Bulan Suro atau Asyura
Kalender Jawa atau Penanggalan Jawa adalah sistem penanggalan yang digunakan oleh Kesultanan Mataram dan berbagai kerajaan pecahannya serta yang mendapat pengaruhnya. Penanggalan ini memiliki keistimewaan karena memadukan sistem penanggalan Islam, sistem Penanggalan Hindu, dan sedikit penanggalan Julian yang merupakan bagian budaya Barat.
Sistem kalender Jawa memakai dua siklus hari: siklus mingguan yang terdiri dari tujuh hari (Ahad sampai Sabtu) dan siklus pekan pancawara yang terdiri dari lima hari pasaran. Pada tahun 1625 Masehi (1547 Saka), Sultan Agung dari Mataram berusaha keras menanamkan agama Islam di Jawa. Salah satu upayanya adalah mengeluarkan dekret yang mengganti penanggalan Saka yang berbasis perputaran matahari dengan sistem kalender kamariah atau lunar (berbasis perputaran bulan). Uniknya, angka tahun Saka tetap dipakai dan diteruskan, tidak menggunakan perhitungan dari tahun Hijriyah (saat itu 1035 H). Hal ini dilakukan demi asas kesinambungan, sehingga tahun saat itu yang adalah tahun 1547 Saka diteruskan menjadi tahun 1547 Jawa.
Dekret Sultan Agung berlaku di seluruh wilayah Kesultanan Mataram: seluruh pulau Jawa dan Madura kecuali Banten, Batavia dan Banyuwangi (Balambangan). Ketiga daerah terakhir ini tidak termasuk wilayah kekuasaan Sultan Agung. Pulau Bali dan Palembang yang mendapatkan pengaruh budaya Jawa, juga tidak ikut mengambil alih kalender karangan Sultan Agung ini.
Bulan Suro atau Asyura adalah bulan keprihatinan
Hari Raya Asyura atau hari ke-10 dalam bulan Muharam oleh kelompok Syiah diperingati bukan dengan sukacita, melainkan penuh duka. Mereka mengenang wafatnya cucu Nabi Muhammad SAW, Hussein Ibnu Ali. Diperkirakan ada sekitar 130 juta sampai 190 juta muslim Syiah di dunia yang sebagian besar di Timur Tengah, merayakan Hari Asyura.
Festival Tabuik, Pariaman Sumbar
“Festival Tabuik merupakan salah satu tradisi tahunan dalam masyarakat Pariaman dan merupakan bagian dari peringatan hari wafatnya cucu Nabi Muhammad SAW, yaitu Hussein bin Ali, 10 Muharram
Di Indonesia, sekalipun mayoritas umat Islam mengikuti aliran Sunni, ada juga yang merayakan dengan sejumlah cara. Di antaranya di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Uniknya, melengkapi hari besar ini, umat dan organisasi masyarakat di Banjarmasin juga mengadakan acara masak dan membagikan bubur. Mereka memberi nama bubur asyura.
Wali songo yang menyebarkan dakwah Islam ahlussunnah wal jamaah di Indonesia khususnya di tanah Jawa merupakan cucunya Sayyidina Husain. Sehingga menjadi salah satu ajaran wali songo, tidak sepantasnya pada saat Rasulullah berduka karena cucunya dibunuh dengan cara dibantai kita justru ramai-ramai mengungkapkan luapan kebahagiaan dan kegembiraan. Termasuk di antaranya, mengadakan hajat acara pernikahan.
Muhammad Sholikhin dalam buku Misteri Bulan Suro Perspektif Islam Jawa menjelaskan, penganut Kejawen percaya bulan tersebut merupakan bulan kedatangan Aji Saka ke Pulau Jawa. Oleh karena itu sebagian masyarakat yang mempercayai kemistisan tersebut melakukan berbagai ritual seperti memandikan benda pusaka seperti keris dan lain-lain, dilarang keras melaksanakan pesta apalagi pernikahan, melaksanakan tirakat dengan begadang semalam suntuk, melakukan kirab malam 1 Suro, kirab Tumuruning Mahesa Suro, ritual Batara Kathong Ponorogo, ritual Telaga Ngebel Ponorogo, dan ritual lainnya.
dikumpulkan dari berbagai sumber oleh gandatmadi46@yahoo.com