberontak PKI.
dikumpulkan oleh Gandatmadi