Oleh Achsanul Habib, The Jakarta Post 13 Sept 2025
Penulis adalah kuasa usaha misi tetap Indonesia untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, Organisasi Perdagangan Dunia, dan organisasi internasional lainnya di Jenewa.
Indonesia telah bersikap konsisten dan teguh dalam upayanya mendukung perjuangan Palestina dengan pada akhirnya memastikan bahwa perjuangan tersebut tetap menjadi agenda internasional dan menonjolkan multidimensinya, terutama berkaitan dengan prinsip PBB tentang Tanggung Jawab untuk Melindungi.
Pada minggu ketiga bulan ini, para pemimpin dunia akan berkumpul di New York untuk Pekan Tingkat Tinggi dari United Nations General Assembly (UNGA). Para pemimpin akan menyampaikan aspirasi, visi, dan janji mereka untuk mengatasi tantangan global. Majelis umum tahun ini bukan sekadar pertemuan biasa; ini menandai 80 tahun PBB dan 20 tahun prinsip Tanggung Jawab untuk Melindungi (R2P).
Dengan tema yang menggemakan tiga pilar dasar PBB, yaitu perdamaian, pembangunan, dan hak asasi manusia, tidak ada isu yang merangkum tiga pilar ini lebih lengkap daripada situasi yang sedang berlangsung di Palestina. Perang yang menghancurkan di Gaza, yang ditandai oleh kampanye militer Israel, pengabaian hukum internasional yang berani, dan meningkatnya korban sipil, telah menghidupkan kembali seruan untuk keadilan. Di Global North, opini publik juga telah bergeser, dengan unjuk rasa memenuhi jalan, menekan pemerintah mereka untuk bertindak. Menjelang UNGA, beberapa pemimpin telah mengisyaratkan niat mereka untuk mendukung pengakuan internasional yang lebih luas terhadap Palestina sebagai sebuah negara. Bagi 76 persen negara anggota PBB, termasuk Indonesia, pengakuan semacam itu bukanlah terobosan. Palestina sudah diakui oleh mayoritas negara. Hubungan diplomatik telah terjalin, dan Palestina menikmati hak istimewa dan kekebalan sebagai sebuah negara. Oleh karena itu, pengakuan bukanlah sebuah bantuan, melainkan sekadarnya.
Namun, pengakuan tetap berbobot. Pengakuan ini menciptakan landasan hukum dan politik untuk menuntut agar Palestina diperlakukan sebagai negara berdaulat, mengakui realitas pendudukan, menetapkan kewajiban Israel sebagai kekuatan yang menduduki, mengakui kegagalan Israel dalam melindungi wilayah yang diduduki, dan mendorong lebih keras penyelesaian yang adil.
Namun, pengakuan hukum suatu negara tidak serta merta menjamin keselamatan rakyatnya. Sebagaimana diilustrasikan oleh krisis di Gaza, kedaulatan di atas kertas hanya menawarkan sedikit perlindungan ketika warga sipil dibombardir, perempuan dan anak-anak menanggung beban penderitaan, bantuan terhambat, dan makanan dijadikan senjata. Dalam situasi seperti itu, kedaulatan harus dibarengi dengan tanggung jawab komunitas internasional untuk bertindak, yang justru merupakan peran yang tergambar dalam tiga pilar R2P. Prinsip R2P lahir dari tragedi di Rwanda dan Bosnia pada tahun 1990-an, ketika komunitas internasional gagal bertindak melawan kekejaman massal. Diadopsi pada tahun 2005, prinsip ini bertumpu pada tiga pilar: Negara bertanggung jawab untuk melindungi warga sipilnya, komunitas internasional harus membantu mereka, dan tindakan kolektif harus diambil jika mereka gagal. Intinya, konsep ini selaras dengan visi mantan Sekretaris Jenderal PBB Dag Hammarskjöld, bahwa PBB tidak diciptakan untuk membawa kita ke surga, melainkan untuk menyelamatkan kita dari neraka.
Namun, dalam praktiknya, implementasi R2P di beberapa negara, termasuk Libya, menuai kritik karena berpotensi menimbulkan kekacauan, pergantian rezim, dan bahkan melemahkan kedaulatan. Kritikus berpendapat bahwa R2P diterapkan secara selektif, seringkali terhadap negara-negara yang lebih lemah, sementara kasus-kasus penting seperti Palestina diabaikan, bahkan sejak tahun 1948 ketika istilah tersebut belum diciptakan. Jika R2P diterapkan secara konsisten, Palestina akan menjadi kasus uji cobanya. Skala korban sipil, penolakan akses kemanusiaan, kelaparan yang disengaja sebagai senjata perang, dan penghancuran sistematis, semuanya memenuhi ambang batas kekejaman yang coba dicegah dan diintervensi oleh komunitas internasional: genosida. Di tempat lain, sanksi, embargo senjata, larangan perjalanan, dan pemutusan hubungan diplomatik dan perdagangan, bahkan “intervensi kemanusiaan”, akan diberlakukan di bawah bendera R2P untuk menekan dan menghukum “pelanggar hak asasi manusia”. Namun, di Gaza, kesunyian merajalela.
Kelambanan ini menunjukkan bagaimana prinsip R2P seringkali dibelokkan demi kepentingan geopolitik. Kekhawatiran berbagai negara terhadap R2P justru disebabkan oleh standar ganda dan pedoman implementasi yang tidak jelas. Meskipun Indonesia mendukung prinsip tersebut, penyalahgunaannya berisiko menjadikannya dalih intervensi, alih-alih alat untuk melindungi warga sipil. Kasus Palestina membuktikan hal ini: Bahkan ketika lebih dari 60.000 nyawa melayang, prinsip tersebut dikesampingkan, bukan karena kurang relevansinya, melainkan demi kepentingan politik. Di tengah kontradiksi ini, Indonesia tetap konsisten mendukung perjuangan Palestina. Meskipun bukan anggota, Indonesia menyuarakan keprihatinannya di Dewan Keamanan PBB. Di Dewan Hak Asasi Manusia, dukungan Indonesia telah konsisten sejak Agenda Palestina ditetapkan sebagai agenda permanen pada tahun 2006.
Upaya Indonesia jauh melampaui forum-forum tersebut untuk memastikan Palestina tidak hanya dikucilkan sebagai isu sensitif, melainkan diperlakukan sebagai isu multidimensi. Di Jenewa, yang menaungi lebih dari 40 organisasi internasional, Indonesia memastikan isu-isu Palestina mendapatkan perhatian yang layak, mulai dari perdagangan dan pembangunan hingga ketenagakerjaan dan telekomunikasi. Pendekatan komprehensif ini mencerminkan keyakinan Indonesia bahwa perjuangan Palestina bukan hanya tentang perbatasan, tetapi juga tentang hak dan martabat, tentang pembangunan global, dan tentang janji nyata bahwa “tidak akan pernah lagi” dan “tidak seorang pun tertinggal” bukanlah slogan belaka. Tekanan Indonesia untuk tindakan lebih lanjut telah tercermin dalam resolusi-resolusi, mobilisasi dukungan di blok-blok negosiasi seperti Gerakan Non-Blok, Kelompok 77, Tiongkok, dan Organisasi Kerja Sama Islam, serta dorongan untuk koridor kemanusiaan di Gaza.
Tekanan kumulatif ini memastikan Palestina tetap menjadi agenda internasional. Ketika para pemimpin dunia bertemu di New York, kasus Palestina akan menjadi ujian bagi R2P. Oleh karena itu, pengakuan harus dibarengi dengan akuntabilitas, di mana komunitas internasional juga memiliki tanggung jawab untuk mengambil tindakan kolektif yang diperlukan guna melindungi warga Palestina. Bagi Palestina, hal ini merupakan secercah harapan untuk mengakhiri penderitaan warga sipil. Bagi komunitas internasional, hal ini merupakan ujian kepercayaan dan kredibilitas janji R2P. Posisi Indonesia jelas. Implementasi R2P yang tepat membutuhkan upaya untuk mengakhiri kekejaman, memastikan akses kemanusiaan, dan menegaskan kembali bahwa kedaulatan bukanlah anugerah, melainkan hak. Kegagalan dalam mengimplementasikan hal ini akan menjadi preseden yang membahayakan prinsip R2P. Indonesia sendiri akan terus memastikan bahwa komitmennya tidak dilupakan, baik di New York, di Jenewa, maupun di setiap forum di mana suara Palestina harus didengar. Karena diam, bagaimanapun juga, adalah bentuk keterlibatan.
Posting oleh gandatmadi46@yahoo.com dan Kheva Fahreza