Sustainable Development Goals (SDGs) merupakan kelanjutan dari program Millenium Development Goals (MDGs) yang dimulai pada tahun 2000 dan telah berakhir pada tahun 2015. Setelah program tersebut usai, SDGs menjadi pelanjut perjuangan dari MDGs. Beberapa target yang diinginkan dalam MDGs dibuat semakin komprehensif melalui SDGs. Program yang mulai ditetapkan sejak tanggal 15 September 2015 ini berupaya mewujudkannya sebagai Agenda 2030. Program tersebut adalah hasil dari Konferensi Rio pada tahun 2012 yang menelurkan gagasan “The Future We Want ”. Saat ini, program SDGs mulai diintegrasikan dalam banyak kebijakan di berbagai negara, tidak terkecuali di Indonesia.
SDGs yang digagas oleh PBB memiliki 17 tujuan, yakni (1) tanpa kemiskinan; (2) tanpa kelaparan; (3) kehidupan sehat dan sejahtera; (4) pendidikan berkualitas; (5) kesetaraan gender; (6) air bersih dan sanitasi layak; (7) energi bersih dan terjangkau; (8) pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi; (9) industri, inovasi, dan infrastruktur; (10) berkurangnya kesenjangan; (11) kota dan permukiman yang berkelanjutan; (12) konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab; (13) penanganan perubahan iklim; (14) ekosistem lautan; (15) ekosistem daratan; (16) perdamaian, keadilan, dan lembaga yang tangguh; dan (17) kemitraan untuk mencapai tujuan. Dari 17 tujuan SDGs ini, poin yang berhubungan dengan isu lingkungan adalah poin ke-11, 12, 13, 14, dan 15.
Pembangunan Berkelanjutan dan Ekonomi Hijau
Digagasnya program Sustainable Development Goals (SDGs) oleh PBB tentunya merupakan hasil dari sebuah ide besar mengenai pembangunan yang berkelanjutan. Ide ini muncul setelah manusia sama-sama merasakan dampak negatif dari pembangunan yang selama ini telah dilakukan yang belum terlalu memperhatikan aspek kelestarian lingkungan. Kemunculan ide mengenai pembangunan berkelanjutan ini tidak dapat terpisahkan dari pergerakan yang disebut sebagai environmentalisme. Di tahun 1970, terbentuk juga sebuah perkumpulan akademisi yang peduli terhadap isu lingkungan bernama Club of Rome.
Klub ini kemudian mengeluarkan sebuah gagasan yang dituangkan ke dalam tema The Global Problematique.4 Gerakan ini kemudian mendapatkan perhatian lebih pada tahun 1975 ketika Ernest Callenbach menerbitkan novel yang berjudul Ecotopia. Novel ini bercerita tentang negeri impian yang memiliki sistem politik yang mapan, ekonomi yang maju, dan melestarikan lingkungan.
Berangkat dari kesadaran akan hal ini, pada tahun 1972, PBB membentuk sebuah badan lingkungan bernama United Nations Environment Program (UNEP). Badan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya pemeliharaan lingkungan. Lalu, pada tahun 1992, diselenggarakan sebuah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Jenairo. Pada KTT Bumi ini, dicetuskanlah ide mengenai Agenda 21, yang merupakan sebuah cita-cita besar dari berbagai negara di dunia untuk mewujudkan masa depan yang diupayakan lebih baik. Kesadaran terhadap lingkungan ini kemudian terus menerus mencari jalan untuk menyatukan berbagai kepentingan.
Sebab, pergerakan politik environmentalisme tidak jarang mengambil posisi yang ekstrem dan menegasikan pembangunan ekonomi yang dapat dilihat melalui kemunculan partai hijau (Green Party) di beberapa negara. Untuk itu, gagasan pembangunan berkelanjutan berupaya untuk melakukan moderasi ekonomi politik lingkungan ini. United Nations Comission on Environment and Development (UNCED) mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan yang mempertemukan antara kebutuhan pada masa kini tanpa mengorbankan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan di masa selanjutnya.
Untuk menjembatani kesenjangan antara ekonomi yang berfokus pada pertumbuhan dengan keberlanjutan lingkungan, digagaslah pemikiran Ekonomi Hijau. Ekonomi Hijau dibangun di atas tiga paradigma dasar. Pertama, Ekonomi Hijau memberikan perhatian utama pada keadilan sosial. Tolok ukurnya ialah pada pemerataan kesejahteraan dan keadilan. Kedua, Ekonomi Hijau digagas dari aktivis lingkungan dan politisi “hijau” yang bermula dari kesadaran akan kebutuhan akan lingkungan. Ketiga, Ekonomi Hijau masih belum mendapat perhatian besar dari kalangan akademisi dan universitas di berbagai belahan dunia. Namun, sekalipun belum mendapat perhatian besar dari kalangan akademisi, keberadaan SDGs merupakan justifikasi empiris mengenai gagasan Ekonomi Hijau dan kaitannya dengan pembangunan.
Implementasi SDGs di Indonesia Saat Ini
Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini sudah mulai melakukan berbagai upaya implementasi atas program SDGs yang digagas oleh PBB dan mulai diberlakukan pada tahun 2015. Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 59 tahun 2017. Untuk melaksanakan SDGs ini, di dalam Perpres tersebut disebutkan ada tiga strategi utama. Berdasarkan pasal 1 Perpres tersebut, disebutkan bahwa untuk dapat mencapai tujuan yang terkandung di dalam SDGs, akan dibentuk Peta Jalan Nasional (PJN) yang memandu perjalanan implementasi SDGs dari tahun 2017 sampai dengan target pencapaian tahun 2030.
Kemudian, untuk menurunkan rencana besar dalam PJN tersebut, pemerintah pusat membuat Rencana Aksi Nasional (RAN) dan pemerintah daerah membuat Rencana Aksi Daerah (RAD) yang masing-masing memiliki jangka waktu lima tahun. Untuk dapat menjalankan rancangan ini, pemerintah menunjuk Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional untuk melakukan fasilitasi dan pendampingan, pemantauan, evaluasi, dan pelaporan, serta memberikan sumber pendanaan.
DPR RI melaksanakan World Parliamentary Forum on Sustainable Development (WPSD). Pertemuan ini dilaksanakan di Bali pada 6-7 September 2017 atas prakarsa Indonesia. Hasil dari pertemuan ini adalah Deklarasi Bali yang mengeluarkan tiga komitmen utama. Pertama, tidak meninggalkan seseorang pun di belakang (leaving no one behind ). Kedua, menghentikan kekerasan dan melestarikan perdamaian (ending violance and sustaining peace). Ketiga, meningkatkan aksi untuk iklim (enhancing climate action).
PBB berusaha menilai bagaimana implementasi SDGs dilakukan oleh masing-masing negara di setiap indikator target pencapaian. Penilaian tsb berdasarkan pertama SDGs Index yang dibuat oleh Bertelsmann Stiftung bekerja sama dengan Sustainable Development Solutions Network (SDSN). Pada setiap indikator, akan diberi nilai dengan warna hijau untuk program yang telah terlaksana, warna merah untuk program yang masih jauh dari pelaksanaan, warna jingga dan warna kuning untuk program yang mulai berjalan namun belum mencapai target. Berdasarkan hasil penelitian ini, Indonesia pada tahun 2016 berada di peringkat 98 dari 149 negara dengan skor 54,4.20 Pada tahun 2017, peringkat Indonesia turun dua tingkat menjadi posisi 100 dari 157 negara dengan skor 62,9.21
Penilaian kedua berdasarkan Environmental Performance Index (EPI) yang dikeluarkan oleh Yale Center for Environmental Law & Policy (YCELP) bekerja sama dengan World Economy Forum dan lembaga dunia lainnya. Melalui Indeks ini, PBB melakukan penilaian terhadap performa yang dilakukan oleh negara di dalam mengimplementasikan MDGs di tahun 2000 sampai 2015 dan SDGs di tahun 2015 hingga saat ini, khususnya di sektor pelestarian lingkungan dan penjagaan kesehatan. Indeks ini digunakan untuk mengukur tingkat performa sebuah negara yang diukur melalui lebih dari 20 indikator.
Berdasarkan survei tersebut, Indonesia menduduki peringkat ke-107 dari 180 negara di tahun 2016. Turun peringkat dari tahun 2012 yang menduduki posisi ke-72 dari 132 negara. Peringkat ini masih di bawah negara Asia Tenggara lain yang mana Malaysia berada di peringkat 63, Filipina peringkat 66, Thailand peringkat 91, dan Brunei Darussalam peringkat 98.24 Berdasarkan perubahan persentase perubahan pun Indonesia hanya berubah sebesar 10,45%. Bandingkan dengan Timor Leste yang melakukan perubahan sebesar 33,66% atau Brunei Darussalam yang berubah sebesar 19,28%.
Ini menunjukkan bahwa Indonesia masih kurang memiliki komitmen di dalam pelaksanaan SDGs ini, bahkan di antara sesama negara di kawasan Asia Tenggara. Di antara indikator yang menunjukkan kelemahan Indonesia ialah pada penjagaan tingkat kualitas udara. Kebakaran hutan yang acap kali terjadi di hutan Indonesia menimbulkan kabut asap (smog) yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Pada peristiwa kebakaran tahun 2015, diprakirakan dampak kerugian sejumlah 14 milyar Dolar AS. Untuk hal ini, Indonesia telah berjanji melalui perjanjian penanggulangan asap di ASEAN. Selain itu, laju deforestasi di Indonesia juga termasuk yang tertinggi di dunia pada tahun 2010-2015, bersama dengan Brazil.
disambung
Note:
Tulisan diatas adalah cuplikan dari tulisan karya Farhan Abdul Majiid dari Universitas Indonesia dengan judul “Bagaimanakah Implementasi Sustainable Development Goals (SDGs) di Indonesia”
gandatmadi46@yahoo.com