Potensi Implementasi SDGs di Indonesia
Sekalipun Indonesia memiliki banyak tantangan di dalam mengimplimentasikan SDGs, Indonesia masih memiliki harapan untuk bisa memaksimalkannya. Harapan ini terdapat di berbagai potensi yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Setidaknya terdapat dua potensi yang dapat menjadi harapan dalam melakukan implementasi terhadap SDGs. Potensi ini dilihat dari potensi kerja sama di tingkat domestik dan tingkat internasional. Pertama, potensi untuk melakukan kerja sama lintas sektoral. Di dalam situs resmi SDGs Indonesia, disebutkan bahwa untuk mencapai tujuan SDGs, kerja sama ini akan melibatkan lima pihak, yakni kementerian dan lembaga, pemerintah daerah, filantropi dan pelaku usaha, organisasi masyarakat sipil dan media, dan akademisi dan pakar.
Salah satu contoh dalam pelaksanaan implementasi ini adalah kerja sama pemerintah dengan para akademisi dan pakar dari seluruh dunia yang diinisiasi oleh Universitas Indonesia dalam pelaksanaan Scholar Summit 2017 di Kampus UI Depok pada bulan Oktober lalu. Melalui forum ini, para akademisi dari seluruh dunia berdiskusi mengenai upaya pencapaian target SDGs, khususnya bagi Indonesia.
Kerja sama lain yang sudah terbentuk ialah antara lembaga filantropi Indonesia dengan pemerintah. Ketika Indonesia dijadikan model kerja sama oleh PBB dalam hal pelibatan lembaga filantropi di tahun 2014, Indonesia telah memiliki modal kerja sama antara lembaga filantropi dengan pemerintah. Dalam survei yang dibuat oleh Public Interest Research & Advocacy Policy (PIRAC), terlihat bahwa dari 85 lembaga filantropi yang diteliti, 82% lembaga menyatakan keinginannya untuk ikut terlibat dan mendukung upaya implementasi SDGs di Indonesia dan hanya 13% yang tidak berkeinginan. Hal ini menunjukkan, Indonesia memiliki potensi besar dalam mewujudkan target SDGs karena mendapat dukungan yang menjanjikan dari lembaga filantropi.
Kedua, potensi yang dimiliki oleh Indonesia adalah melakukan kerja sama lintas negara. Kerja sama ini penting untuk menghadapi isu-isu yang tidak bisa diselesaikan secara sendiri oleh Indonesia. Sebab, seringkali isu-isu lingkungan hidup bersifat transnasional dan tidak mengenal batas negara. Oleh karena itu, kerja sama antarnegara diperlukan. Salah satu contohnya ialah melalui Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries, and Food Securities (CTI-CFF). Kerja sama ini melibatkan Indonesia, Malaysia, Timor Leste, Papua Nugini, Filipina, dan Kepulauan Solomon. Untuk hal ini, Indonesia telah membuat National Plan of Action pada tahun 2008. Indonesia telah menetapkan lima target pencapaian yang akan dilakukan. Proses yang telah Indonesia lakukan dalam hal ini setidaknya dapat mendukung pencapaian target SDGs ke-14, yakni ekosistem lautan.
Dalam perjanjian internasional mengenai perubahan iklim, Indonesia telah memiliki komitmen di beberapa perjanjian. Salah satu perjanjian terbaru ialah Perjanjian Paris yang merupakan hasil dari COP 21 pada tahun 2015 lalu. Indonesia berkomitmen untuk menurunkan gas emisi rumah kaca sebesar 29% di tahun 2030 mendatang atau maksimal sampai 41% jika didukung dengan bantuan teknologi dan pendanaan dari pihak luar.
Hal ini menunjukkan dalam perjanjian dan komitmen untuk melakukan penyelamatan iklim, Indonesia sudah baik, dan terbukti pada SDGs Index 2017, Indonesia telah mencapai level hijau dalam indikator ini.
Ekonomi Hijau untuk Perekonomian Nasional
Pemerintahan Presiden Joko Widodo mencanangkan pembangunan infrastruktur sebagai prioritas pembangunan nasional untuk menunjang terwujudnya Poros Maritim dunia. Dalam upaya untuk mewujudkan pembangunan ini, Indonesia perlu menyelaraskannya dengan upaya penyelamatan iklim. Oleh karena itu, pembangunan nasional agar dapat memenuhi indikator berkelanjutan perlu bergandengan tangan dengan kebijakan ekonomi hijau. Penulis berargumen bahwa prinsip Ekonomi Hijau dapat menjembatani antara keinginan untuk memacu pertumbuhan dengan keharusan untuk melestarikan lingkungan.
Dalam menjalankan ekonomi hijau, Indonesia telah melakukan kerja sama dengan beberapa negara. Salah satu kerja sama yang telah dimiliki Indonesia adalah dalam kerangka Global Green Growth Institute (GGGI) yang mana Presiden Indonesia ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono menjadi ketuanya. Dalam GGGI, Indonesia berhasil mendapatkan komitmen dari negara Norwegia melalui program REDD+ sebesar 18,5 juta Dolar AS. Komitmen ini akan diwujudkan melalui berbagai program pembangunan yang berasaskan pada prinsip ekonomi hijau selama tiga tahun, dimulai dari 2016.
The Government of the Republic of Indonesia and the European Investment Bank strengthen cooperation on green infrastructure
Selain kerja sama dengan pihak luar, Indonesia juga telah memiliki model ekonomi hijau (Indonesia Green Economy Model) yang dibuat pada tahun 2015. Melalui IGEM ini, Indonesia akan berupaya mewujudkan tiga indikator keluaran baru, yakni Green GDP and ‘inclusive wealth’, Decent Green Jobs, dan GDP of the rural poor .
Dari tiga indikator keluaran tersebut, dapat dipahami tiga hal pokok. Pertama, pengukuran ekonomi tidak lagi terpaku hanya pada pertumbuhan secara makro saja. Akan tetapi, turut memperhatikan bahwa pertumbuhan GDP Indonesia berkesesuaian dengan ekonomi hijau. Kedua, target penciptaan lapangan pekerjaan pun tidak sebatas mengejar kuantitas tenaga kerja saja, melainkan juga menjunjung prinsip penghijauan. Ketiga, pertumbuhan ekonomi harus memperhatikan kalangan masyarakat miskin, sehingga tidak hanya dilihat secara makro sebagaimana cara konvensional, namun melihat juga distribusi pendapatan di masyarakat yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Ketiga hal ini sesuai dengan konsep Ekonomi Hijau yang menghendaki adanya keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, perhatian pada masyarakat yang termarjinalkan secara ekonomi, dan ekonomi yang berkepedulian terhadap lingkungan.
Agenda SDGs telah terintegrasi dalam RPJMN (Rencana Jangka Menengah Nasional) 2015-2019 dan sampai saat ini telah berhasil mencapai 94 dari 169 target indikator yang ditetapkan.
Note: Tulisan diatas adalah cuplikan dari tulisan karya Farhan Abdul Majiid dari Universitas Indonesia dengan judul Bagaimanakah Implementasi Sustainable Development Goals (SDGs) di Indonesia
A collaboration between the International Monetary Fund (IMF), the Equitable Growth, Finance and Institutions Global Practice (EFI) and the World Bank Group Senior Vice Presidency for the 2030 Development Agenda, UN Relations and Partnerships – SDGs in Action: Integrating the SDGs into National Budgets – underscored the fact that the SDGs set an ambitious path to 2030 that will require investments of all kinds – both public and private. The seminar shone light on a key area in need of attention – how to translate the SDGs into national budgets. It explored how countries can cost out gaps to achieve the SDGs and seek to fill those gaps by mobilizing resources and budgeting for SDG activities to be translated into tangible policy and implementation at the country level. Panelists comprising of country leaders and policy makers, discussed avenues to tackle fiscal and planning challenges to budget for, and build, successful outcomes for the SDGs. May 2, 2019.
diposting oleh gandatmadi46@yahoo.com