PT Tuban Petrochemical Industries (Tuban Petro) didirikan untuk menyelesaikan utang akibat Krismon tahun 1997/98. Petro Tuban dibentuk atas saran PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) atau ex BPPN melunasi utang Tirtamas Maju Tama dan Grup senilai Rp 3,2 Trilyun. Dengan demikian Petro Tuban menjadi perusahaan holding.
PT Tuban Petrochemical Industries (Tuban Petro) didirikan untuk menyelesaikan utang tersebut hingga 2021, dengan menerbitkan Obligasi Berseri (MYB). Oleh karena Petro Tuban gagal bayar maka sahamnya diambil alih oleh Pemerintah. Dengan konversi utang, nanti kepemilikan saham milik pemerintah di Tuban Petro akan menjadi 95,9 persen dari posisi sekarang yakni 70 persen.
Utang Tuban Petro kepada pemerintah dimulai pada 2004 silam, ketika perusahaan menerbitkan obligasi multiyears yang diserap Kemenkeu dengan pokok Rp3,26 triliun. Hanya saja, Tuban Petro dinyatakan gagal bayar pada 2012.
Hanya saja, utang Tuban Petro ke pemerintah belum dianggap lunas begitu saja karena masih ada sisa, yang tadinya Rp3,3 triliun menjadi sekitar Rp700 miliar. Nantinya akan diangsur ke pemerintah selama kurang lebih 10 tahun ke depan. Konversi piutang menjadi saham ini merupakan amanat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2018 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Menkeu Sri Mulyani menjelaskan, konversi ini dengan mempertimbangkan bahwa industri petrokimia dibutuhkan untuk mendukung perekonomian. “Jadi kita punya minyak, tapi kita tidak punya petrochemical. Kita industri hilirnya banyak banget, tapi di tengah kosong,” ujarnya.
Pemerintah sedang menyiapkan skema konversi berikut peraturan2nya yg diharapkan rampung akhir tahun 2019 atau awal 2020. PT Pertamina (Persero) ditunjuk oleh pemerintah menjadi pengelola Tuban Petrochemical Industries. Hal ini dilakukan setelah Pemerintah mengonversi utang pokok Tuban Petro menjadi saham.
Grup Petro Tuban
Grup Petro Tuban terdiri atas 1.TPPI, 2. PT Polytama Propindo, dan 3. PT Petro Oxo Nusantara (PON).
1.PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (PT TPPI)
Kapasitas kilang TPPI bisa mencapai 100 ribu barel per hari atau sepertujuh kapasitas kilang nasional saat ini. BBM yang dihasilkan secara khusus untuk jenis produk yang impornya masih tinggi. Produk BBM yang dihasilkan adalah light naphtha,kerosenes, gas oil, fuel oil, mogas, dan liquefied petroleum gas (LPG). Sementara untuk produk aromatik diantaranya paraxylene, orthoxylene, benzene, toluene, dan mixedxylene. Produk aromatik ini sebagai bahan baku industri kimia dasar, industri tekstil, industri kemasan, dan lain-lain.
Pengembangan TPPI akan membangun Naphtha Cracker dengan kapasitas 1 juta ton per tahun dan produk-produk hilir dari Olefin. Selain itu kilang TPPI akan menghasilkan ethylene yang merupakan bahan dasar membuat produk turunan petrokimia seperti plastik pipa, sehingga bisa menghemat impor 30%. Pembangunan kompleks Naphtha Cracker dan produk-produk turunannya membutuhkan biaya modal sekitar US$ 4-5 juta. “Sehingga TPPI akan menjadi Pusat Bisnis Petrokimia yang sangat penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Note: TPPI didirikan tahun 1995 oleh Hashim Djojohadikusumo, bersama dengan Njoo Kok Kiong alias Al Njoo dan Honggo Wendratno, dengan komposisi saham: Hashim Djojohadikusumo dengan saham 50% di TPPI, sisanya dimiliki oleh Al Njoo dan Honggo. Pada tahun 1998 seluruh saham pendiri di TPPI diserahkan kepada BPPN untuk menyelesaikan utang piutang grup Tirtamas (sebagai pemilik) kepada para pihak yang sebagian besar adalah BUMN dan institusi keuangan negara
diposting oleh gandatmadi46@yahoo.com