Oleh Sri Mulyani Indrawati, Oktober 2023
1. Indonesia setelah 78 tahun merdeka
Dalam Deklarasi Kemerdekaan tahun 1945, para pemimpin Indonesia saat itu menjanjikan antara lain kesejahteraan dan keadilan sosial. Setiap pemerintahan yang berkuasa pascakemerdekaan telah diamanatkan untuk menepati janji tersebut sebagaimana tertulis dalam Konstitusi. Hal ini menyiratkan konsekuensi pembiayaan. Namun, jalan menuju kesejahteraan itu penuh tantangan. Tidak hanya tabungan domestik yang sangat terbatas, Indonesia juga menghadapi beberapa krisis: kudeta 1965, krisis minyak 1984, krisis keuangan Asia (AFC) 1997, krisis keuangan global 2008, dan pandemi COVID-19 2020.
Sebagai latar belakang, pada era pasca-kemerdekaan, pemerintahan Orde Lama yang berkuasa dari tahun 1945 hingga 1967 berjuang keras untuk menjaga stabilitas politik. Perekonomian ditandai oleh inflasi yang tinggi, produksi yang stagnan, kemiskinan, dan kelaparan (Booth, 1998). Selama masa transisi antara pemerintahan Orde Lama dan pemerintahan Orde Baru pada tahun 1967, beberapa reformasi ekonomi dilakukan. Periode dari tahun 1968 hingga pertengahan 1980-an ditandai oleh pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan stabil, dengan pertumbuhan rata-rata 7%, sebagian karena tingginya harga minyak. Namun, harga minyak anjlok pada akhir tahun 1970-an, dan pendapatan minyak tidak lagi cukup untuk mendukung pembangunan. Pemerintah beralih ke strategi promosi ekspor, yang menjadikan Indonesia salah satu negara Asian miracle (Birdsall et al., 1993).
Perekonomian Indonesia belum sepenuhnya pulih ketika krisis keuangan global terjadi 10 tahun kemudian. Dengan keterbatasan eksposur terhadap pasar keuangan global dan pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang kuat serta lonjakan komoditas, perekonomian terus tumbuh sebesar 6% selama periode 2008–2009. Namun, taper tantrum pada tahun 2013 dan ketegangan perdagangan Amerika Serikat–Tiongkok yang dimulai pada tahun 2017 berdampak negatif terhadap Indonesia.
Pertumbuhan rata-rata untuk periode 2010–2019 adalah 5,4% (Fig 1.1)
Setelah melewati beberapa krisis, Indonesia menjadi negara berpendapatan menengah ke atas pada tahun 2019, dengan pendapatan nasional bruto (PNB) per kapita sebesar US$4.070, 74 tahun setelah kemerdekaannya. Indikator sosial juga membaik, dengan tingkat kemiskinan berkurang secara signifikan dari 60% pada tahun 1970 menjadi 9,4% pada tahun 2019 (Fig 1.1). Namun demikian, jika dibandingkan dengan negara-negara sejawat, seperti Malaysia dan Singapura, yang juga mencapai kemerdekaan sekitar waktu yang sama dengan Indonesia, atau Tiongkok, yang memperoleh aksesinya ke Organisasi Perdagangan Dunia pada tahun 2001, Indonesia relatif tertinggal (Fig 1.2).
Indonesia pada dasarnya perlu mengejar ketertinggalan untuk menjalankan amanat konstitusinya, terutama dengan aspirasi untuk menjadi negara yang inklusif dan berpendapatan tinggi dalam 100 tahun kemerdekaannya. Untuk itu, penyediaan infrastruktur menjadi keharusan. Akan tetapi, Indonesia masih kesulitan untuk menyediakan infrastruktur yang memadai karena keterbatasan kapasitas fiskal dan tabungan domestik.
Pada awal tahun 1970-an, Indonesia berhasil mengalokasikan anggaran yang signifikan untuk infrastruktur karena harga minyak dan pendapatan yang menguntungkan. Namun, pada tahun 1990-an, Indonesia hanya mampu mengalokasikan sekitar 9% dari produk domestik bruto (PDB) untuk infrastruktur (OECD, 2015). Setelah krisis keuangan Asia, investasi infrastruktur anjlok hingga 2% dari PDB pada tahun 2001 dan terus menjadi relatif rendah selama beberapa tahun dibandingkan dengan rata-rata pangsa investasi infrastruktur negara-negara ekonomi Asia lainnya yang tumbuh tinggi sebesar 6%–7%, karena ruang fiskal yang terbatas dan sektor keuangan yang lumpuh pasca-AFC. Untuk mengisi kesenjangan infrastruktur yang besar, Indonesia harus memobilisasi sumber daya di luar pendanaan publik, mengoptimalkan pasar keuangan domestik yang terbatas, dan mencari sumber daya eksternal. Bab ini membahas tantangan dan bagaimana Indonesia mengatasi tantangan tersebut dari perspektif Kementerian Keuangan.
2. Tantangan dalam Menutup Kesenjangan Infrastruktur
Akar penyebab kesenjangan infrastruktur di negara-negara berkembang seperti Indonesia adalah karakteristik inheren pembangunan infrastruktur yang membutuhkan investasi besar, tetapi sering kali memberikan pengembalian finansial yang rendah dan/atau periode pengembalian yang sangat lama. Mengandalkan pendanaan publik akan menghasilkan kesenjangan yang besar karena pemerintah perlu membiayai banyak program lainnya. Akibatnya, partisipasi sektor swasta, termasuk investor asing, diperlukan untuk menutup kesenjangan tersebut. Agar sektor swasta dapat berpartisipasi, harus ada pengembalian investasi yang menarik dari proyek tersebut. Tantangannya adalah bagaimana membuat proyek infrastruktur yang tidak layak secara finansial menjadi menarik bagi investor.
Periode pengembalian modal yang panjang untuk infrastruktur idealnya dibiayai oleh pembiayaan jangka panjang. Sayangnya, sektor keuangan Indonesia relatif dangkal, dengan sektor keuangan didominasi oleh sektor perbankan. Sektor keuangan yang relatif dangkal tersebut terpukul parah oleh AFC pada tahun 1997/98. Nilai tukar tetap dengan rupiah yang dinilai terlalu tinggi dan pengawasan perbankan yang lemah membuat sektor keuangan rentan terhadap serangan mata uang. Devaluasi rupiah, inflasi yang tinggi, dan suku bunga meningkatkan kredit bermasalah. Sektor perbankan, segmen terbesar dari sektor keuangan Indonesia, pada dasarnya runtuh, meninggalkan beban fiskal yang substansial bagi pemerintah. Biaya talangan sektor perbankan sekitar 60% dari PDB. Butuh waktu lama bagi sektor perbankan untuk pulih sepenuhnya dari krisis. Dana talangan sektor perbankan membatasi ruang fiskal pemerintah dalam beberapa tahun pertama setelah Asian Financial Crisis (AFC).
Dalam beberapa tahun pertama pasca-AFC, fokus pemerintah adalah menyelamatkan sektor perbankan dan memulihkan stabilitas makroekonomi. Beberapa reformasi dilakukan untuk memulihkan sektor perbankan, yang meliputi langkah-langkah untuk memperkuat regulasi kehati-hatian: independensi bank sentral, penjaminan simpanan, dan obligasi pemerintah, antara lain. Otoritas Sektor Keuangan dan Lembaga Penjamin Simpanan didirikan. Reformasi pengelolaan fiskal juga diperkenalkan dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Akuntabilitas Keuangan Negara, dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2022 tentang Surat Utang Negara.
Pada saat Presiden Yudhoyono berkuasa pada tahun 2004, stabilitas ekonomi makro telah pulih, sektor keuangan telah mulai pulih, dan anggaran negara telah terkonsolidasi (Indrawati et al., 2020). Selama periode 2004–2014, pertumbuhan ekonomi rata-rata adalah 5,7% dan inflasi tahunan rata-rata adalah 7% (tahun ke tahun). Pemerintah menyiapkan rencana pembangunan infrastruktur untuk tahun 2005–2009.
Dengan adanya konsolidasi anggaran negara, dana publik yang tersedia untuk infrastruktur meningkat. Kementerian Keuangan mulai mencatat pengeluaran untuk pembangunan infrastruktur. Pada tahun 2005, pemerintah membelanjakan Rp26,11 triliun untuk infrastruktur. Pada awalnya, belanja modal dialokasikan langsung melalui belanja masing-masing kementerian. Kemudian, pemerintah mengadopsi kemitraan publik-swasta (KPS) atau public-private partnerships (PPP). Dalam melaksanakan proyek infrastruktur, sering kali terdapat hambatan regulasi dan kelembagaan. Beberapa reformasi sektoral juga dilakukan untuk membuat sektor tersebut lebih menarik bagi investor, termasuk undang-undang baru tentang listrik, minyak dan gas, dan telekomunikasi.
Pada tahap awal adopsi kemitraan publik-swasta (KPS) atau public-private partnerships (PPP), kisah suksesnya terbatas. KTT infrastruktur yang diselenggarakan pemerintah pada tahun 2005 dan 2006 tidak menghasilkan banyak transaksi. Salim dan Nagara (2018) mendokumentasikan bahwa kisah sukses KPS yang terbatas di masa lalu disebabkan oleh beberapa faktor: hambatan regulasi, persiapan proyek yang lemah, dan dokumentasi proyek yang tidak lengkap. Meskipun demikian, Salim dan Nagara (2018) menyatakan bahwa selama masa jabatan presiden Yudhoyono, ada peningkatan signifikan dalam penyediaan infrastruktur, yang sebagian besar didanai oleh anggaran pemerintah.
Dengan ketergantungan yang besar pada anggaran pemerintah dan terbatasnya partisipasi swasta, kesenjangan infrastruktur tetap besar hingga akhir masa jabatan Yudhoyono. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memperkirakan pendanaan yang dibutuhkan untuk mengisi kesenjangan infrastruktur untuk periode 2015–2019 sekitar US$4.796 triliun (sekitar Rp959,2 triliun setahun) dan Rp6.556 triliun lagi untuk periode 2020–2024 (sekitar Rp1.311 triliun setahun).
Anggaran belanja negara yang dialokasikan untuk infrastruktur masih relatif rendah dibandingkan dengan proyeksi kebutuhan modal. Selama periode 2015–2019, pemerintah mengalokasikan Rp1.694,6 triliun untuk infrastruktur, sekitar 35% dari proyeksi kebutuhan dana untuk periode yang sama. Untuk periode 2020–2024, pemerintah mengalokasikan Rp1.900 triliun, sekitar 20% dari proyeksi kebutuhan dana Bappenas untuk periode yang sama.
Bersambung