Post Truth – Saring Sebelum Sharing

Di Indonesia setidaknya terdapat 30 sampai 60 persen orang terpapar hoaks saat mengakses dan berkomunikasi melalui dunia maya. Sementara itu, hanya terdapat 21 sampai 36 persen saja jumlah masyarakat yang mampu mengenali dan memilah informasi yang didapatkan

Menurut Oxford, istilah post-truth pertama kali digunakan dalam sebuah artikel yang ditulis dramawan Serbia-Amerika Steve Tesich. Artikel tersebut dipublikasikan di majalah The Nation pada Januari 1992 dengan judul A Government of Lies. Dalam tulisannya, Tesich berpendapat bahwa skandal Iran/Contra di bawah pemerintahan Reagan semakin menguatkan kenyataan bahwa rakyat Amerika takut akan kebenaran. Skandal Iran/Contra terjadi ketika Presiden AS Ronald Reagen diketahui menjual senjata kepada Iran tanpa persetujuan Senat. Penjualan senjata tersebut dilakukan melalui barter dengan tawanan AS pada tahun 1980.

UII

Irving V. Paputungan dan Kurniawan D. Irianto, Dosen Informatika UII menulis dengan judul Kredibilitas Informasi dan Berita Hoaks dalam Islam – Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang. (QS. Al-Hujurat: 12).

Universitas Telkom: Memahami Era Post truth dan Dampaknya pada Literasi Digital.

UGM

Sebagai rangkaian acara menyongsong Graduate Students Symposium on Communication Science (GSSC) 2023, Diskusi Komunikasi Mahasiswa (Diskoma) selenggarakan webinar bertajuk “Melihat ‘Truth’ di Era Post-Truth” pada Jumat (17/11) secara daring melalui Zoom Meeting dan Youtube Live – Departemen Ilmu Komunikasi UGM. Kegiatan diskusi ini juga mendukung tujuan SDGs poin 16 tentang perdamaian, keadilan, dan kelembagaan. 

Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Post-Truth, Ancaman Serius bagi Kredibilitas Informasi

Kita hidup di era di mana informasi tersedia secara melimpah, tapi ironisnya, fakta-fakta objektif seringkali tidak lagi menjadi dasar utama dalam membentuk opini publik atau kebijakan politik. Sebuah fenomena yang disebut dengan post-truth menjadi ancaman bagi masyarakat untuk menentukan mana yang fakta dan bukan.

Fenomena post-truth sendiri dapat dijelaskan sebagai suatu kondisi dimana seringnya fakta aktual digantikan oleh daya tarik emosi dan prasangka pribadi dalam upaya mempengaruhi opini publik. Fakta atas suatu peristiwa biasanya disajikan dengan manipulasi sebuah informasi agar sesuai dengan intensi atau kepentingan si penyebar berita, atau lebih buruknya yang disebarkan bukanlah fakta sama sekali.

Dilansir dari laman Katadata Insight Center (KIC), di Indonesia sendiri setidaknya terdapat 30 sampai 60 persen orang terpapar hoaks saat mengakses dan berkomunikasi melalui dunia maya. Sementara itu, hanya terdapat 21 sampai 36 persen saja jumlah masyarakat yang mampu mengenali dan memilah informasi yang didapatkan. 

Hal ini tentu menjadi sebuah masalah, karena pada post-truth ini para pelaku memiliki tujuan lebih dari  sekadar menyebarkan berita bohong, tetapi membuat seseorang mempercayai suatu data terlepas ada atau tidaknya bukti.  Lebih dari itu, post-truth juga mencakup penyalahgunaan informasi fakta. Seperti penggunaan gambar tertentu untuk menjelaskan situasi yang bukan sebenarnya. Akhirnya, informasi yang diberikan bukan lagi merupakan informasi yang valid dan kredibel. 

Salah satu faktor terjadinya fenomena ini adalah kondisi transisi masuknya teknologi ke dalam kehidupan bermasyarakat. Terbukanya ruang internet mendorong hadirnya siapapun dalam ruang publik yang bukan lagi berdasarkan esensi, melainkan eksistensi. Sifat serba cepat yang ditawarkan pun turut memicu masyarakat menjadi tidak kritis dan irasional dalam mencerna sebuah informasi. Akhirnya, banyak orang menjadi tidak waspada dan mudah untuk terjerat dalam pusaran distribusi informasi. 

Mengatasi hal tersebut, penting untuk memahami bahwa kebenaran dan fakta harus menjadi prioritas utama dalam pengambilan keputusan dan pembentukan sebuah opini. Setiap orang harus memastikan bahwa informasi yang diterima berasal dari sumber yang terpercaya dan diverifikasi. Selain itu, pengembangan keterampilan kritis dan literasi informasi turut menjadi faktor penting dalam mengatasi post-truth. (*) Ditulis oleh: Nayla Maisun Nur Aqila Departemen Statistika ITS

Diposting oleh gandatmadi46@yahoo.com

Post navigation

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *