Proyek Strategis Nasional
Kumpulanstudi-aspirasi.com tgl April 23/2018 memuat tulisan sbb: Selasa (17/4/2018). Komite Percepatan Penyediaan Infrastuktur Priroritas (KPPIP) evaluasi Proyek Strategis Nasional (PSN) yang berjumlah 245 proyek dan dua program, Presiden Jokowi menyetujui adanya perubahan jumlah daftar PSN menjadi 222 proyek dan 3 program dengan nilai investasi sekitar Rp 4.100 triliun. Nilai investasi PSN tersebut sekitar 25 – 30 % PDB.
PSN yg selesai pada tahun 2016 berjumlah 20 proyek, tahun 2017 berjumlah 10 proyek, yang direncanakan rampung pada tahun 2018 berjumlah 13 proyek dan tahun 2019 berjumlah 25 proyek.
Tentunya muncul pertanyaan dari mana sumber dana pembiayaan Proyek. Dengan berutang amankah? Aman, berikut alasannya:
1.Standard & Poor’s yg menaikkan peringkat Indonesia BB ++ sedangkan Moody dengan peringkat Baa3 (investment grade), Fitch Ratings dengan peringkat BBB. S&P memberi peringatan kepada BUMN sektor infrastruktur tentang Balance Sheet nya. Dengan demikian BUMN memperoleh kesempatan terbaik dalam pembangunan tetapi jika peranannya tidak proporsional untuk mendongkrak economic growth berbahaya seperti dialami BUMN RRC jika tidak ati2 seperti diingatkan IMF, akan membuat RRC tertinggi Debt Ratio nya 300%.
*Credit rating adalah suatu opini terhadap resiko kredit yang diberikan kepada negara, negara bagian, perusahaan atau individu. Suatu rating mencerminkan suatu opini mengenai kemampuan dan kemauan penerima kredit memenuhi kewajibannya.
2.Skema Pembiayaan.
Dengan memahami skema pembiayaan memudahkan menilai apakah utang kita membahayakan apa tidak, sbb:
Skema pembiayaan proyek
Tulisan sdr Margono , Staf Direktorat Jenderal Kekayaan Negara-Kemenkeu.
Kalau anda nanti mudik merasakan sarana pelabuhan, kereta, jalan dan bandara yang modern dan nyaman maka ketahuilah bahwa proyek itu kalau mengandalkan APBN dari sumber penerimaan pajak tidak mungkin terbangun. Mengapa ? Karena APBN kita defisit dan ini warisan sejak kejatuhan Soeharto. Kalau pemerintah harus menanti surplus APBN dulu baru bangun maka sampai anak cucu anda tidak akan pernah terbangun. Maklum belanja rutin untuk pegawai, pendidikan, sosial dan bayar bunga utang setiap tahun terus bertambah. Terbukti era SBY hanya sedikit pembangunan massive terlaksana.
Lantas dari mana pemerintah dapatkan dana untuk pembiayaan proyek dimaksud ?. Pemerintah menerapkan financial engineering dengan mengklasifikasikan proyek sesuai dengan kebutuhan agar tidak nabrak UU. Caranya sederhana saja. Kementerian Keuangan dan Bappenas menawarkan tiga skema pembiayaan kreatif. Pertama, bila proyek itu tidak feasible, maka harus dilakukan oleh Kementerian yang bersangkutan. Kedua, bila proyek itu antara feasible atau tidak feasible, maka dilakukan oleh swasta dan pemerintah melalui PSO (Public Service Obligation). Ketiga, proyek yang feasible atau memiliki prospek yang baik maka bisa dilakukan oleh swasta.
Penjelasannya …
Pertama, proyek yang tidak feasible atau tidak punya nilai komersial tinggi seperti irigasi, pendidikan, infrastruktur di NTT, NTB, papua dan daerah pinggiran lainnya, dananya berasal dari pembiayaan pembangunan yang merupakan dana fiskal. Karena APBN defisit maka pemerintah dibolehkan lewat UU untuk menarik pinjaman dengan syarat maksimum 30% dari GNP. Jadi ruang berhutang sangat kecil sekali dibandingkan GNP. Mengapa pemerintah berhutang? Karena kalau swasta atau Pemda tidak mungkin bisa mendapatkan pinjaman. Maklum untungnya baru dirasakan dalam jangka panjang, namun dampak berganda terhadap pertumbuhan ekonomi sangat tinggi dimasa depan. Darimana jaminannya ? Ya dari proyek yang dibiayai lewat skema PPP yang dibangun oleh investor swasta.
Note: PPP = Project Finance and Public Private Partnership
Kedua, proyek itu feasible tetapi kalau diserahkan kepada swasta maka akan melanggar UU karena menyangkut layanan publik atau Public Service Obligation, dimana pemerintah berkewajiban menentukan tarif. Contoh kereta api, transportasi bus dalam kota, listrik, bandara, pelabuhan umum, jalan toll. Nah untuk jenis proyek ini pemerintah menggandeng swasta untuk kerjasama (KBU atau PPP). Caranya? Resiko penurunan nilai komersial akibat tarif ditanggung pemerintah lewat viability gap fund (VGF) atau dana sisipan. Misal, tingkat pengembalian ekonomi sebesar 13 % pertahun tetapi karena tarif dan kapasitas pasar yang ada hanya sebesar 8% maka 5 % nya ditanggung pemerintah. Jadi investor dijamin tidak rugi.
Darimana sumber dana VGF ini? Ya dari dana cadangan sisa anggaran yang sifatnya hanya credit enhancement atau performance Bond.
Apakah pemerintah rugi? Tidak. Karena disamping dapat pajak pemerintah juga berhak menguasai proyek itu setelah jangka waktu konsesi berakhir. Artinya pengusaha atau investor hanya berhak atas konsesi bisnis sementara asset tetap milik negara yang tak bisa digadaikan oleh investor. Semakin besar investasi swasta dengan skema ini semakin besar pemupukan asset negara untuk menopang jaminan hutang skema pertama.
Ketiga, apabila proyek komersial seperti kawasan industri , Kilang minyak, blok migas, nah ini diserahkan kepada swasta. Walau begitu, investor tetap hanya berhak atas konsesi bisnis saja. Asset dan sumber daya tetap dimiliki oleh negara. Sementara negara tetap dapat pajak dan Pemda dapat PBB.
Dari skema ini maka secara langsung pemerintah berperan sebagai project provider yang harus menciptakan lingkungan bisnis yang ramah. Agar apa? Agar pertumbuhan ekonomi terus bergerak mendatangkan pajak dan menampung angkatan kerja. Dan pada akhirnya semua proyek ditanggung oleh investor. Makanya orang yang nolak investor itu begonya kuadrat, apalagi bilang pemerintah jual asset. Hanya saja syarat untuk bisa melakukan skema ini haruslah menjunjung prinsip Good governance, pemerintah yang transparans dan tingkat korupsi yang minimal serta kepemimpinan yang kredibel. Dan Jokowi beserta tim ekonomi mampu menjaga itu dan kita bisa merasakan manfaatnya. Selamat menikmati mudik yang nyaman.
Bangga jadi orang Kemenkeu.
diposting oleh gandatmadi46@yahoo.com