Pemerintah melalui Kementerian Kebudayaan membentuk tim untuk penulisan ulang sejarah Indonesia. Proyek yang ditargetkan rampung sebelum peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan ke-80 pada 17 Agustus 2025 ini dipimpin Guru Besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (UI), Profesor Susanto Zuhdi, yang menjadi penanggung jawab utama.
Prof Susanto Zuhdi memberikan ulasan tentang proyek yang sedang dikerjakan timnya di hadapan ratusan anggota Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI) secara daring, Selasa (27/5/2025) malam.
Dalam kegiatan yang dilabeli “Penulisan Ulang Sejarah Nasional Indonesia untuk Bangsa dan Pendidikan” ini, Guru Besar Sejarah Universitas Indonesia yang akrab dipanggil Prof Santo ini mengungkapkan bahwa SNI 6 jilid yang ada saat ini sudah berusia puluhan tahun dan hanya mendapatkan penambahan-penambahan kecil, utamanya di jilid 6.
“Jilid yang lain tidak tersentuh. Buku Indonesia Dalam Arus Sejarah (IDAS) juga tidak terjangkau, karena harganya bisa sampai lima jutaan. Saat ini muncul sejarawan generasi muda, termasuk sejarawan pendidik yang terakomodir dalam proyek ini. Ada 113 orang dari 34 Perguruan Tinggi dan instalasi dari Aceh sampai Uncen Papua. Sudah komplit, dan perlu dipublikasikan. Ada kebutuhan melakukan pengabdian masyarakat,” jelas Prof Santo.
Kekhawatiran proyek ini menjadi alat legitimasi, digelapkan, saya rasa tidak perlu. Karena buku ini dikerjakan oleh sejarawan profesional. Apa lagi jelas kata Menteri Kebudayaan bahwa tujuannya untuk re-inventing national identity. Khasanah sejarah yang lengkap dan jauh ke masa silam. Jangan belajar yang dekat-dekat saja. Karena 52 ribu tahun lalu sudah ada tinggalan sejarahnya,” tambahnya.
Prof Santo mengungkapkan bahwa proses penulisan ada yang sudah selesai 50 persen, ada juga yang sudah 100 persen. Menurutnya hal yang tidak mudah adalah merangkai benang merah keindonesiaan untuk dirajut. Dari 10 jilid yang saat ini akan dibuat, menurutnya sebenarnya masih kurang.
“Pak Nasution (Jendral Besar AH Nasution) saja sendirian membuat 11 jilid, hanya seputar Perang Kemerdekaan. Salah satu bocorannya, kita akan menuliskan tentang penjajah yang tidak hanya fokus tentang Belanda, karena di Indonesia timur ada Portugis dan Spanyol. Juga tentang di tahun 1957 nuklir sudah disiapkan pada masa Bung Karno. Judul-judul bab akan berubah juga. Kita menulis buku ini untuk siapa? Untuk Indonesia rumah bersama kita yang inklusif, jadi jangan khawatir,” pungkas Prof Santo.
Budiman Tanuredjo mengundang Marzuki Darusman Ketua Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) Menurut Marzuki sejatinya pemerintah tidak perlu menuliskan versi sejarah resmi atau official. Mantan Jaksa Agung ini juga berpendapat, pemerintah sebagai aktor kekuasaan tidak seharusnya menulis sejarah resmi karena berpotensi memanipulasi narasi sejarah demi kepentingan politik. Benarkah langkah pemerintah ini bertujuan demi membuat sejarah jadi alat kepentingan kekuasaan? Apa dasar pemikirannya?
Dalam wawancara Marzuki jg menyebutkan kekuasaan punya dua watak: membesarkan diri lewat undang-undang dan memuliakan diri lewat sejarah. Apakah dampaknya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara?
Asisi Suhariyanto: Benarkah sejarah bisa diubah? Benarkah sejarah ditulis oleh pemenang dan yang berkuasa? Upaya pemerintah RI untuk mengupdate sejarah nasional menuai pro dan kontra. Ada setuju, ada juga yang menolak. Apalagi tersebar wacana bahwa beberapa bagian sejarah yang kontroversi hendak dihilangkan.
Diposting oleh gandatmadi46@yahoo.com