Proyek pembangunan Bendungan Karian direncanakan sejak tahun 1980-an, tetapi bisa direalisasikan era pemerintahan Jokowi pada Oktober 2015. Presiden Joko Widodo melakukan kunjungan kerja ke pembangunan Waduk Karian yang berlokasi di Desa Pasir Tanjung, Kecamatan Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Banten. Rabu (4/10/2017). Dalam kunjungannya tersebut Jokowi optimistis proyek pembangunan nasional Waduk Karian dapat selesai pada tahun 2019.
Bendungan ini bisa menampung 314 juta kubik air yang dibendung dari Sungai Ciujung dan Sungai Ciberang. Pembangunan Bendungan Karaian bisa bermanfaat untuk pengaliran irigasi seluas 22.000 hektare juga kebutuhan air baku untuk Kota Cilegon dan Kabupaten Serang sebesar 5,5 M3/detik.
Penyediaan air baku untuk Kabupaten Lebak, Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, Kota Tangsel dan wilayah DKI Jakarta sebesar 9,1 M3/detik. Pembangunan Bendungan Karian dapat mengendalikan banjir di daerah hilir yang merupakan kawasan strategis dengan infrastuktur penting, yakni jalan Tol Jakarta-Merak juga kawasan industri terpadu dengan kapasitas tampungan banjir sebesar 60,8 juta M3.
Selain itu juga manfaat pembangunan Waduk Karian dapat dijadikan pengembangan objek wisata oleh Pemerintah Kabupaten Lebak. Pembangunan Waduk Karian juga dapat memproduksi listrik melalui Pembangkit Tenaga Minihidro sebesar 1,8 Megawatt.
“Selain irigasi, bendungan ini akan menyuplai kebutuhan air untuk kebutuhan rumah-tangga, perkotaan dan industri di 7 Kota/Kabupaten yakni Kota Serang, Kota Cilegon, Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, Kota Serpong, Kabupaten Lebak, dan wilayah barat Provinsi DKI Jakarta. Selama ini pasokan air baku ke Jakarta berasal dari timur Jakarta yakni Bendungan Jatiluhur. Dengan adanya Bendungan Karian akan ada keseimbangan neraca air,” kata Menteri Basuki.
Untuk mengalirkan air baku ke daerah-daerah tersebut diperlukan pembangunan pipa air yang diperkirakan sepanjang 47,9 kilometer. Kapasitasnya sebesar 14,6 juta m3/detik dan akan dinikmati oleh lebih dari 5 juta jiwa.
Saat ini sedang dikaji masterplannya dan akan disusun studi kelayakannya bersama K-Water dari Korea Selatan yang memiliki pengalaman panjang sebagai institusi kelas dunia dalam pengelolaan sumber daya air untuk dapat dibangun dengan skema kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU).
Pembangunan Bendungan Karian dimulai sejak Oktober 2015 dengan anggaran Rp 1,07 triliun dan dikerjakan oleh Daelim Industrial Co, LTD-PT. Wijaya Karya (Persero)-PT. Waskita Karya (Persero) Joint Operation. Sampai saat ini Kementerian PUPR tengah menyelesaikan pembangunan 33 bendungan dari 49 yang direncanakan. Tahun depan akan dimulai 11 bendungan lagi dan sisanya tahun 2019.
Lahan untuk pembangunan Waduk Karian itu rencananya seluas 2.225 hektare. Lahan seluas itu, meliputi 11 desa di empat kecamatan di Lebak. Waduk Karian yang mengambil lokasi di empat kecamatan itu di antaranya, Kecamatan Sajira, Maja, Cimarga, Rangkasbitung. Waduk tersebut dibangun di atas lahan 2.225 Hektare. Seluas 1.740 hektare untuk tubuh bendungan dan sisanya untuk membangun sarana pendukung lainnya, seperti pintu air dan bendungan.
“Warga yang terkena pembangunan Waduk Karian itu, akan direlokasi ke desa yang tidak jauh dari lokasi semula,” ujar Amir.
Sedangkan untuk pembangunan tubuh bendungan yang luasnya 1.740 hektare itu, akan membebaskan sebanyak 2.814 bangunan di 11 desa. Untuk Desa Sindang Mulya, Kecamatan Maja sebanyak 34 bangunan dengan luas lahan 111 hektare. Untuk Desa Pasir Tanjung Kecamatan Rangkasbitung sebanyak empat bangunan dengan luas lahan 104 hektare, Desa Tambak Kecamatan Cimarga sebanyak 472 Bangunan dengan luas lahan 314,4 hektare.
Sementara di Kecamatan Sajira sebanyak delapan desa yang akan dibebaskan di antaranya Desa Mekarsari sebanyak 68 bangunan dan dengan luas lahan 119,7 hektare, Desa Pajagan 308 bangunan dengan luas lahan 236,4 hektare, Desa Sukajaya 495 bangunan dan luas lahan 320,6 hektare, Desa Sajira 73 bangunan dan luas lahan 10 hektare.
Keunggulan PLTA
Pada akhir tahun 1999, tenaga air yang sudah berhasil dimanfaatkan di dunia adalah sebesar 2650 TWh, atau sebesar 19 % energi listrik yang terpasang di dunia. Indonesia mempunyai potensi pembangkit listrik tenaga air (PLTA) sebesar 70.000 mega watt (MW). Potensi ini baru dimanfaatkan sekitar 6 persen atau 3.529 MW atau 14,2 % dari jumlah energi pembangkitan PT PLN.
Ada beberapa keunggulan dari pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang dapat dirangkum secara garis besar sebagai berikut :
- Respon pembangkit listrik yang cepat dalam menyesuaikan kebutuhan beban. Sehingga pembangkit listrik ini sangat cocok digunakan sebagai pembangkit listrik tipe peak untuk kondisi beban puncak maupun saat terjadi gangguan di jaringan.
- Kapasitas daya keluaran PLTA relatif besar dibandingkan dengan pembangkit energi terbarukan lainnya dan teknologinya bisa dikuasai dengan baik oleh Indonesia.
- PLTA umumnya memiliki umur yang panjang, yaitu 50-100 tahun.
- Bendungan yang digunakan biasanya dapat sekaligus digunakan untuk kegiatan lain, seperti irigasi atau sebagai cadangan air dan pariwisata.
- Bebas emisi karbon yang tentu saja merupakan kontribusi berharga bagi lingkungan.
Dampak Negatif
Selain keunggulan yang telah disebutkan diatas, ada juga dampak negatif dari pembangunan PLTA pada lingkungan, yaitu mengganggu keseimbangan ekosistem sungai/danau akibat dibangunnya bendungan, pembangunan bendungannya juga memakan biaya dan waktu yang lama. Disamping itu, terkadang kerusakan pada bendungan dapat menyebabkan resiko kecelakaan dan kerugian yang sangat besar.
Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dikenal sebagai pembangkit listrik yang “green”, tanpa emisi gas rumah kaca atau “green house gas”. Apakah memang seperti itu? Riset menunjukkan bahwa PLTA tidaklah terlalu “green” seperti persepsi yang diyakini selama ini. PLTA berpotensi merusak iklim.
Menurut pakar lingkungan yang juga konsultan dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), Eric Duchemin, imej yang “green” untuk PLTA (hydro power) adalah imej yang salah. PLTA, selain memproduksi listrik, juga memproduksi Karbondioksida (CO2) dan Metana (CH4) dalam jumlah yang besar. Bahkan, dalam beberapa kasus, ditemukan fakta dimana PLTA memproduksi CO2 dan Metana (Gas Rumah Kaca = Green House Gas) dalam jumlah yang lebih besar daripada pembangkit listrik berbahan bakar fosil (minyak, gas, batubara).
Penyebab utama dari Green House Gas ini datang dari pelepasan kandungan karbon dalam jumlah yang besar dari tanaman dan pohon-pohon yang terendam air dan membusuk pada saat bendungan dialiri dengan air. Tanaman dan pohon-pohon ini membusuk di dasar bendungan tanpa menggunakan oksigen dan menghasilkan timbunan methane (gas rawa) di dalam air. Gas Metana ini lepas ke atmosfer pada saat air bendungan dialirkan ke turbin air
Pada saat bendungan selesai dibangun, debit air akan berubah sesuai dengan pengaturan yang diinginkan oleh manusia – bukan secara alami lagi. Air bendungan yang dialirkan secara terkontrol, akan datang dari bagian bawah bendungan dimana suhu airnya relatif lebih dingin dan konstan. Perubahan suhu air ini, yang tadinya bervariasi sesuai dengan musim dan menjadi konstan, akan merubah ekosistem di sungai downstream dari bendungan. Selain itu, juga dikenal dampak perubahan komposisi kimia dari air dengan adanya bendungan, dimana air yang dilepas dari bendungan ke sungai downstream cenderung memiliki kandungan garam terlarut yang lebih tinggi dan kandungan oksigen yang lebih rendah dibandingkan dengan komposisi air di sungai tanpa bendungan.
Dari sisi erosi dan sedimentasi, sebagian besar sedimen yang datang dari sungai upstream akan tertahan di bendungan. Air yang dilepaskan dari bendungan ke sungai downstream mengandung sedimen yang sangat rendah, sehingga sungai downstream akan mengalami erosi tanpa ada material sedimen pengganti. Hal ini sudah terjadi di bendungan Glen Canyon di wilayah Grand Canyon di Amerika Serikat, dimana setelah konstruksi pada tahun 1963, tercatat erosi di wilayah sepanjang pantai karena kekurangan sedimen yang datang dari sungai upstream. Pada tahun 1990, pantai-pantai ini terancam hilang karena erosi yang terus menerus.
Mamuju (Phinisinews) – Pejabat di Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Mamuju, Provinsi Sulawesi Barat, meminta satwa langka Anoa dilindungi dari dampak pembangunan PLTA Karama di Kecamatan Bonehau. “Lindungi Anoa, satwa langka yang banyak mendiami sekitar wilayah pembangunan PLTA Karama. Jangan sampai satwa langka Anoa mirip kambing, terkena dampak dan habitat mereka menjadi terganggu,” kata Kepala Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Mamuju, Abraham Lati di Mamuju, Rabu.
diposting oleh gandatmadi46@yahoo.com