Oleh Benjamen Enke PhD untuk IMF pada Maret 2025

Menerapkan kembali wawasan moral dalam ilmu ekonomi dapat meningkatkan pemahaman terhadap hasil politik.
Sebagian besar abad ke-20, disiplin ilmu psikologi moral dan ekonomi dianggap berbeda – masing-masing berfokus pada isu-isu yang berbeda, dengan sedikit interaksi. Hal ini tidak selalu terjadi.
Jika kita menilik kembali para filsuf seperti Adam Smith dan Karl Marx, diskusi tentang ekonomi politik sangat terkait erat dengan pertanyaan-pertanyaan tentang moralitas. Baru-baru ini, kedua bidang ini mulai terhubung kembali, menyadari bahwa moralitas memengaruhi perilaku ekonomi, dan sebaliknya, secara mendalam. Hal ini saya bahas dalam tinjauan literatur terbaru di bidang ini (2024).
Sebagai seorang ekonom, saya yakin persimpangan yang semakin berkembang ini menawarkan pelajaran berharga, tidak hanya bagi dunia akademis, tetapi juga bagi para pembuat kebijakan yang bergulat dengan tantangan terbesar saat ini, seperti kesenjangan yang semakin besar, polarisasi politik, dan menurunnya kepercayaan terhadap lembaga.
Salah satu gagasan paling mendasar yang mendorong penyambungan kembali psikologi moral dengan ekonomi adalah gagasan, yang berasal dari psikologi moral, bahwa moralitas berevolusi sebagai alat yang berfungsi secara ekonomi, seperti yang dicatat, misalnya, Jonathan Haidt, psikolog Amerika, dalam The Righteous Mind: Why Good People Are Divided by Politics and Religion.
Secara sederhana, moralitas dianggap sebagai mekanisme yang digunakan masyarakat untuk menegakkan kerja sama, yang memungkinkan produksi, pertukaran, dan kohesi sosial berskala besar. Gagasan bahwa moralitas berfungsi secara sosial dan ekonomi berakar kuat dalam perspektif evolusi: Seiring manusia membentuk masyarakat yang semakin kompleks, kerja sama menjadi penting untuk kelangsungan hidup, dan sistem moral muncul untuk menegakkan perilaku prososial.
Imperialisme ekonomi
Dari perspektif ekonom, pembingkaian moralitas sebagai respons terhadap permasalahan ekonomi – seperti memastikan kerja sama dalam transaksi – menunjukkan bahwa moralitas tidaklah tetap, melainkan dapat diadaptasi. Seiring perubahan lingkungan ekonomi, nilai-nilai moral pun turut berubah. Kebangkitan pasar global, misalnya, dapat menggeser masyarakat dari kerangka moral partikularis – yang memprioritaskan kerja sama yang erat dan antarkelompok – menuju nilai-nilai yang lebih universalis yang menekankan keadilan dan kesetaraan di seluruh jaringan sosial yang lebih luas.
Partikularisme moral adalah pandangan dalam etika yang menolak gagasan bahwa penilaian moral terutama didasarkan pada prinsip-prinsip moral universal. Sebaliknya, pandangan ini menekankan pentingnya konteks dan detail spesifik suatu situasi dalam menentukan status moral suatu tindakan. Para partikularis percaya bahwa alasan moral tidak ditentukan oleh aturan umum, tetapi dapat bervariasi tergantung pada keadaan tertentu.
Para ekonom telah menggunakan gagasan-gagasan dari psikologi moral ini dan mengembangkannya. Fenomena ini, yang sering disebut sebagai “imperialisme ekonomi”, terjadi ketika para ekonom menerapkan perangkat dan metodologi mereka ke bidang-bidang yang secara tradisional dieksplorasi oleh ilmu sosial lain, seperti psikologi atau antropologi. Meskipun pendekatan ini terkadang dikritik karena dianggap melanggar disiplin ilmu lain, pendekatan ini dapat sangat produktif jika dilakukan secara kolaboratif.
Alih-alih mencoba menggantikan psikologi moral, para ekonom telah berhasil menguji dan memvalidasi teori-teorinya – seperti peran fungsional moralitas – melalui penelitian empiris berskala besar. Dengan demikian, mereka telah menyumbangkan wawasan berharga, terutama ketika pengujian empiris dalam konteks dunia nyata yang lebih luas diperlukan.
Untuk memahami bagaimana sistem moral berevolusi sebagai respons terhadap lingkungan ekonomi, kita dapat melihat beberapa contoh kunci. Pertama, struktur kekerabatan historis menawarkan studi kasus yang menarik. Masyarakat dengan jaringan keluarga besar yang kuat sering kali mengandalkan kerja sama yang erat dalam keluarga, yang mengarah pada nilai-nilai moral partikularis. Masyarakat ini memprioritaskan loyalitas kepada keluarga dan komunitas lokal, dan sistem moral mereka mencerminkan penekanan ini.
Masyarakat dengan jaringan kekerabatan yang lebih longgar, di sisi lain, cenderung mengembangkan nilai-nilai moral yang lebih universalis, dengan keadilan yang diterapkan kepada orang asing maupun kerabat jauh, seperti yang saya tunjukkan dalam sebuah makalah tahun 2019. Perbedaan antara moralitas universalis dan partikularis ini, serta kaitannya dengan struktur kekerabatan historis, menjelaskan banyak variasi lintas budaya dalam keyakinan, nilai, dan emosi moral.
Kedua, paparan terhadap pasar juga memainkan peran penting dalam membentuk nilai-nilai moral. Dalam masyarakat di mana interaksi pasar antar-orang asing merupakan hal yang umum, nilai-nilai universalis – seperti keadilan dalam berinteraksi dengan orang-orang di luar lingkaran terdekat – kemungkinan besar akan berkembang. Semakin banyak penelitian, termasuk makalah saya yang terbit tahun 2023, menunjukkan bahwa masyarakat dengan paparan historis yang lebih besar terhadap pasar menunjukkan tingkat universalisme yang lebih tinggi. Semakin banyak orang berinteraksi dengan orang asing di pasar, semakin mereka mengembangkan norma-norma moral yang mendukung kerja sama impersonal dan kepercayaan.
Terakhir, ekologi – lingkungan alami tempat masyarakat berada – juga dapat memengaruhi moralitas. Di daerah-daerah yang membutuhkan kerja sama intensif dengan tetangga untuk bertahan hidup, seperti di wilayah dengan tanah yang homogen dan subur, nilai-nilai partikularis sering kali berkembang. Nilai-nilai ini menekankan ikatan komunitas yang erat, yang esensial bagi produktivitas pertanian.
Sebaliknya, wilayah dengan kondisi ekologi yang lebih bervariasi atau terfragmentasi mungkin telah memupuk nilai-nilai universalis, karena kerja sama dengan (dan belajar dari) tetangga dekat kurang penting bagi produksi ekonomi, sebagaimana dicatat oleh ekonom Israel Itzchak Tzachi Raz.
Pengaruh moralitas terhadap perilaku ekonomi berjalan dua arah: Kondisi ekonomi membentuk nilai-nilai moral, tetapi nilai-nilai tersebut, pada gilirannya, membentuk hasil politik dan ekonomi.
Dampak politik dan ekonomi
Pengaruh moralitas terhadap perilaku ekonomi berjalan dua arah: Kondisi ekonomi membentuk nilai-nilai moral, tetapi nilai-nilai tersebut, pada gilirannya, membentuk dampak politik dan ekonomi. Dalam iklim politik yang terpolarisasi saat ini, perbedaan moral seringkali mendasari perpecahan dalam kebijakan ekonomi. Misalnya, perbedaan antara nilai-nilai universalis dan partikularis membantu menjelaskan mengapa berbagai kelompok memiliki pandangan yang berlawanan tentang isu-isu seperti perpajakan, redistribusi, imigrasi, perubahan iklim, globalisasi, dan bantuan luar negeri.
Wawasan utamanya adalah bahwa banyak kebijakan sayap kiri tradisional cenderung bersifat universalis. Individu universalis, yang mengutamakan keadilan dan kesetaraan bagi semua, cenderung mendukung kebijakan redistribusi yang bertujuan mengurangi ketimpangan pendapatan, termasuk bagi orang-orang dari negara asing. Mereka juga lebih mendukung kebijakan “globalis” seperti bantuan luar negeri, globalisasi, dan pencegahan perubahan iklim. Individu partikularis, yang mengutamakan loyalitas kepada kelompok dalam mereka, seringkali menentang kebijakan tersebut, karena khawatir redistribusi dapat menguntungkan kelompok luar atau orang asing dengan mengorbankan komunitas mereka sendiri, atau bahwa imigrasi dapat merugikan peluang tetangga mereka untuk mendapatkan pekerjaan. Perpecahan moral ini berkontribusi pada polarisasi politik dan mempersulit upaya mencapai konsensus mengenai kebijakan ekonomi.
Salah satu studi saya tentang pola pemungutan suara di AS menunjukkan bahwa nilai-nilai moral pemilih sangat erat kaitannya dengan retorika dan kebijakan para kandidat politik. Bukti terbaru yang saya kumpulkan bersama Raymond Fisman, Luis Mota Freitas, dan Steven Sun semakin memperkuat hubungan ini. Kami mengukur universalisme moral menggunakan data donasi berskala besar. Menurut pendekatan kami, distrik-distrik di AS dikatakan lebih universalis ketika porsi donasi yang lebih besar dari distrik tersebut diberikan kepada penerima manfaat yang lebih jauh, baik secara geografis maupun sosial. Dengan demikian, universalis tidak lebih atau kurang prososial – sebaliknya, distrik-distrik universalis memberikan lebih banyak donasi kepada tempat-tempat yang jauh tetapi lebih sedikit untuk kepentingan komunitas lokal.
Kami mendokumentasikan bahwa distrik-distrik dengan universalisme yang lebih tinggi cenderung lebih banyak memilih kandidat Demokrat dan memilih perwakilan yang menggunakan bahasa moral universalis dalam pidato-pidato mereka. Selain itu, perwakilan di distrik-distrik ini menunjukkan perilaku pemungutan suara yang lebih condong ke kiri, bahkan dalam partai yang sama, yang semakin menunjukkan bagaimana nilai-nilai moral ini membentuk hasil pemilu dan tindakan legislatif.
Pendekatan Interdisipliner
Para ekonom secara tradisional berhati-hati dalam mendalami pertanyaan-pertanyaan moral, lebih memilih untuk berpegang teguh pada analisis empiris yang berbasis data. Namun, saya yakin bahwa para ekonom dapat memperoleh manfaat dengan mendalami psikologi moral, sebagaimana psikolog dapat memperoleh manfaat dari menggabungkan wawasan ekonomi ke dalam pekerjaan mereka. Setiap disiplin ilmu memiliki keunggulan yang unik: Ekonom unggul dalam mengelola dan menganalisis data berskala besar, sementara psikolog moral mahir dalam memahami proses rumit pengambilan keputusan individu dan penalaran moral.
Pendekatan interdisipliner ini dapat menghasilkan pemahaman yang lebih kaya dan bernuansa tentang fenomena sosial dan politik yang kompleks. Sebagai contoh, isu redistribusi. Penelitian psikologis dapat menjelaskan mengapa orang-orang memegang keyakinan moral tertentu tentang keadilan dan kesetaraan; data ekonomi dapat mengungkapkan bagaimana keyakinan ini tercermin dalam pola pemungutan suara dan preferensi kebijakan. Dengan menggabungkan pendekatan-pendekatan ini, kita dapat mengembangkan gambaran yang lebih komprehensif tentang bagaimana nilai-nilai moral memengaruhi perilaku dan hasil ekonomi.
Apa arti semua ini bagi para pembuat kebijakan? Yang terpenting, hal ini menunjukkan bahwa kebijakan ekonomi yang efektif tidak boleh mengabaikan pertimbangan moral. Para pembuat kebijakan harus menyadari bahwa preferensi ekonomi seseorang seringkali dibentuk oleh keyakinan moral mereka, yang dapat sangat bervariasi di antara berbagai kelompok. Akibatnya, kebijakan yang sejalan dengan nilai-nilai moral suatu kelompok dapat ditentang keras oleh kelompok lain yang memiliki nilai-nilai berbeda.
Memahami kesenjangan moral ini dapat membantu para pembuat kebijakan merancang kebijakan yang lebih efektif dan adil. Misalnya, kebijakan redistributif yang berlandaskan nilai-nilai universalis mungkin lebih berhasil jika dibingkai dengan cara yang juga selaras dengan individu-individu partikularis, seperti menekankan manfaatnya bagi masyarakat lokal. Selain itu, mengakui peran moralitas dalam perilaku ekonomi dapat membantu para pembuat kebijakan mengantisipasi dan mengatasi polarisasi politik. Hal ini dapat terbukti vital untuk menjembatani kesenjangan moral yang semakin menjauhkan kita dari konsensus.
Benjamin Enke is the Paul Sack Associate Professor of Political Economy at Harvard University and a faculty research fellow at the National Bureau of Economic Research.
Benjamin Enke received his Ph.D. in Economics from Bonn in 2016. His research focuses on experimental, behavioral, cultural and political economics.
Terjemahan bebas oleh gandatmadi46@yahoo.com