Oleh Romain Veyrune PhD, Universitas Clermont-Ferrand, Prancis
19 September 2025
Penilaian dapat membantu memperjelas kapitalisasi yang tepat untuk memastikan posisi keuangan institusi yang sehat.
Bank sentral bangga dengan prinsip mereka yang berbasis data dan konsensus. Namun, yang mengejutkan, hanya ada sedikit konsensus di antara para pembuat kebijakan mengenai isu krusial: berapa banyak modal yang seharusnya dimiliki oleh lembaga-lembaga ini?
Tidak seperti bank komersial, bank sentral tidak memiliki persyaratan modal minimum yang ditetapkan secara universal. Mereka tidak bisa bangkrut, karena mereka selalu dapat menerbitkan mata uang mereka sendiri untuk memenuhi kewajiban pembayaran nominal mereka. Meskipun demikian, posisi modal yang lemah dapat mengurangi kredibilitas institusional dan berpotensi meningkatkan risiko terhadap independensi. Oleh karena itu, bank sentral memang peduli untuk mempertahankan penyangga modal yang memadai. Namun, terdapat beragam pandangan tentang cara mencapainya.
Itulah sebabnya kami mengusulkan pendekatan baru berupa uji ketahanan terhadap bank sentral untuk membantu mereka menjaga posisi keuangan yang sehat.
Risiko neraca (Balance sheet) kurang mendapat perhatian sepanjang sejarah bank sentral. Sebelum krisis keuangan global, mereka biasanya memiliki neraca yang kecil dan hampir selalu menguntungkan. Hal ini mencerminkan bahwa mata uang, kewajiban utama mereka, tidak berbunga, dan mereka dapat menginvestasikan hasil penerbitan mata uang dalam obligasi pemerintah berbunga. Sebagian besar keuntungan dibayarkan sebagai dividen kepada pemerintah.
Namun, masalah ini, yang mungkin terdengar rumit, memiliki relevansi yang jauh lebih praktis saat ini ketika bank sentral telah mengambil lebih banyak risiko neraca, termasuk menggunakan pembelian aset dalam skala besar untuk memacu pemulihan yang lebih cepat dari Green Climate Fund (GFC) dan pandemi.
Mengelola Risiko
Risiko tambahan ini telah mengakibatkan kerugian yang cukup besar, karena mereka membeli obligasi jangka panjang dengan imbal hasil rendah dan akhirnya harus menaikkan suku bunga secara tajam. Meskipun kerugian tersebut bukan ukuran yang baik untuk nilai sosial dari tindakan bank sentral, yang memperpendek resesi dan meningkatkan stabilitas keuangan, hal ini menggarisbawahi perlunya mempertimbangkan secara cermat cara mengelola risiko neraca dengan lebih baik.
Mempelajari anggaran dasar bank sentral hanya memberikan sedikit kejelasan tentang bagaimana cara melanjutkannya. Banyak bank sentral menetapkan modal dasar mereka dalam jumlah tetap, yang lama kelamaan menjadi tidak relevan karena inflasi. Hanya sedikit lembaga yang menyesuaikan modal mereka – berdasarkan inflasi atau produk domestik bruto – agar tetap relevan.
Disayangkan, undang-undang yang ada tentang pembagian keuntungan bank sentral juga cukup mekanis. Dalam beberapa kasus, undang-undang tersebut menentukan secara tepat berapa banyak keuntungan yang harus disimpan atau dibagikan, yang dapat mengakibatkan modal menjadi terlalu banyak atau terlalu sedikit. Paling banter, undang-undang ini mewajibkan bank untuk menyimpan keuntungan hingga mencapai tingkat modal minimum. Namun, target hukum sangat bervariasi – dari 8 persen hingga 20 persen dari uang primer – dan hanya ada sedikit penjelasan tentang ambang batasnya. Di sisi lain, beberapa bank sentral tidak memiliki aturan khusus tentang modal, sehingga dewan direksi merekalah yang memutuskan bagaimana menangani risiko. Namun, apa pun yang mereka pilih, bank sentral umumnya enggan menjelaskan pendekatan mereka kepada khalayak yang lebih luas.
Ada cara yang lebih baik. Kuncinya adalah memastikan bahwa penyangga modal lebih konsisten dengan “solvabilitas kebijakan” – dengan kemampuan bank sentral untuk memenuhi mandatnya dalam lingkungan dengan risiko neraca yang jauh lebih besar. Ini berarti mempertimbangkan beberapa faktor, seperti tujuan dan kegiatan kelembagaan
Shock absorber
Secara spesifik, Shock absorber dapat membantu bank sentral mengukur tingkat modal yang memungkinkannya menyerap guncangan besar namun masuk akal tanpa mendorong modal ke tingkat yang sangat rendah yang dapat melemahkan kredibilitas dan independensinya. Untuk tujuan ini, staf IMF mengembangkan model kuantitatif, yang dikembangkan berdasarkan penelitian tahun 2015 oleh Robert E. Hall dan Ricardo Reis, yang memungkinkan penilaian bagaimana modal akan berkembang dalam kerangka kerja yang memperhitungkan risiko suku bunga, risiko kredit, dan risiko nilai tukar mata uang asing. Uji ketahanan akan mempertimbangkan inflasi dan dinamika ekonomi luas lainnya, serta bagaimana dinamika tersebut akan memengaruhi modal.
Pendekatan ini juga dapat membantu memutuskan kapan peningkatan modal melalui retensi laba diperlukan – atau kapan dan bagaimana membagi laba sambil melindungi tingkat modal. Beberapa bank sentral mungkin menganggap pendekatan berbasis risiko ini menarik, terutama jika mereka menganggap posisi modal yang lemah dapat membatasi independensi mereka. Bank sentral lain mungkin memandang risiko yang kecil terhadap kredibilitas atau independensi mereka, dan lebih memilih untuk mempertahankan kebijakan distribusi modal mereka saat ini. Namun, bahkan dalam situasi ini, mereka mungkin memandang Shock absorber atau uji ketahanan sebagai cara untuk meningkatkan transparansi tentang kemungkinan dampak tindakan neraca seperti pelonggaran kuantitatif, dan diperlukan untuk memperkuat akuntabilitas publik.
IMF telah menerbitkan catatan panduan tentang uji ketahanan bank sentral, dan kami memberikan bantuan teknis terkait topik tersebut kepada negara-negara anggota kami. Memang, lembaga-lembaga unik ini memiliki misi publik khusus yang membedakan mereka dari perusahaan komersial. Namun, terkadang pendekatan yang diambil untuk mengawasi bank swasta dapat memperjelas perdebatan seputar bank sentral.
Note:
Stress Tests atau Uji ketahanan bank adalah analisis yang dilakukan berdasarkan skenario hipotetis yang dirancang untuk menentukan apakah suatu bank memiliki modal yang cukup untuk menghadapi guncangan ekonomi negatif. Skenario ini mencakup situasi yang tidak menguntungkan, seperti resesi yang mendalam atau kejatuhan pasar keuangan. Di Amerika Serikat, bank dengan aset $50 miliar atau lebih diwajibkan menjalani uji ketahanan internal yang dilakukan oleh tim manajemen risiko mereka sendiri dan Federal Reserve.
Uji ketahanan bank diterapkan secara luas setelah krisis keuangan 2008. Banyak bank dan lembaga keuangan mengalami kekurangan modal yang parah. Krisis tersebut menunjukkan kerentanan mereka terhadap kejatuhan pasar dan perlambatan ekonomi. Akibatnya, otoritas federal dan keuangan memperluas persyaratan pelaporan regulasi secara signifikan untuk berfokus pada kecukupan cadangan modal dan strategi internal dalam mengelola modal. Bank harus secara berkala menilai solvabilitas mereka dan mendokumentasikannya.
Terjemahan bebas oleh gandatmadi46@yahoo.com