Sistem Keuangan Berubah, Risiko Tidak Berubah

Oleh Yao Zeng, asisten profesor keuangan dan Cynthia and Bennett Golub Faculty Scholar di Wharton School, Universitas Pennsylvania, dan peneliti fakultas di National Bureau of Economic Research.

IMF September 2025

Lebih dari 15 tahun setelah krisis keuangan global, sistem perbankan dan keuangan tampak lebih aman. Namun, sistem ini juga terus berkembang, membentuk kembali siapa yang menyediakan likuiditas, bagaimana uang bergerak, dan risiko terhadap stabilitas ekonomi dan keuangan. Akibatnya, guncangan berikutnya mungkin bukan berasal dari bank, melainkan dari infrastruktur baru yang menopang sistem tersebut.

Setelah tahun 2008, regulator bergerak cepat untuk meningkatkan standar permodalan dan memperkenalkan perangkat pengawasan baru seperti uji ketahanan (stress testing). Bank-bank membangun kembali neraca keuangan mereka dan mundur dari bisnis pinjaman dan arbitrase yang berisiko. Manajer aset disalahkan atas gejolak keuangan di awal pandemi, tetapi bukan bank.

Namun, meskipun regulator memperkuat perbankan, inovasi pasca krisis justru membentuk kembali lanskap keuangan. Manajer aset menyediakan lebih banyak likuiditas sementara bank-bank mengurangi aktivitasnya, perusahaan rintisan nonbank mengembangkan perangkat penilaian risiko baru bagi pemberi pinjaman institusional, pengembang memperkenalkan beragam aset kripto, dan bank sentral serta pemerintah membangun sistem pembayaran real-time.

Perkembangan ini memangkas biaya, memperluas akses, dan mempercepat transaksi. Namun, perkembangan ini juga menyebabkan perubahan signifikan dalam struktur intermediasi keuangan. Likuiditas, kredit, dan pembayaran – inti dari sistem perbankan – beralih ke manajer aset, platform teknologi, dan jaringan terdesentralisasi.

Perombakan sistem keuangan ini sendiri kini menimbulkan pertanyaan besar. Apa yang terjadi ketika fungsi-fungsi keuangan penting berada di luar kerangka regulasi? Bagaimana kita dapat memastikan stabilitas dalam sistem keuangan yang lebih cepat, lebih datar, dan lebih terfragmentasi?

Dari bank hingga manajer aset

Bank pernah menjadi protagonis penciptaan likuiditas di pasar keuangan. Namun kini, dana manajemen aset nonbank, bukan bank, yang berkontribusi semakin besar terhadap likuiditas harian sistem bagi rumah tangga dan investor (Grafik 1). Reksa dana terbuka dan reksa dana yang diperdagangkan di bursa exchange-traded funds (ETF) memungkinkan investor mencairkan uang sesuai permintaan, meskipun reksa dana ini memegang aset seperti obligasi korporasi yang sama sekali tidak likuid. Mereka menjanjikan likuiditas harian tetapi memegang aset dasar yang tidak selalu dapat dijual – sama seperti bank, tetapi tanpa asuransi simpanan, penyangga modal, atau akses ke bank sentral.

Ini bukan teori. Ini benar-benar terjadi. Penelitian saya bersama Yiming Ma dan Kairong Xiao dari Universitas Columbia menunjukkan bahwa reksa dana obligasi saja kini menyediakan likuiditas yang cukup besar dibandingkan dengan keseluruhan sistem perbankan, dan porsinya terus meningkat. Namun, ketika pasar bergejolak, reksa dana justru dapat menjadi penguat kejutan, bukan sekedar peredam. Reksa dana mungkin terpaksa menjual aset yang tidak likuid di pasar yang sedang jatuh, sehingga memperparah tekanan.

Note: Underlying asset adalah aset dasar atau aset acuan yang menentukan nilai dari suatu instrumen keuangan turunan (derivatif). Instrumen derivatif, seperti opsi atau kontrak berjangka, tidak memiliki nilai intrinsik sendiri tetapi nilainya bergantung pada kinerja atau harga aset dasar tersebut. Contoh aset dasar dapat berupa saham, obligasi, komoditas (seperti emas atau minyak), mata uang, indeks saham, atau bahkan aset fisik seperti proyek bangunan

Exchange-traded funds (ETFs) menambah kompleksitas. Di atas kertas, sebagian besar ETF merupakan instrumen pasif. Lebih dari 95 persen ETF melacak indeks, seperti S&P 500 atau Bloomberg US Aggregate Bond Index. Namun dalam praktiknya, banyak yang ternyata sangat aktif. Kini jumlah ETF lebih banyak daripada aset acuan. Untuk berbagai kelas aset, investor dapat memilih di antara ETF pelacak biasa, reksa dana khusus sektor, strategi beta cerdas, dan bahkan produk tematik seperti ETF yang berfokus pada AI, robotika, dan ramah lingkungan.

Di balik layar, sponsor ETF harus secara aktif mengelola portofolio untuk memenuhi arus investor dan menjaga harga tetap sejalan dengan nilai aset acuan. Manajer ETF obligasi seringkali menyimpang dari tolok ukur yang mereka tetapkan, sebagaimana ditunjukkan oleh penelitian saya bersama Naz Koont dari Universitas Stanford, Lubos Pastor dari Sekolah Bisnis Booth Universitas Chicago, dan Ma dari Universitas Columbia. ETF obligasi, khususnya, diperdagangkan seperti saham likuid tetapi memegang obligasi acuan yang tidak likuid. ETF obligasi bergantung pada jaringan perantara khusus, yang disebut partisipan resmi, untuk melakukan arbitrase atas perbedaan harga antara ETF dan aset acuan.

Para peserta ini juga merupakan dealer obligasi dan menggunakan neraca yang sama, baik dalam peran mereka mengelola ETF maupun untuk melayani klien perdagangan mereka. Ketika neraca dealer menjadi ketat, atau ketika pasar obligasi macet, arbitrase ETF dapat gagal. Harga bergerak fluktuatif, dan likuiditas menipis. Dan investor yang mengharapkan fleksibilitas seperti saham mungkin akan memegang sesuatu yang lebih mendekati reksa dana tertutup.

Ekosistem penyediaan likuiditas yang baru lebih berbasis pasar, lebih luas, dan berpotensi lebih murah daripada yang lama. Lagipula, para bankir menghadapi kendala yang lebih besar dalam menyediakan likuiditas harian, dan manajer aset turun tangan untuk mengisi kesenjangan tersebut. Namun, ekosistem baru ini menerapkan aturan yang berbeda, dengan risiko yang berbeda pula ketika pasar membeku.

Pinjaman, yang dulunya merupakan ranah para bankir dan petugas pinjaman, semakin bergantung pada AI dan big data. Platform fintech nonbank menggunakan catatan pembayaran dan pembelajaran mesin (machine learning) untuk memangkas biaya pencarian, melewati persyaratan agunan, mempercepat persetujuan pinjaman, dan menjangkau peminjam yang seringkali diabaikan oleh bank tradisional. Data, pada gilirannya, mengalir lebih bebas antara peminjam dan pemberi pinjaman, melatih mesin yang semakin presisi dan adaptif. Penelitian saya bersama Pulak Ghosh dari Indian Institute of Management dan Boris Vallee dari Harvard menunjukkan bagaimana hal ini terjadi di India. Pedagang kecil yang lebih mengandalkan pembayaran non-tunai dengan jejak dokumen yang terperinci dan terlacak mendapatkan akses yang lebih baik ke pinjaman modal kerja. Mereka membayar suku bunga yang lebih rendah dan lebih kecil kemungkinannya untuk gagal bayar. Jejak digital pada dasarnya adalah skor kredit yang baru.

Feedback loop data kredit ini telah meningkatkan kekuatan Big Tech. Platform seperti Ant Group milik Alibaba, Amazon, dan Mercado Libre di Amerika Latin kini menggabungkan pembayaran, e-commerce, dan kredit. Jumlah pinjaman konsumen dan usaha kecil mereka kini melebihi banyak bank. Skalabilitas menghadirkan kemudahan, tetapi juga konsentrasi: Platform yang mengendalikan tombol pembayaran dapat mengarahkan peminjam dan pedagang menjauh dari bank pemberi pinjaman pesaing, sehingga menimbulkan pertanyaan sulit tentang persaingan.

Ukuran bukan satu-satunya kekhawatiran. Karena Big Tech berada di luar jaring pengaman tradisional, aturan permodalan, likuiditas, dan resolusi tradisional belum berlaku. Pada tahun 2024, Amazon tiba-tiba menghentikan program pinjaman internal senilai $140 miliar untuk usaha kecil, menggambarkan bagaimana kredit platform dapat lenyap tepat ketika perusahaan sangat membutuhkannya. Seiring dengan semakin banyaknya pinjaman berbasis AI dan data yang mendorong kredit melalui beberapa gerbang digital, semakin banyak pertanyaan muncul seiring munculnya monopoli teknologi yang terlalu besar untuk gagal.

Kripto dan pembayaran instan

Inti dari perubahan lanskap perbankan ini juga terletak pada evolusi intermediasi pembayaran. Bitcoin dirilis pada tahun 2008 selama krisis keuangan sebagai bentuk alternatif uang untuk pembayaran. Dibangun di atas teknologi blockchain, Bitcoin bertujuan untuk melewati bank komersial dan bank sentral, menawarkan cara terdesentralisasi untuk memindahkan uang tanpa bergantung pada kepercayaan pada lembaga. Baik atau buruk, Bitcoin tidak pernah memenuhi janji tersebut. Bitcoin lambat dalam penyelesaian transaksi, mahal untuk digunakan, dan sangat fluktuatif. Bagi sebagian besar penganut kripto, Bitcoin lebih merupakan emas digital daripada dolar digital: aset spekulatif, bukan uang fungsional.

Stablecoin, sepupu dekat Bitcoin, muncul untuk mengatasi masalah ini (Grafik 2). Seperti Bitcoin, stablecoin adalah aset blockchain yang dirancang untuk menyediakan layanan pembayaran. Undang-undang baru AS, termasuk undang-undang GENIUS dan STABLE, dapat semakin mendorong pertumbuhannya. Perbedaan penting dari Bitcoin adalah stablecoin dipatok dengan mata uang dunia nyata, biasanya dolar AS. Penerbit seperti Circle (USDC) dan Tether (USDT) menyimpan cadangan dalam bentuk deposito bank, surat berharga pemerintah, dan obligasi korporasi untuk mempertahankan patokan tersebut. Menghindari volatilitas Bitcoin yang tinggi, stablecoin telah menunjukkan potensi sebagai alternatif pembayaran yang murah dan tanpa batas. Stablecoin telah menjadi penyelamat di Argentina, Turki, dan Venezuela, di mana inflasi tinggi; masyarakat umum di negara-negara ini sekarang menggunakan stablecoin untuk menabung, mengirim uang, dan menyelesaikan transaksi. Mereka secara bertahap bergerak ke arus pembayaran arus utama karena bank-bank besar dan pedagang raksasa mempertimbangkan untuk menerbitkan stablecoin mereka sendiri.

Namun, seperti reksa dana dan ETF, stablecoin tidak memiliki perlindungan tradisional seperti asuransi simpanan dan akses langsung ke dukungan bank sentral. Pada Maret 2023, ketika Silicon Valley Bank bangkrut, USDC Circle kehilangan patokannya untuk sementara waktu setelah kehilangan akses ke cadangan. Tahun sebelumnya, runtuhnya stablecoin algoritmik Terra memicu kerugian yang meluas. Penelitian saya bersama Ma dari Columbia dan Anthony Lee Zhang dari Chicago Booth menyoroti dilema inti yang dihadapi stablecoin: Semakin efektif mereka menjaga harga tetap stabil, semakin mirip mereka dengan bank—namun tanpa asuransi simpanan atau pemberi pinjaman terakhir, sehingga membuat mereka lebih rentan terhadap penarikan dana secara besar-besaran. Pengamatan ini memperjelas satu hal: Stablecoin mungkin berfungsi dengan baik di masa-masa baik, tetapi dapat melemah di bawah tekanan.

Seiring dengan maraknya alternatif pembayaran kripto swasta, sistem pembayaran cepat yang disponsori pemerintah menawarkan jalur yang berbeda. Lagipula, orang-orang menghargai kecepatan dan efisiensi dalam pembayaran, namun aset kripto tidaklah secepat atau semurah yang mereka klaim. Bank sentral Brasil memperkenalkan Pix, sistem pembayaran cepat dan gratis yang dibangun di atas sistem pembayaran bank tradisional dan selalu tersedia. Sistem ini memproses lebih banyak transaksi harian daripada gabungan uang tunai, kartu kredit, dan kartu debit. Lebih dari 90 persen rumah tangga dan bisnis di Brasil telah mengadopsinya. Antarmuka Pembayaran Terpadu (Unified Payments Interface) India mengikuti lintasan serupa (lihat “Pembayaran India yang Tanpa Hambatan” dalam edisi F&D ini).

Sistem ini memberikan apa yang dijanjikan kripto—pembayaran yang lebih cepat dan lebih inklusif—tetapi dengan cara yang jauh lebih tidak mengganggu. Sistem ini telah menarik perhatian internasional yang semakin meningkat, termasuk pujian dari Bank for International Settlements (BIS), karena mendorong inklusi keuangan sekaligus menjaga stabilitas moneter.

Meskipun memiliki banyak kelebihan, sistem pembayaran cepat juga memiliki kekurangan. Penelitian terbaru saya bersama Ding Ding dari Massachusetts Institute of Technology, Rodrigo Gonzalez dari Bank Sentral Brasil, dan Ma dari Columbia menunjukkan bahwa sistem pembayaran seperti Pix memaksa bank untuk memegang aset yang lebih likuid guna menghadapi arus keluar yang tidak terduga, mengurangi pinjaman bank, dan—yang mungkin mengejutkan—meningkatkan risiko kredit. Hal ini disebabkan oleh kenyamanan pembayaran cepat bagi konsumen yang mengorbankan kerugian bank dalam menunda dan menutup arus pembayaran. Pembayaran cepat meningkatkan kebutuhan bank untuk memegang aset likuid seperti uang tunai dan obligasi pemerintah daripada menyalurkan pinjaman yang tidak likuid. Ketika bank memegang aset likuid dengan imbal hasil rendah yang lebih banyak, hal ini pada gilirannya memperburuk insentif mereka untuk mencari imbal hasil dalam menyalurkan pinjaman yang lebih berisiko. Dalam arti tertentu, sistem pembayaran menjadi lebih cepat, namun pembayaran cepat secara tidak sengaja dapat membuat model perbankan menjadi lebih sempit dan berpotensi lebih berisiko.

Implikasi Makro-Keuangan

Bank menjadi lebih aman berkat persyaratan modal yang lebih kuat, pengawasan yang lebih ketat, dan uji ketahanan yang berkala. Namun, kita belum tentu melindungi lingkungan ekonomi makro.

Pertama, sistem keuangan lebih terfragmentasi. Fungsi-fungsi utama, pembayaran, kredit, dan likuiditas telah bergeser keluar dari perimeter regulasi. Reksa dana, ETF, dan stablecoin meniru simpanan. Robot dan platform memperluas kredit. Namun tidak seperti bank, mereka beroperasi tanpa asuransi simpanan, akses pemberi pinjaman terakhir, atau pengawasan sistemik. Hal ini, dikombinasikan dengan persaingan geoekonomi, meningkatkan kemungkinan sistem keuangan yang lebih terfragmentasi, sehingga menimbulkan tantangan bagi koordinasi regulasi global, seperti yang disoroti oleh Christine Lagarde dari Bank Sentral Eropa dan Pan Gongsheng dari Bank Rakyat Tiongkok. Risikonya tidak hilang. Mereka hanya bergeser.

Kedua, arus modal telah meningkat pesat. Perdagangan real-time, siklus data kredit, dan pembayaran cepat dapat memperkuat guncangan. Apa yang dulunya membutuhkan waktu berhari-hari kini dapat diselesaikan dalam hitungan menit. Namun, perangkat untuk menyerap tekanan, penyangga likuiditas, dan intervensi pasar belum memadai. Prosesnya memang lebih cepat, tetapi stabilisatornya belum.

Ketiga, perangkat kebijakan mungkin secara bertahap menjadi tidak selaras. Bank sentral membangun kerangka kerja mereka untuk sistem yang didominasi bank di mana suku bunga simpanan memengaruhi pinjaman dan fasilitas lender-of-last-resort menenangkan deposan. Namun, ketika uang berada di manajer aset atau dalam transaksi on-chain atau bergerak melalui aplikasi, barometer tradisional menjadi kurang efektif. Lebih sulit untuk melihat di mana risiko berkembang, dan lebih sulit untuk menghentikannya ketika terjadi.

Lanskap keuangan global telah berubah, namun aturannya sebagian besar tetap tidak berubah – dan ketidaksesuaian itu mungkin merupakan risiko terbesar.

terjemahan bebas oleh gandatmadi46@yahoo.com

Post navigation

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *