Paul Krugman: End This Depressision Now

Pak Boy alm menulis mengenai keadaan ekonomi Indonesia sebaiknya dimulai mendalami apa yang disebut Asian Crash pada tahun 1977, Thailand memulai melakukan devaluasi mata uang Baht sehingga timbul run on the Bank.  Dengan dimulainya suatu capital flight khususnya US $  terjadi melt down dan domino effect di seluruh Asia Tenggara (dan Korea Selatan).  Beberapa tahun kemudian negara-negara tersebut cepat bangun kembali  sedangkan Indonesia yang paling lambat. 

Boy Djajanegara adalah  alumni Nederlandshe  Economische Hogeschool  Rotterdam kini menjadi Erasmus Economische Hogeschool. Pak Boy satu Angkatan dengan Menteri Arifin Siregar di sekolah tersebut (1953–1956), S1 dan S2 di (1958 –1960)  dan senior dari Pak Kik Kian Gie (1956 – 1963).

Cerita depresi 1997 dianalisa oleh Paul Krugman, peraih hadiah Nobel (Nobel Prize Laureate) dalam bukunya The Return of Depression Economics.  

Dalam buku terbarunya Paul Krugman berjudul End This Depressision Now, beliau melakukan kritikan tajam kepada semua Pemerintah yang mencari solusi dengan cara penghematan “restrain“uang. Krugman berpendapat justru Pemerintah harus spending lebih banyak agar ekonomi tetap berjalan dan tumbuh. Visi spending ala Krugman adalah titik beratnya (emphasize)  terhadap pengeluaran biaya untuk pembangunan infrastruktur.Expenditure merupakan income bagi pekerja.

Krugman menyatakan secara eksplisit di bagian awal bukunya , namun, poin pentingnya adalah bahwa yang benar-benar kita butuhkan untuk keluar dari depresi saat ini adalah lonjakan belanja pemerintah. Apakah sesederhana itu? Apakah semudah itu? Pada dasarnya, ya.

End This Depressision Now sebagai seruan untuk kebijakan ekspansif yang stimulatif dan diakhirinya penghematan. Buku ini menunjukkan bahwa data ekonomi historis yang ada menunjukkan: pemotongan fiskal dan langkah-langkah penghematan hanya merampas perekonomian dari dana berharga yang dapat beredar dan menambah ekonomi yang buruk. Jika ada pengangguran yang besar, tidak akan ada konsumsi yang cukup. Dalam konsumsi yang buruk, orang tidak dapat berbelanja dan pasar tidak dapat berkembang. Krugman membantah bahwa meskipun perlu untuk memotong utang, itu adalah saat terburuk untuk melakukannya ketika ekonomi baru saja mengalami guncangan keuangan yang parah. Itu harus dilakukan ketika ekonomi bekerja penuh dan sektor swasta dapat menanggung beban penurunan belanja pemerintah dan penghematan. Kegagalan untuk menstimulasi ekonomi oleh sektor publik atau swasta hanya akan memperpanjang depresi ekonomi saat ini dan memperburuknya.

Krugman menulis tentang upaya anti-resesi dari Gedung Putih Obama bahwa ia “secara pribadi hampir-hampir merasa kesal di depan umum ketika rencana pemerintahan mulai terlihat jelas.” Ia menjelaskan bahwa ia “takut bahwa stimulus yang tidak memadai akan gagal menghasilkan pemulihan yang memadai dan melemahkan argumen politik untuk tindakan lebih lanjut”, mengingat Undang-Undang Pemulihan dan Reinvestasi yang disahkan terlalu kecil untuk merespons kedalaman krisis ekonomi menurut pandangannya.

Ia mengutip pertumbuhan belanja pemerintah dan regulasi ekonomi di awal keterlibatan AS dalam Perang Dunia II sebagai bukti kunci argumennya. Ia menulis, “Seiring dengan meningkatnya belanja militer yang menciptakan lapangan kerja dan pendapatan keluarga, belanja konsumen juga meningkat (pada akhirnya akan dibatasi oleh penjatahan, tetapi itu terjadi kemudian). Seiring dengan pertumbuhan penjualan, bisnis juga merespons dengan meningkatkan belanja. Dan begitu saja, Depresi Besar berakhir.”

Krisis Asia 1997

IndonesiaKorea Selatan, dan Thailand adalah negara-negara yang terkena dampak krisis terparah. Hong KongLaosMalaysia, dan Filipina juga terdampak oleh turunnya nilai mata uang. BruneiTiongkokSingapuraTaiwan, dan Vietnam tidak kentara dampaknya, tetapi sama-sama merasakan turunnya permintaan dan kepercayaan investor di seluruh Asia.

Rasio utang luar negeri terhadap PDB naik dari 100% menjadi 167% di empat negara besar ASEAN pada tahun 1993–96, lalu melonjak hingga 180% pada masa-masa terparah dalam krisis ini. Di Korea Selatan, rasionya naik dari 13% menjadi 21%, lalu memuncak di angka 40%. Negara industri baru lainnya masih lebih baik.

Dalam situasi masa krisis 1997/1998 tersebut, Indonesia terpaksa harus berutang sebesar US$ 9,1 miliar kepada IMF untuk mengatasi krisis keuangan, dan utang tersebut baru lunas pada tahun 2006. Indonesia pun berhasil melunasi utang-utangnya kepada IMF pada tahun 2006 di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pembayaran cicilan utang yang seharusnya jatuh tempo pada tahun 2010 dilunasi lebih cepat.

Apakah Stimulus yang dirilis di RAPBN 2026 menambah utang? Karena difisit RAPBN 2026 diperkirakan sebesar Rp638,8 triliun atau 2,48 persen dari PDB.

gandatmadi46@yahoo.com

Post navigation

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *