
Dari sisi neraca perdagangan kita lihat untuk surplus di bulan Mei adalah 4,9 biliun US$ karena ekspor kita mencapai 25,3 biliun US$ sementara impornya 20,4 biliun US$ neraca perdagangan kita itu masih surplus selama 5 tahun berturut-turut nah ini bagus namun tetap waspada karena seperti saya sampaikan tadi kondisi global menyebabkan dampaknya nanti terlihat di ekspor dan impor karena yang terjadi adalah perang dagang yang mempengaruhi ekspor impor jadi kita juga harus hati-hati melihat perkembangan.
Meskipun 5 tahun terakhir ini neraca perdagangan kita terus mengalami surplus pada bulan Mei kemarin surplusnya adalah 4,9 biliun US dolar yaitu ekspor dikurangi impor. Untuk barang komposisi dari ekspor kita terlihat di sini untuk produk pertanian mengalami pertumbuhan sangat tinggi 56,2%, industri pengolahan juga ekspornya tumbuh 25,8%.
Yang mengalami penurunan yaitu komoditas pertambangan yaitu -26% ini yang menyebabkan dampaknya terlihat di dalam penerimaan negara kita sedangkan kalau kita lihat dari impornya barang modal impornya tumbuh 23,1 ini berarti kita harapkan positif karena orang kalau mengimpor barang modal tentu untuk kegiatan produksi untuk bahan baku dia pertumbuhannya sangat tipis 0,3% sedangkan barang konsumsi pertumbuhan impornya 7,8% jadi kita lihat di sini bahwa komposisi dari impor masih didominasi growth-nya adalah dari barang-barang modal sedangkan bahan baku relatively flat dan barang konsumsi tumbuh di 7,8 ini ada suatu kenaikan dari sisi impor.
Neraca perdagangan kita secara kumulatif surplus, dari tahun lalu ke tahun ini kumulatif surplus-nya masih mengalami kenaikan yaitu 16 biliun US$. Dari Januari – Mei 2025 surplusnya adalah 13,1 jadi ini hal yang positif.
Perkembangan asumsi makro yang ada di dalam APBN kita tadi karena semua bergerak jadi APBN itu bukanlah sesuatu yang fix atau tetap tapi dia terus-menerus mengalami dampak dari kondisi ekonomi yang bergerak. Growth kita karena baru kuartal 1 yang dari BPS adalah di 4,87% dalam APBN kita mengasumsikan 5,2%.
Asumsi menurut IMF kita akan mengalami perlemahan di 4,7% dan kita berusaha sekarang pemerintah untuk memitigasi prediksi atau proyeksi ekonomi yang melemah itu dengan terus melakukan beberapa kebijakan Countercyclicalagar ekonomi kita bisa terus mendekati di 5% untuk tahun ini karena asumsinya 5,2%.
Inflasi kita relatif baik 1,6% untuk year on year di dalam asumsi APBN di 2,5%. Nilai tukar kita yang di dalam APBN diasumsikan Rp16.000 per dolar end of period yaitu akhir Mei posisinya di Rp 16.437 per dolar.
Yield surat berharga negara kita yang 10 tahun APBN di 2025 mengasumsikan 7% end of period ada di 6,89% sedangkan year to date-nya di 6,72%.
Harga minyak ini tadi yang masih mengalami gejolak asumsi APBN kita di per barel kemarin dengan perlemahan harga minyak sebetulnya di US$ 62,75 sedangkan year to date harga minyak rata-rata kita di US$ 70,05 masih di bawah harga asumsi di dalam APBN. Lifting minyak kita di 567.000 barel per hari di bawah asumsi APBN. Nanti Menteri SDM akan menyampaikan moga-moga lifting minyak bisa naik. Lifting gas di 987,5.000 setara minyak barel per hari di bawah asumsi kita.
Harga minyak dan lifting minyak serta lifting gas selain dipengaruhi oleh kondisi di dalam negeri kita terutama untuk sektor pertambangan minyak juga dipengaruhi oleh apa yang sekarang sedang berlangsung di Timur Tengah yaitu perang antara Israel dengan Iran.
Demikian situasi APBN yang kita semuanya tahu asumsinya saja sangat bisa dipengaruhi oleh kondisi perekonomian global dan kejadian perang di satu belahan bumi yang lain dengan situasi ini kita akan masuk ke APBN nanti akan dielaborasi oleh masing-masing postur APBN 2025. Sampai dengan 31 Mei 2025 pendapatan negara kita mencapai Rp995,3 triliun ini artinya kita sudah mengumpulkan 33,1% dari target pendapatan tahun ini.
Pajak dalam hal ini terkumpul Rp683,3 triliun atau 31,2% dari target tahun 2025. Bea dan cukai mengumpulkan Rp12,9 triliun atau 40,7% dari target tahun ini ini cukup bagus dari sisi pencapaian persentase terhadap target.
BPS
Neraca perdagangan Indonesia kembali mencatat kinerja positif. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan neraca perdagangan barang Indonesia sepanjang periode Januari-April 2025 surplus sebesar US$11,07 miliar, meningkat US$ 0,95 miliar dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.
Kinerja ini ditopang oleh ekspor yang mencapai US$87,36 miliar, lebih tinggi dibanding impor yang sebesar US$76,29 miliar”
Nilai ekspor periode Januari-April 2025 meningkat 6,65 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Peningkatan ini utamanya didorong oleh sektor industri pengolahan dengan total nilai ekspor sebesar US$68,84 miliar, atau naik 16,08 persen.
Sejumlah komoditas unggulan mencatat pertumbuhan ekspor yang tinggi sepanjang Januari-April 2025; Ekspor besi dan baja menyumbang US$8,81 miliar, naik 6,62 persen, sementara ekspor minyak kelapa sawit (CPO) dan produk turunannya juga mengalami kenaikan 20 persen menjadi US$7,05 miliar. Namun, tak semua komoditas unggulan mencatat kinerja positif. Ekspor batubara turun 19,74 persen menjadi US$8,17 miliar.
Dari sisi negara tujuan, periode Januari-April 2025 ini, Tiongkok tetap menjadi pasar ekspor utama komoditas non migas dengan nilai mencapai US$18,87 miliar (22,86 persen), disusul Amerika Serikat sebesar US$9,38 miliar (11,36 persen) dan India sebesar US$5,59 miliar (6,77 persen)”. Ekspor ke Tiongkok didominasi oleh besi dan baja, bahan bakar mineral, dan nikel dan barang daripadanya. Sedangkan komoditas utama ke Amerika Serikat diantaranya mesin dan perlengkapan elektrik, alas kaki, serta pakaian dan aksesorisnya.
Sementara itu dari sisi impor, BPS mencatat nilai impor Januari-April 2025 sebesar US$76,29 miliar atau naik 6,27 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Penyumbang utama masih berasal dari sektor non migas (US$65,29 miliar) dengan kenaikan 9,18 persen. Sedangkan impor sektor migas justru mengalami penurunan sebesar 8,27 persen menjadi US$11 miliar.
Penyumbang utama impor komoditas non migas adalah mesin/peralatan mekanis dan bagiannya (US$10,75 miliar), mesin/perlengkapan elektrik dan bagiannya (US$9,35 miliar), dan kendaraan dan bagiannya (US$3,45 miliar). Dari sisi penggunaan, BPS juga mencatat bahwa impor bahan baku atau penolong naik 5,32 persen menjadi US$55,35 miliar.
Sepanjang periode Januari-April 2025, Tiongkok menjadi negara asal impor non migas terbesar dengan nilai US$25,77 miliar (39,48 persen), diikuti Jepang sebesar US$5,04 miliar (7,72 persen), dan Thailand sebesar US$3,13 miliar (4,79 persen). Impor dari Tiongkok didominasi oleh mesin dan peralatan mekanis, mesin dan perlengkapan elektrik, serta kendaraan dan bagiannya.
Surplus perdagangan nonmigas sepanjang empat bulan pertama tahun ini sebagian besar ditopang oleh lima komoditas utama, yaitu lemak dan minyak hewani/nabati (US$9,85 miliar), bahan bakar mineral (US$9,16 miliar), besi dan baja (US$5,54 miliar), produk nikel (US$2,59 miliar), serta alas kaki (US$2,05 miliar).
Dari sisi negara mitra, Indonesia mencatat surplus perdagangan nonmigas tertinggi dengan Amerika Serikat (US$6,42 miliar), India (US$4 miliar), dan Filipina (US$2,92 miliar). Komoditas penyumbang surplus terbesar dengan Amerika Serikat adalah mesin dan perlengkapan elektrik serta bagiannya, alas kaki, dan pakaian dan aksesorisnya.
Sebaliknya, masih pada periode yang sama, defisit terdalam perdagangan non migas tercatat dengan Tiongkok (US$6,9 miliar), Australia (US$1,57 miliar), dan Hong Kong (US$486 juta). Penyumbang defisit terbesar Indonesia dengan Tiongkok adalah mesin dan peralatan mekanis serta bagiannya, mesin dan perlengkapan elektrik serta bagiannya, dan kendaraan dan bagiannya.
Untuk bulan April saja, nilai ekspor mencapai US$20,74 miliar, naik 5,76 persen dibanding April 2024. Sedangkan nilai impor mencapai US$20,59 miliar, naik 21,84 persen dibanding April 2024.
Terjadi deflasi pada bulan Mei 2025
BPS selanjutnya mencatat terjadinya deflasi pada bulan Mei 2025 sebesar 0,37 persen (m-to-m). ”Terjadi penurunan indeks harga konsumen (IHK) dari 108,47 pada April 2025 menjadi 108,07 pada Mei 2025”, jelas Pudji. Angka ini lebih dalam dibandingkan deflasi yang juga terjadi pada bulan Mei tahun sebelumnya sebesar 0,03 persen. Secara tahunanterjadi inflasi sebesar 1,60 persen, dan secara tahun kalender terjadi inflasi sebesar 1,19 persen.
Kelompok pengeluaran penyumbang deflasi bulanan terbesar adalah makanan, minuman dan tembakau yang mengalami deflasi sebesar 1,40 persen, dengan andil deflasi sebesar 0,41persen. Kelompok informasi, komunikasi dan jasa keuangan pada Mei 2025 mengalami inflasi sebesar 0,31 persen dan memiliki andil inflasi 0,02 persen. Kelompok pengeluaran lainnya yang juga mengalami inflasi adalah perawatan pribadi dan jasa lainnya, yaitu 0,23 persen dan andil inflasi 0,02 persen.
”Berdasarkan komponen, deflasi bulan Mei 2025 utamanya didorong oleh deflasi komponen harga bergejolak dengan andil deflasi sebesar 0,41 persen”, jelas Pudji. Komoditas yang dominan memberikan andil deflasi adalah cabai merah, cabai rawit, bawang merah, ikan segar, dan bawang putih. Selanjutnya, komponen harga diatur pemerintah memberikan andil deflasi sebesar 0,01 persen. Komoditas yang dominan memberikan andil deflasi adalah tarif angkutan antar kota dan bensin. Sedangkan komponen inti memberikan andil inflasi sebesar 0,05 persen, dengan komoditas yang dominan memberikan andil inflasi yaitu tarif pulsa ponsel, emas perhiasan, dan kopi bubuk.
Menurut wilayah, secara bulanan tercatat 31 provinsi mengalami deflasi dan 7 provinsi lainnya mengalami inflasi. ”Deflasi tertinggi terjadi di Gorontalo, yaitu sebesar 1,68 persen. Sedangkan deflasi terendah terjadi di Sulawesi Tenggara, yaitu sebesar 0,14 persen”, tutup Pudji.
diposting oleh gandatmadi46@yahoo.com