Mobilisasi Seluruh Kekuatan untuk Mempercepat Pembangunan Infrastruktur di Indonesia (2)

Oleh Sri Mulyani Indrawati, Oktober 2023

3.Memobilisasi Sumber Daya yang Tersedia untuk Pembangunan Infrastruktur

Pada masa pemerintahan Presiden Yudhoyono, belajar dari terbatasnya penerapan kemitraan publik-swasta  (KPS) di masa lalu dan praktik terbaik global, pemerintah mendirikan tiga lembaga keuangan untuk memfasilitasi KPS di bidang infrastruktur, yaitu PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI), PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII), dan PT Infrastructure Investment Finance (IIF), dengan harapan lembaga-lembaga yang telah berdiri tersebut akan memfasilitasi kemitraan publik-swasta  (KPS) dengan lebih baik.

Untuk membuat KPS lebih menarik, PT SMI menyediakan Project Development Facility (PDF), Viability Gap Fund (VGF) dan Availability Funding. Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK) dapat menggunakan Project Development Facility (PDF) untuk mengembangkan studi kelayakan akhir proyek dan dokumen tender. Dengan PDF, PJPK dapat mempersiapkan proyek dengan lebih baik dan berpotensi menurunkan biaya proyek bagi calon investor.

Di sisi lain, Viability Gap Fund (VGF) merupakan suntikan modal untuk proyek-proyek kemitraan publik-swasta  (KPS)  yang telah menunjukkan kelayakan ekonomi tetapi masih memerlukan kelayakan finansial lebih lanjut. Viability Gap Fund (VGF) mengurangi belanja modal investor, sehingga menghasilkan pemulihan biaya yang lebih rendah.

PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) juga menawarkan pinjaman kepada pemerintah daerah untuk pembangunan infrastruktur yang menjadi kewenangan pemerintah daerah. Selain suntikan modal langsung dari pemerintah, PT SMI juga mengelola dan menyalurkan dana dari lembaga keuangan swasta, filantropi, donor, bilateral, dan multilateral, serta perusahaan perbankan dan asuransi. PT SMI juga menerbitkan obligasi untuk mendanai operasinya. Dengan total suntikan modal sebesar Rp30,52 triliun dari pemerintah, sejak berdiri pada tahun 2009, PT SMI telah berhasil menghimpun dana sebesar Rp947,86 triliun untuk mendukung proyek infrastruktur.

PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII)  juga merupakan badan usaha milik negara di bawah Kementerian Keuangan yang didirikan pada Desember 2009 untuk memberikan jaminan pembiayaan bagi proyek infrastruktur. PT PII memberikan jaminan atas risiko yang terkait dengan perilaku pemerintah atau ketidakpastian politik, seperti perubahan regulasi, yang dapat mengakibatkan peningkatan biaya bagi investor (first loss absorber). PT PII juga memberikan jaminan kepada BUMN yang terlibat dalam pembangunan infrastruktur untuk mendapatkan pinjaman. Dengan keberadaan PT PII, pemerintah tidak secara langsung terekspos pada kewajiban kontinjensi. Dalam kegiatan operasionalnya, PT PII juga membantu PJPK dalam penyiapan proyek dan bantuan transaksi melalui Project Development Facility (PDF) dan Viability Gap Fund (VGF), khususnya melalui IIGF Institute.

Setelah berdiri dengan suntikan modal dari pemerintah sebesar Rp9,085 triliun, PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII)  saat ini memiliki aset mendekati Rp16 triliun dan memberikan penjaminan untuk 39 proyek infrastruktur dari berbagai sektor. Investasi yang dimobilisasi dari proyek-proyek tersebut sekitar Rp410,6 triliun dan telah didukung oleh Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) dan penjaminan pinjaman langsung Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dengan demikian, rasio leverage PT PII (yaitu jumlah investasi yang dimobilisasi terhadap jumlah Penyertaan Modal Negara (PMN) yang diterima) sangat mengesankan, yakni sebesar 45,2 kali.

PT Indonesia Infrastructure Finance (IIF) merupakan lembaga keuangan lain yang didirikan oleh Kementerian Keuangan Pemerintah Republik Indonesia, Bank Pembangunan Asia (ADB), Bank Dunia, dan beberapa organisasi multilateral lainnya dengan tujuan yang sama dengan PT SMI, yaitu memfasilitasi KPS di bidang infrastruktur. PT IIF menyediakan layanan yang serupa dengan PT SMI, dengan fokus pada proyek infrastruktur di sektor-sektor seperti telekomunikasi, kelistrikan (energi terbarukan dan tak terbarukan), dan jalan tol, yang memiliki ketahanan jangka panjang dan tidak elastis terhadap kenaikan suku bunga acuan. Pada tahun 2022, IIF telah menutup kesepakatan 10 komitmen pembiayaan baru dengan total Rp1,67 triliun, sehingga total aset investasinya meningkat 21% menjadi Rp14,82 triliun.

Dalam praktiknya, PT Indonesia Infrastructure Finance (IIF) berkomitmen untuk mengintegrasikan prinsip-prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola environmental, social, and governance (ESG)  ke dalam strategi bisnisnya, termasuk pembiayaan proyek infrastruktur sosial, seperti rumah sakit, untuk menjembatani mata pencaharian dan memperluas kesejahteraan masyarakat. Pada November 2022, sebagai bagian dari Presidensi G20 Indonesia, yang diselenggarakan oleh IIF, Indonesia meluncurkan Kerangka Kerja dan Manual ESG untuk dukungan dan fasilitas pemerintah dalam pembiayaan infrastruktur. Kerangka kerja dan manual tersebut merupakan pedoman untuk menerapkan faktor-faktor ESG dalam pembiayaan infrastruktur dengan mengoptimalkan fungsi Special Mission Vehicle (SMV) di bawah Kementerian Keuangan melalui skema KPBU. Penerapan ESG diharapkan dapat memastikan bahwa penyediaan infrastruktur dapat menghasilkan dampak positif sosial ekonomi sekaligus meminimalkan potensi risiko (dampak negatif) terhadap aspek ESG. IIF bertindak sebagai jangkar untuk penerapan kerangka kerja tersebut. Indonesia melakukan uji coba penerapan ESG pada dua proyek KPS perumahan dan air yang menerima PDF pada tahun 2022. Pada tahun 2024, kerangka kerja ESG G20 akan diterapkan ke semua proyek KPS.

PT Indonesia Infrastructure Finance (IIF) merupakan lembaga keuangan lain yang didirikan oleh Kementerian Keuangan Pemerintah Republik Indonesia, Bank Pembangunan Asia (ADB), Bank Dunia, dan beberapa organisasi multilateral lainnya dengan tujuan yang sama dengan PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI)  yaitu memfasilitasi KPS di bidang infrastruktur. PT IIF menyediakan layanan yang serupa dengan PT SMI, dengan fokus pada proyek infrastruktur di sektor-sektor seperti telekomunikasi, kelistrikan (energi terbarukan dan tak terbarukan), dan jalan tol, yang memiliki ketahanan jangka panjang dan tidak elastis terhadap kenaikan suku bunga acuan. Pada tahun 2022, IIF telah menutup kesepakatan 10 komitmen pembiayaan baru dengan total Rp1,67 triliun, sehingga total aset investasinya meningkat 21% menjadi Rp14,82 triliun.

Note: PT IIF sepenuhnya dikelola sebagai perusahaan swasta, dengan pemegang saham terdiri dari Asian Development Bank (ADB), International Finance Corporation (IFC), Deutsche Investitions-und Entwicklungsgesellschaft mbH (DEG) dan kemitraan publik-swasta (KPS) atau public-private partnerships (PPP).

PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI)  sebesar Rp600 miliar, Asian Development Bank (ADB) sebesar ekuivalen Rp400 miliar, International Finance Corporation (IFC) sebesar ekuivalen Rp400 miliar dan Deutsche Investitions-und Entwicklungsgesellschaft mbH (DEG) sebesar ekuivalen Rp200 miliar. Total Rp 1 600 milyar. PT IIF akan memperoleh pinjaman dari World Bank dan ADB masing-masing sebesar ekuivalen Rp1 triliun. Sehingga Total Rp 2 600 milyar.

Reformasi untuk mengurai hambatan pembangunan infrastruktur juga dilakukan pada beberapa aspek lain, seperti hambatan kelembagaan (masalah koordinasi) dan pembebasan lahan. Masalah koordinasi tersebut diatasi dengan pembentukan Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP) pada tahun 2014. KPPIP berperan sentral dalam pengambilan keputusan, penyiapan proyek, pelaksanaan, dan pemantauan proyek infrastruktur strategis. Presiden Joko Widodo mencanangkan Proyek Strategis Nasional (PSN) pada tahun 2016 untuk mempercepat pembangunan infrastruktur strategis. Proyek infrastruktur yang tercantum dalam PSN mendapat perlakuan khusus, misalnya persetujuan perizinan yang dipercepat, pembebasan lahan yang dipermudah, dan insentif fiskal, jika memenuhi syarat.

Ketidaksesuaian waktu siklus penganggaran antara kementerian yang bertanggung jawab atas proyek dengan periode pembayaran kepada pemilik tanah juga menimbulkan komplikasi dalam proses pembelian tanah. Untuk mengatasi masalah tersebut, pada tahun 2016 pemerintah menugaskan Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN), yang beroperasi sebagai badan layanan publik (BLU) di bawah lingkup Kementerian Keuangan untuk mengelola dana untuk keperluan pengadaan tanah, khususnya untuk proyek-proyek yang diklasifikasikan sebagai PSN. LMAN, sebagai BLU, memiliki fleksibilitas yang lebih besar dalam hal penanganan keuangan daripada kementerian, yaitu dapat mengelola pendanaan multi-tahun, yang memungkinkan LMAN untuk membayar pemilik tanah bahkan jika proses pembelian tanah memakan waktu lebih dari satu tahun. Uang yang diberikan kepada LMAN dari APBN dianggap sebagai investasi pemerintah. Pemerintah telah berkomitmen Rp144,46 triliun kepada LMAN untuk kompensasi pengadaan tanah PSN hingga 30 Juni 2023, dengan Rp113,458 triliun telah didistribusikan kepada pemilik tanah untuk berbagai proyek infrastruktur penting. Hal ini telah memfasilitasi pelaksanaan inisiatif PSN yang cepat. Kemudian, berdasarkan Undang-Undang Cipta Kerja, pemerintah membentuk Otoritas Bank Tanah Indonesia untuk memfasilitasi investasi.

Meskipun pendirian PT SMI, PT PII, PT IIF dan LMAN melalui peran pembiayaannya telah mempercepat pelaksanaan infrastruktur dan partisipasi swasta, pembiayaan infrastruktur masih belum memadai. Dua puluh lima tahun setelah AFC, sektor keuangan Indonesia masih dangkal.

Pada tahun 2022, total aset sektor keuangan mencapai Rp13.565,8 triliun, dengan 78% di antaranya berada di sektor perbankan yang lebih cocok untuk pembiayaan jangka pendek. Sementara itu, instrumen asuransi, dana pensiun, dan pembiayaan jangka panjang lainnya belum berkembang dengan baik. Pada tahun 2022, total aset asuransi dan dana pensiun masing-masing sekitar 9,7% dan 8,3% dari total aset sektor keuangan.

Lembaga pembiayaan juga relatif kecil, yakni sekitar 3,4% dari total aset sektor keuangan pada tahun 2022. Jika dibandingkan dengan negara-negara sejawat, sektor keuangan Indonesia terlihat relatif kecil. Aset sektor perbankan Malaysia tiga kali lebih tinggi daripada Indonesia pada tahun 2021. Aset sektor perbankan Singapura mendekati 10 kali lipat aset perbankan Indonesia pada tahun 2021. Rata-rata rasio tabungan Indonesia pada tahun 2010–2019 sekitar 30%. Pascapandemi, rasio tabungan sedikit lebih tinggi, yakni 34% pada tahun 2021 dan 37% pada tahun 2022. Akibatnya, sumber pendanaan infrastruktur dari pasar domestik agak terbatas.

Situasi ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Kekurangan pembiayaan infrastruktur juga terjadi di negara-negara maju. Upaya paralel untuk menutup kesenjangan tersebut adalah melalui mobilisasi sumber daya keuangan asing. Pada tahun 2021, pemerintah mendirikan Otoritas Investasi Indonesia atau Indonesian Investment Authority (INA), sebuah dana kekayaan negara untuk lebih mempercepat investasi. INA memfasilitasi investor asing untuk menemukan aset yang sesuai yang dapat memberikan keuntungan yang menarik. INA mengidentifikasi skema dan struktur investasi yang saling menguntungkan dan menguntungkan bagi pemilik aset dan investor. INA menerima suntikan modal sebesar Rp75 triliun dari Pemerintah Indonesia. Pada tahun 2022, INA berinvestasi pada dua aset jalan tol sepanjang sekitar 100 km di koridor Trans-Jawa (Tol Kanci-Pejagan dan Tol Pejagan-Pemalang) milik Waskita Karya senilai US$400 juta. Juga pada tahun 2020, sebagai bagian dari konsorsium global, INA berinvestasi di Traveloka sebesar US$300 juta. Menjelang akhir tahun 2022, INA telah merampungkan proses investasi di PT Kimia Farma Apotek dengan nilai investasi sebesar Rp1,9 triliun, dengan porsi INA sebesar Rp930 miliar. Saat ini, INA mengelola aset investasi sebesar Rp134,6 triliun (setara US$9 miliar), termasuk proyek infrastruktur.

Parlemen / DPR dan pemerintah sepakat untuk terus melakukan reformasi sektor keuangan agar pembangunan sektor keuangan Indonesia dapat dipercepat. Reformasi keuangan tersebut dituangkan dalam bentuk Omnibus Law Sektor Keuangan, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023. Undang-undang tersebut bertujuan untuk meningkatkan akses layanan keuangan, memperluas sumber pembiayaan jangka panjang, mendorong daya saing dan efisiensi, serta meningkatkan variasi instrumen, serta memperkuat mitigasi risiko dan perlindungan konsumen dan investor. Undang-undang tersebut memuat berbagai inisiatif reformasi, tidak hanya di sektor perbankan tetapi juga di pasar modal, dana pensiun, dan asuransi, yang merupakan sumber pembiayaan jangka panjang yang vital untuk pembiayaan pembangunan ekonomi, termasuk infrastruktur. Oleh karena itu, pembangunan sektor keuangan Indonesia tidak hanya akan mendukung penghimpunan dana jangka panjang tetapi juga mobilisasi pendanaan untuk infrastruktur. Dengan undang-undang baru tersebut, lembaga keuangan dapat menawarkan instrumen yang lebih beragam sesuai dengan selera risiko investor dalam proses investasi di PT Kimia Farma Apotek dengan nilai investasi sebesar Rp1,9 triliun, dengan porsi INA sebesar Rp930 miliar. Saat ini INA mengelola aset investasi sebesar Rp134,6 triliun (setara US$9 miliar), termasuk proyek infrastruktur.

Parlemen / DPR dan pemerintah sepakat untuk terus melakukan reformasi di sektor keuangan agar pembangunan sektor keuangan Indonesia dapat dipercepat. Reformasi keuangan tersebut dituangkan dalam bentuk Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Sektor Keuangan. Undang-Undang tersebut bertujuan untuk meningkatkan akses layanan keuangan, memperluas sumber pendanaan jangka panjang, meningkatkan daya saing dan efisiensi, serta meningkatkan keragaman instrumen, serta memperkuat mitigasi risiko dan perlindungan konsumen dan investor. Undang-Undang tersebut memuat berbagai inisiatif reformasi, tidak hanya di sektor perbankan, tetapi juga di pasar modal, dana pensiun, dan asuransi, yang merupakan sumber pendanaan jangka panjang yang vital untuk membiayai pembangunan ekonomi, termasuk infrastruktur. Dengan demikian, pembangunan sektor keuangan Indonesia tidak hanya akan mendukung penghimpunan dana jangka panjang, tetapi juga mobilisasi pendanaan untuk infrastruktur. Dengan undang-undang baru ini, lembaga keuangan dapat menawarkan lebih banyak jenis instrumen yang sesuai dengan selera risiko investor.

Tantangan Masa Depan

Cita-cita Peringatan Seratus Tahun

Indonesia akan merayakan 100 tahun kemerdekaannya pada tahun 2045. Para pemimpin Indonesia bercita-cita menjadikan negara ini sebagai negara dengan ekonomi berpendapatan tinggi dan lebih inklusif pada saat itu. Bappenas (2019) menyatakan cita-cita Indonesia untuk menjadi negara dengan ekonomi terbesar kelima dengan pendapatan per kapita sebesar US$23.199 pada tahun 2045.

Namun, pukulan lain bagi perekonomian terjadi pada awal tahun 2020 ketika pandemi global COVID-19 melanda. Pandemi tersebut tidak hanya menjadi krisis kesehatan tetapi juga krisis sosial ekonomi yang melumpuhkan perekonomian global. Tingkat keparahan pandemi dan dampaknya terhadap Indonesia telah dibahas secara luas oleh Indrawati dkk. (2022), Witoelar dan Utomo (2022) dan Ing dan Basri (2022). Singkatnya, perekonomian mengalami kontraksi sebesar 2,07% pada tahun 2020 setelah pertumbuhan rata-rata 5,3% pada dekade sebelumnya. Pandemi tersebut membawa Indonesia kembali ke kategori negara berpendapatan rendah-menengah pada tahun 2020.

Tingkat kemiskinan meningkat dari 9,22% pada September 2019 menjadi 9,78% pada Maret 2020. Indonesia pulih dan kembali ke lintasan pertumbuhan ekonomi positifnya pada tahun 2021 dan kembali masuk dalam kategori negara berpenghasilan menengah ke atas pada tahun 2022 dengan PNB per kapita sebesar US$4.580, meskipun ada ketidakpastian ekonomi global tahun 2022 akibat perang Ukraina. Indikator sosial juga membaik seiring dengan pemulihan ekonomi. Pada tahun 2022, tingkat kemiskinan sebesar 9,54% dan terus menurun menjadi 9,36% pada Maret 2023. Penanganan pandemi dan dampaknya yang cermat serta kebijakan moneter dan fiskal yang terkoordinasi merupakan salah satu faktor keberhasilan pemulihan yang cepat.

Tanpa pandemi COVID-19, Indonesia diproyeksikan dapat mencapai target yang ditetapkan pada tahun 2045 dengan pertumbuhan rata-rata 5,7% selama periode 2016–2045. Dengan adanya pandemi COVID-19 dan dampak yang ditimbulkannya, Indonesia perlu bekerja lebih keras untuk mencapai aspirasi tersebut. Kementerian Keuangan (2023) memproyeksikan bahwa diperlukan pertumbuhan ekonomi tahunan rata-rata sebesar 6% untuk periode 2023–2045 (Gambar 1.3a). Tidak hanya tenaga kerja dan modal tambahan tetapi peningkatan produktivitas juga diperlukan untuk mempercepat pertumbuhan (Gambar 1.3b). Meskipun demikian, tantangan terus meningkat, mulai dari perang di Ukraina, perang Israel-Hamas, meningkatnya proteksionisme, dan tekanan suku bunga tinggi di negara-negara maju, termasuk Amerika Serikat, dalam waktu yang lebih lama.

Kelimpahan sumber daya alam dan modal manusia akan menjadi sumber pertumbuhan Indonesia. Indonesia merupakan produsen nikel terbesar, bahan penting untuk baterai kendaraan listrik, dan juga kaya akan bauksit, bahan penting untuk pengemasan. Indonesia merupakan produsen minyak kelapa sawit terbesar, sumber energi hijau yang potensial. Negara ini juga kaya akan tenaga kerja, yang menawarkan bonus demografi. Pada tahun 2030-an, Indonesia akan mencapai puncak bonus demografinya, ketika 68% penduduknya akan berusia produktif. Pada tahun 2045, total penduduk Indonesia akan mencapai 319 juta jiwa, dengan 70% penduduknya berada dalam kategori kelas menengah-kaya. Pemerintah telah menetapkan jalur menuju aspirasinya dalam perencanaan ekonomi jangka menengah dan panjang dengan mengisi kesenjangan modal manusia, kesenjangan kelembagaan, dan kesenjangan infrastruktur yang ada. KPS yang lebih ramah dibutuhkan investor.

Infrastruktur yang Tahan terhadap Iklim

Tantangan lain datang dari perubahan iklim. Pada tahun 2015, para pihak berjanji dalam Perjanjian Paris untuk menjaga kenaikan suhu global di bawah 2°C di atas tingkat pra-industri dan sebaiknya membatasi kenaikan hingga 1,5°C, yang berarti bahwa emisi global harus mencapai puncaknya sebelum tahun 2025 dan emisi global dikurangi sebesar 43% pada tahun 2030.

Saat kita melewati pertengahan rentang waktu antara tahun 2015 dan 2030 tahun ini, dan akan ada inventarisasi global pertama di COP 28 pada akhir tahun 2023, suhu global telah meningkat 1,1°C. Ini berarti bahwa untuk mencapai batas 1,5°C, kita hanya memiliki peningkatan 0,4°C lagi dan memerlukan strategi yang jauh lebih agresif. Bahkan mencapai target 2°C akan menjadi tantangan dari lintasan saat ini. Ini menyiratkan perlunya upaya yang lebih ambisius untuk mengubah semua sektor, mulai dari penghasil emisi tertinggi, seperti energi, dan sumber penyerapan karbon tertinggi, yaitu hutan, hingga penggunaan penangkapan karbon untuk sektor-sektor terkait fosil dan pemotongan emisi metana, terutama di sektor pertanian.

Tantangan ini muncul di tengah semakin terfragmentasinya ekonomi global, meningkatnya ketegangan geopolitik, dan kebijakan industri serta perdagangan yang lebih berorientasi ke dalam negeri yang dapat menghambat pemulihan pertumbuhan global. Pada saat yang sama, negara-negara masih menghadapi tantangan pascapandemi COVID-19, dengan ruang fiskal yang lebih terbatas dan kenaikan suku bunga untuk mengendalikan inflasi, yang dapat menghambat upaya untuk meningkatkan pertumbuhan sekaligus menciptakan tantangan tambahan dalam dinamika utang luar negeri.

Iklim memiliki karakteristik sebagai barang publik, yang tidak dapat dikecualikan dan tidak dapat diperebutkan, yang menciptakan masalah tumpangan gratis global yang kuat karena biaya tindakan pengurangan lebih tinggi daripada manfaatnya bagi negara, perusahaan, atau individu tertentu. Tanpa tindakan kolektif global yang kuat, akan selalu ada kemauan politik yang lebih lemah daripada yang diperlukan untuk dapat memobilisasi cukup banyak pendanaan dan upaya untuk mencapai tujuan.

Demikian pula, pandemi COVID-19 juga merupakan barang publik global tetapi telah berhasil mendapatkan lebih banyak perhatian publik karena berdampak langsung pada masyarakat dalam waktu singkat, tidak seperti perubahan iklim. Belanja fiskal selama dua tahun pandemi mencapai US$9 triliun (tidak termasuk penangguhan pajak, kontribusi jaminan sosial, dan ketentuan pemerintah untuk pinjaman dan ekuitas serta jaminan pemerintah), sementara kebutuhan untuk mencapai nol emisi bersih adalah sekitar US$4 triliun per tahun untuk transisi ke energi bersih, menurut Badan Energi Internasional.

Sifat barang publik global juga dapat menjelaskan tantangan bagi negara-negara Utara untuk memenuhi janji US$100 miliar per tahun pada tahun 2020 atau diskusi hangat mengenai Pasal 2.1c, yang membahas arus keuangan yang konsisten dengan jalur menuju target Perjanjian Paris. Dunia membutuhkan lebih banyak pendanaan untuk aksi iklim mulai sekarang hingga tahun 2030, sekitar US$1 triliun per tahun pada tahun 2025 hingga US$2,4 triliun pada tahun 2030 untuk negara-negara ekonomi berkembang, tidak termasuk Tiongkok, menurut catatan Songwe, Stern, dan Bhattacharya yang diterbitkan selama COP27.

Selain pembiayaan untuk ekonomi rendah karbon yang baru, negara-negara yang sedang menjalani transisi juga perlu ‘membayar’ peluang yang hilang dari aset yang terlantar.

Menurut Badan Energi Internasional, fasilitas energi berbasis fosil senilai US$90 miliar yang ada dapat terlantar dan mencapai hingga $400 miliar pada tahun 2050. Pasar negara berkembang dan ekonomi berkembang akan menghadapi biaya aset terlantar yang lebih tinggi karena sebagian besar aset ini lebih muda daripada aset sejenis di belahan bumi utara.

Mengingat tantangan-tantangan ini, Indonesia terus memiliki komitmen yang kuat, dengan ambisi untuk mencapai nol emisi bersih pada tahun 2060 atau lebih awal, dengan peningkatan kontribusi yang ditentukan secara nasional (NDC) untuk tahun 2023 sebesar 31,89%, atau 43,20% dengan dukungan internasional. Dua sektor utama untuk mitigasi adalah kehutanan dan energi, dengan masing-masing 500 dan 358 megaton CO2-ekuivalen, yang mencakup lebih dari 90% dari target Indonesia. Namun, terdapat perbedaan dalam biaya pengurangan di antara sektor-sektor, dengan biaya pengurangan untuk sektor energi jauh lebih tinggi daripada biaya pengurangan untuk kehutanan.

Kita memerlukan mekanisme pembiayaan yang kuat untuk kegiatan hijau dan transisi, termasuk pendekatan bottom-up, seperti mengembangkan proyek yang layak bank dan siap untuk dibiayai. Menurunkan biaya pembiayaan akan memerlukan campuran pembiayaan konsesi global yang lebih besar, terutama dari bank pembangunan multilateral atau multilateral development banks (MDB). Pembiayaan konsesi dari pemerintah dan MDB dapat membantu menarik investasi swasta yang sangat dibutuhkan dan memanfaatkan modal swasta melalui pembiayaan inovatif, seperti investasi ekuitas. Memperluas peran MDB dan, oleh karena itu, reformasi MDB untuk pembiayaan iklim adalah tepat waktu.

Di tingkat negara, pemerintah telah menyiapkan kebijakan, instrumen, dan lembaga yang tepat yang dibutuhkan untuk transisi. Indonesia telah membentuk platform negara Mekanisme Transisi Energi untuk memfasilitasi proyek-proyek transisi energi menggunakan pembiayaan campuran, yang akan mencakup instrumen-instrumen pengurangan risiko untuk menarik investasi swasta.

Selain itu, Indonesia saat ini tengah mengembangkan pasar karbon dan pertukaran karbon untuk menentukan harga karbon dan menginternalisasi eksternalitas, sehingga berdampak pada emisi karbon melalui mekanisme penetapan harga atau pasar. Presiden Jokowi mengumumkan Bursa Karbon Indonesia pada September 2023, tepat sebelum finalisasi buku ini.

Selain itu, diperlukan upaya lebih lanjut dalam ekosistem pendanaan transisi, misalnya dengan menciptakan pelaporan dan pengungkapan yang kredibel yang diperlukan untuk pendanaan transisi, serta badan verifikasi yang diterima secara internasional yang dapat dioperasikan secara bersama-sama untuk memastikan kelancaran arus pendanaan transisi di seluruh dunia.

Meningkatnya risiko yang ditimbulkan oleh perubahan iklim memerlukan upaya bersama untuk meningkatkan strategi mitigasi dan adaptasi. Infrastruktur memiliki peran penting dalam mitigasi dan adaptasi terhadap tantangan yang ditimbulkan oleh bencana dan perubahan iklim. Infrastruktur berfungsi sebagai komponen utama dalam meningkatkan ketahanan dan memfasilitasi kapasitas untuk mengatasi risiko bencana. Selain itu, infrastruktur juga berkontribusi terhadap emisi karbon, yang semakin menekankan signifikansinya dalam konteks mitigasi perubahan iklim. Menurut Thacker et al. (2021), mayoritas emisi gas rumah kaca (GRK) global, khususnya lebih dari 79%, dapat dikaitkan dengan infrastruktur. Akibatnya, penerapan infrastruktur yang sesuai berpotensi berkontribusi pada pengurangan emisi GRK.

Pembiayaan infrastruktur yang tahan terhadap iklim menghadirkan kesulitan karena adanya kesenjangan antara investasi awal yang substansial yang dibutuhkan dan manfaat tak berwujud jangka panjang yang tidak teramati. Keuntungan tak berwujud dapat mencakup peningkatan ketahanan, berkurangnya atau terhindarnya gangguan selama kejadian bencana, lebih sedikit kematian, kerusakan, dan kerugian produktivitas, serta manfaat sosial ekonomi tidak langsung lainnya.

Meskipun banyak perhitungan dan bukti praktis menunjukkan bahwa keuntungan infrastruktur tangguh lebih besar daripada biayanya, investor swasta tidak dapat memasukkannya sebagai aliran pendapatan dalam rencana bisnis mereka. Intervensi pemerintah diperlukan untuk memilih antara proyek infrastruktur yang sadar iklim dan proyek infrastruktur yang berjalan seperti biasa.

Indonesia juga menerbitkan sukuk hijau, bagian dari obligasi berkelanjutan, untuk membiayai infrastruktur yang adaptif terhadap iklim. Pemerintah meluncurkan sukuk hijau pertama di seluruh dunia, senilai US$1,25 miliar, pada Maret 2018. Penawaran ini mengalami kelebihan permintaan hingga 2,5 kali lipat. Pada tahun-tahun berikutnya, Indonesia terus menerbitkan sukuk hijau, dengan pemerintah mengambil peran sebagai penerbit utama. Pemerintah menerbitkan sukuk hijau ritel domestik (dalam mata uang rupiah) dan internasional (dalam mata uang dolar AS). Penerbit lain, selain pemerintah, memasok obligasi hijau. Pada akhir tahun 2020, pemerintah memiliki US$3,1 miliar dari total US$5,0 miliar obligasi hijau yang beredar.

Pemanfaatan penataan risiko dalam skema pembiayaan campuran juga dapat diterapkan pada penataan risiko dan pengembalian yang terkait dengan proyek infrastruktur yang tahan iklim. Pinjaman konsesional, hibah, dana pemerintah, dan sumbangan filantropis dapat digunakan untuk mempertahankan risiko dan pengembalian tidak berwujud yang tidak akan ditanggung oleh investor swasta. Sementara dana swasta membiayai komponen yang menghasilkan arus kas pemulihan biaya. Penggabungan dana berkelanjutan atau berfokus pada iklim yang ditargetkan, seperti dana Just Energy Transition Partnership (JETP), mungkin juga tepat. Oleh karena itu, infrastruktur yang tangguh dapat dikembangkan melalui pembiayaan kolektif dari berbagai investor. Indonesia berkomitmen untuk memberikan dukungan bagi kemajuan banyak skema keuangan yang bertujuan untuk meningkatkan dan menambah pembangunan infrastruktur yang kuat.

terjemahan bebas oleh gandatmadi46@yahoo.com

Post navigation

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *