oleh: Bambang Hidayat
The depiction of the Milky Way according to Javanese tradition, with the hero Bima fighting the dragon in the sea, with the reflection imprinted in the sky ( Mumpuni collection)
Telah diketahui bahwa sistem angkasa Bumi yang sekarang ini adalah produk evolusioner interaksi sistem angkasa asli sederhana, ketika Bumi baru terbentuk, dengan radiasi Matahari dan sumber kosmik, teracu dan terolah dengan semburan energi dan kimiawi letusan volkanik Bumi.Bahkan rotasi badan Bumi pun meninggalkan sidik jari pada perubahan struktur angkasa. Angkasa “normal” akan menghasilkan iklim yang “normal”, dan disinilah inti persoalannya. Sifat alami itu sendiri sering memperlihatkan penyimpangan yang berdampak perubahan berupa ubahan energi dan panas yang merambat tidak linier dalam waktu maupun tempat.
Ubahan kecil pancaran radiasi matahari akan mengubah lapisan teratas angkasa Bumi. Perubahan itu akan merambat ke lapisan angkasa bawah dengan cara yang sangat tergantung dari fungsi respons sistem angkasa, laut dan daratan pada suatu saat. Ubahan skala kecil hanya mengimbas parameter atmosfer lokal, dan mungkin regional, yang menyebabkan perubahan karakter cuaca seperti tertunda atau berubahnya musim. Perubahan skala besar dan berkepanjangan, dalam skala ruang dan waktu, akan mendorong adanya perubahan global. Kalau perubahan global itu berkepanjangan dengan intensitas besar maka, dapat diduga, akan terjadi perubahan iklim. Perubahan iklim global ini mempunyai dampak sosial dan ekonomi—mulai dari perubahan hasil panen sampai kepada munculnya kegerahan fisik manusia. Selama ubahan itu berlangsung landai banyak negara dan warganya secara evolusioner akan dapat menyesuaikan dirinya dengan parameter baru. Tetapi perubahan meneyentak dan mendadak sifatnya memerlukan daya-tahan dan kelenturan sistem suatu masyarakat untuk mengimbanginya. Perlu suatu usaha persiapan, antisipasi, matang-terencana agar tidak timbul kekacauan ekonomi, kehidupan sosial dan masalah penyesuaian. Negara perlu ikut campur untuk memahami dan mengantisipasi perubahan itu dengan suatu sistem pengetahuan yang mampu menghasilkan “canang awal” yang berbobot “daya ramal” tinggi.
Oleh karena itu perbaikan ramalan terpadu tentang sistem Bumi termasuk prakiraan ubahan tata masyarakat dan sosial yang sahih akan memberikan kesiapan. Telaah cerdas mengenai sifat pra-ubahan melahirkan ramalan dampaknya terhadap perdagangan, pasokan energi, pemanfaatan sumber dan keamanan manusia yang lebih handal dan lebih ekonomik. Penelitian angkasa, baik landas Bumi mapun landas layang dari anatariksa, terpadu dengan penelitian in-situ, memungkinkan pemantauan global seperti itu berdayaguna besar dalam mempersiapkan masyarakat menghadapi perubahan mendadak. Penggunaan antariksa, umpama, sebagai landas penelitian sistem Bumi sudah memperlihatkan kedayagunaannya 25 tahun terakhir ini, dan masih harus dilanjutkan karena keubahan yang terus menerus. Tetapi hal ini tidak lahir dalam ruang hampa, melainkan perlu wawasan dari pemegang kekuasaan yang harus mempersiapkan, secara bipartisan dengan lembaga pendidikan, manusia cerdas dan sarana sahih. Suatu negeri yang hendak ikut dalam program penelitian global, yang ingin mendulang kegunaannya, agar memperoleh keuntungan berbasis ilmiah harus:
- Secara terpadu dalam jangka panjang merekam pemantanan interaksi sistem darat, laut dan udara.
- Mempunyai telaahan programatik untuk mengerti pengaruh fisis, geologi, kimiawi, biologi, sistem angkasa Bumi.
Beberapa upaya telah dilakukan oleh Indonesia, tetapi perlu penekanan ,kejelasan dan kesanggupan (pendanaan dan kemauan) untuk menvcapai pengertian:
- Model cuaca dan ramalan ubahan
- Daur air dan energi global (termasuk perubahan muka air laut).
- Daur karbon (alami dan buatan) di udara, Bumi dan air.
- Sistem ekologi dan dinamika kependudukan.
- Hubungan Matahari-Bumi, dan pengamatan fenomena global Tata Surya.
- Kedudukan Bumi dalam tata-surya
- “Space Science” dalam kaitannya dengan sains kebumian.
The solar radio spectrograph operated by LAPAN and located in Sumedang district, West Java (Courtesy LAPAN )
Bekerjasama dengan negara lain guna menyadap dan membangkitkan kemajuan teknologi dan sains dalam negeri adalah upaya terhormat untuk mendukung pengembangan keilmuan dan penelitian agar lebih ekonomis, efisien dan, juga, dapat diterima oleh kaidah pelestarian lingkungan. Nilai kerjasama antar bangsa ini tiada ternilai harganya. Dalam mengupayakan kemajuan itu harus diingat falsafah dasar mengenai kepentingan hidup negara dan kegunaan intelektual didahulukan. Dinyatakan secara sederhana kepentingan dan pengembangan intelektual lambat laun harus dialihkan untuk kegunaan untuk bangsa dan negara jangka panjang. Pada waktunya pengembangan kompetensi ini akan memperkuat jiwa kompetisi nasional. Ikut berlomba aktif dalam teknologi maju merupakan tabungan kekayaan bagi bangsa. Kita terlatih mendalami pengamatan lokal tetapi harus ikut mendukung serta pemecahan masalah universal, seperti yang sering kita inginkan dalam konsep “universitas kelas dunia”.
Pemimpin Bangsa dimasa depan tetap akan terbebani muatan abadi perubahan-perubahan cuaca, pola penggunaan energi dan kependudukan. Adanya kegundahan dalam dunia ilmu pengetahuan di Indonesia yang menjenguk kerentanan pembangunan di masa depan, karena mengandung masalah ubahan antropogenik maupun ubahan alami tetap akan mewarnai panorama pembangunan di negeri kita. Ubahan-ubahan ini memperlihatkan, setidaknya dalam lima tahun terakhir, peristiwa dadakan baik dalam ranah temporal maupun spatial. Bencana alam mega magnitudo yang menimpa ujung barat laut negara kita, Aceh, adalah contoh khas ubahan impulsif, yang harus ditangani dengan kebijakan tidak berlandaskan “bussiness as usual”, tetapi dengan wawasan tembus tirai-waktu.
Unsur dorongan pendadakan kedua adalah desakan untuk menyongsong pemahaman “protokol Kyoto” dalam mengurangi beban angkasa Bumi agar mengerem laju pemanasan global. Betapa pentingnya penghatan protokol itu secara mendalam tampaknya sudah tergambar dalam pertemuan Bali di ekor tahun yang baru saja silam. Janji keterlibatan mendunia yang menggambarkan kita kepada pembangunan negara kita dan sumbangan wawasan bagi dunia telah dengan menggembirakan dibahas di Bali. Terkumpul banyak permintaan dan terkandung didalamnya niat membuat agenda kerja memperbaiki sistem Bumi, yang akirnya harus mengacu kepada kenyamanan dan keamanan hidup generasi mendatang. Daftar panjang itu semoga semoga tidak sia-sia karena merupakan janji bangsa. Terpumpun dalam usaha itu ialah memerangi, tidak dengan senajata, tetapi dengan laku pengetahuan, titik merah dalam kehidupan kehidupan ialah “global warming”. Didalam istilah itu sendiri sebenarnya tergantung pengertian mengikat bahwa global warming (pemanasan global) tidak selalu berdampak jelek bagi tiap negara (lihat umpama: “The worst case scenario” Nature 30 April 2009, pagina 1104, dimana ahli pengetahuan Schneider mencoba menggunakan muatan CO2 1000 ppm, bukan hanya 250 ppm seperti yang teramati sekarang).
Dalam konteks geopolitik kita ingat tatkala Presiden Negara adidaya (USA) tidak meratifikasi “Protokol Kyoto”, tetapi Akademi Ilmu Pengetahuan negaranya justru ingin mengusungnya. Timbul pertanyaan serius kearah mana protokol Kyoto, yang akan membela “negara berkembang’ akan dibawa?. Beruntung sekali bahwa wacana itu tampaknya akan mengurangi tegangan internasional dengan kehadiran Presiden Obama yang baru dilantik di USA pada awal tahun ini. Presiden Obama dikenal dekat dengan dunia ilmu pengetahuan dan beriktikad untuk mendayagunakannya melalui agenda kerjanya untuk memecahkan masalah global, termasuk pemanasan global. American Physical Society mengulas (Mei 2009) mengulas, atas dasar keyakinannya, dalam editorialnya “It’s a new day in Science”. Disitu diulas bahwa keterkaitan pemanasan global dengan banyak aspek kehidupan membuat Presiden muda itu berpikir “..the linkages are apparent but the solutions are not”. Seterusnya dia mengemukakan keyakinannya “but what is unmistakable as the centrality of science’s role’ (intinya: walau begitu peran utama sains adalah penting”) penting. Sebagai suatu disiplin dalam kehidupan sians ikut bertanggung jawab dalam masalah-masalah ubahan energi, ubahan cuaca, kesehatan dan pangan, bahkan….”stable financial services”. Bukankah hal itu juga kita harpkan dari pemimpin-peminpin kita dimasa depan?. Kita ingin melijhat ada bobot berat dan kandungan politik kebijakan keilmuan yang mendasar dan dalam.
Tidak kurang penting ialah dorongan agar Indonesia mempunyai agenda pembangunan, setidaknya sampai suatu titik-waktu yang dianggap penting dalam bernegara dilihat dari
keimbangan pertumbuhan ekonomi dan ubahan tatanan dunia.Keduanya rangkai-merangkai. Karena itu aliran yang memuara kepada kesejahteraan, kesinambungan dan ketahanan berbangsa perlu dikaji terutama pada titik2 pertemuan yang menentukan karena anataraksi ekonomi, ilmu pengetahauan dan ilmu sosial.Pengetahuan Iklim Global memang sudah banyak difahami,namun Dampak Perubahan Iklim Global bagi pembangunan jangka panjang masih bersifat wacana yang belum mengerucut kepada penilaian adanya kesahihan dan masih selalu harus menjadi wacana karena disana tampak masih banyak kurva pertumbuhan dan keputusan yang meragukan karena dibayangi oleh batang kesalahan besar lagipula belum merupakan kurva-kurva tersambung. Sidik jari perubahannya , yang masih merupakan vignet sektoral sudah ditampakkan oleh berbagai peristiwa mulai dari berkurangnya daya serap CO2 oleh hutan sampai kepada pembengkakan, atau terkembalikannya aneka penyakit, umpama malaria di beberapa wilayah, yang sebelumnya terhindar dari wabah.
Keyakinan bahwa ekonomi, kesehatan, aneka ragam hayati – terutama dalam hutan tropika dan alam sendiri merupakan satuan berperan bagi kesejahteraan bangsa, maka penyelsaian saktu sektor diharapkan mengkait dengan,dan membawa serta ikutan, untuk kegiatan lain. Sentralitas pendidikan dan peniletian dalam peran itu tidak diragukan.Kita yang memperoleh kesempatan menggumul ilmu pengetahuan harus tergerak dan ,tentunya, mengarahkan pandangan kepada prospek ilmu pengetahuan dan budayanya pada abad 21 yang mengagungkan etik lingkungan. Ilmuwan dewasa ini tidak hanya memperoleh amunisi perolehan gemilang ilmu pengetahuan di masa lalu, tetapi juga dilengkapi dengan berbagai perangkat kuat dalam ranah teori molekuler dan genetika untuk menyingkap tirai rahasia evolusi alami. Ini semua terselenggarakan dalam era penyebaran informasi cepat, serentak, dan perjalanan manusia lintas negara yang di mudahkan oleh sarana transportasi, telah menjadi perekat antar bangsa tetapi juga, tidak dapat diingkari, menjadi pendorong global kegiatan ekonomi. Dalam pada itu kita tak boleh menutup mata adanya sisi kurang indah yang menampilkan peredaran pusat pertumbuhan patogen juga berkembang dengan cepat ikut teralihkan seperti halnya peristiwa flue babi akir2 ini
Tentu saja ini mensyaratkan kegigihan kita menangkalnya, dan akan membangunkan wajah ilmu pengetahuan baru. Kita tidak dapat menghindari.
Prof. Murdiyarso,dkk (2003) mengetengahkan karyanya tentang “Protokol Kyoto” dan kaitan serta pautannya bagi negera berkembang. Di situ dikatakan bahwa “Protokol” itu merupakan dasar kesepakatan secara kuantitatif bagi negara industri untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Pengurangan yang terukur itu, 5% di bawah level 1990, diharapkan akan membantu menghadang kenaikan suhu global. Sebagaimana kita ketahui usaha itu bukan merupakan pekerjaan mudah, karena keengganan beberapa negara untuk tidak meratifikasi. Bagi kita kuncinya ialah bagaimana seharusnya bertindak menangani masa depan, tanpa menghambat pembangunan. Setiap kita melihat tumbuh kembangnya suatu mega-proyek (dam, perumahan, waduk,dls) mau tidak mau kita melihat terlahapnya banyak lahan subur bahkan hutan-hutan lindung kita. Wahyu Wardoyo (Dep.Hut) pada tahun 2008 di ITB mewanti-wanti agar perawatan hutan dan lingkungan hutan tidak terabaikan—karena dampaknya tidak hanya kepada pelarian satwa dan aneka hayati, tetapi juga kepada iklim. Kita semuawas-was melihat dampak permabahan hutan tropika dewasa ini
Dalam skala dunia semenjak akhir tahun 1950-an, proyek seperti itu telah menyita lahan subur di dunia seluas Negeri Perancis. Mari kita perhatikan anak manusia yang lahir pada dekade 90-an, yang akan mencapai usianya ke 50 pada tahun 2050. Kalau laju perubahan panas yang tersulut oleh sumber antropgenik,seperti yang sekarang terjadi 0,20C tiap tahun tidak dapat dihambat, maka merekalah yang harus menanggung akibat itu pada masa “prime time” mereka. Tahun 2050 sudah berada di ujung pandangan. Apakah dampak perubahan itu?
Beberapa jenis species mulai dari kerang sampai binatang menyusui menanggapi perubahan itu dengan cepat, tetapi beberapa jenis lain dapat bertahan. Normile, enam tahun yang lalu, mengemukakan bahwa pemucatan terumbu karang lebih dipengaruhi oleh pemanasan air laut, daripada oleh polusi semata. Tetapi kerusakan terumbu karang tidak berdiri sendiri. Pada persitiwa El Nino/La Nina (1997/1998), demikian diungkap dalam pertemuan “9th International Coral Reef Symposium” di Bali sembilan tahun yang lalu, dan pertemuan Manado tahun ini, terungkap bahwa kerusakan terumbu karang dapat menuai kerugian dalam usaha perikanan dan industri turisme sebesar 109 US$. Bukan suatu kerugian yang kecil. Walau terumbu karang dapat sembuh kembali, tetapi kita harus memperhatikan synergisme dalam sistem biota laut. Kadangkala kita menemui istilah “laut yang sakit”. Argonite yang dapat membantu pertumbuhan karang agar cepat dan kuat membangun terubunya sering terganggu oleh CO2 udara, yang tampak membesar dengan kurang berhasilnya mengendalikan penggunaan bahan bakar.
Pada tahun 2004 Margeret Palmer dkk, (Science, hal. 125, 2004), mengemukakan tulisan yang menarik “Ecology for a Crowded Planet”. Dia mengkuatirkan pemusnahan spesies secara differential. Tampak sepele tetapi pemusnahan sebaagian kandungan serba hidup bisa berakibat perusakan komunitas dan keterkaitan jenis kehidupan satu dengan yang lain., akibat perubahan global. Dia mengingatkan “the role of science in a more sustainable future must involve an improved understanding of how to design ecological solutions not only through conservation and restoration but also by purposeful inventions of ecological systems to provide vital services (tidak hanya kemampuan mengkoservasi, mengawetkan, dan merestorasi, membangun kembali, tetapi lebih diperlukabpembaharuan pandangan dalammenata ekologi).
Hilangnya camaleon (bunglon) dari Madagaskar dieja sebagai sidik jari dampak perubahan global itu. Terry Rout dkk, (Nature, 421, P. 571, 2003), memperlihatkan bahwa percepatan ubahan itu mempengaruhi evolusi keberadaan binatang memamah biak, dan flora mulai dari jenis rerumputan sampai perdu. 80% dari species yang diteliti menjawab ubahan ke arah yang diramal dari karakter physiologinya. Sedangkan Simon L. Hay 3 tahun yang lalu menemukan kelahiran kembali Plasmodium Falciparum di Afrika yang dipicu, walau hubungannya tidak satu-satu, denganperubahan iklim. Ada rasa dosa kalau kita tidak menyebut sumbangan prof. Murdiyarso. Dalam terbitannya (2005) dia bersama Herawati menerbitkan “Carbon Forestry”, yang bermuatan bekal kita kepada pengertian dasar tentang perlindungan hutan tropis kita. Hutan tropika adalah laboratorium, sekaligus musium perjuangan Darwinian aneka jenis kehidupan. Indonesia beruntung menerima warisan adi seperti itu. Program 18.106 US$ (Michael Hopkins, Nature 2007) sebenarnya bukan jumlah yang besar untuk memantau dan mengembangkan pengetahuan tentang aneka ragam hayati itu. Kemauan kitalah yang menentukan untuk bertindak sambil mengingat generasi berikut, yang dalam kaidah pembangunan berkelanjutan harus memperoleh cipratan pemikiran sayang dan kecintaan. Tidak boleh kita abaikn mereka hidup dalam alam serba-rusak. Harapan besar kepada para ilmuwan yang biasanya sangat peka untuk memantapkan pola logika dan menjadikan data dalam narasi yang koheren dan sahih, sebagai patokan agenda kerja membangun masa depan. Kita mengenal “hukum rimba” (dalam pengertian positif) yang sering dijeritkan oleh rimbawan untuk menjaga warisan semesta yang menyimpan keragaman hayati—dan menjadi penghasil oksigen dunia. Kenapa itu tidak kita jaga. Namun kita tidak hidup dalam dunia statis, tidak hanya pertambahan penduduk, tetapi juga permintaan dunia kaya di seberang sana, yang harus kita pertimbangkan dengan bijak dalam arti tidak tergiur oleh keutungan sesaat tetapi melupakan keayaan hakiki tanah air.
Pada tahun 1970-an pemikiran kita tertuju kepada dan dituntun oleh, sebuah dokumen penting hasil ulah pemikiran beberapa puluh cendekiawan “the Limit to growth”. Isi pemikiran itu ialah mengingatkan kita kepada masalah pertambahan penduduk dan kebutuhannya dengan sesumber yang terbatas. Dalam 39 tahun terakir ini rupanya kita terlena, melupakan, peringatan dini itu (Scientific American, May-June 2009, p. 230): dengan paradigma yang berubah dalam abad ke 21 ini tentunya akan bertaut kalau dipikirkan kembali wawasan mileneum lalu tersebut dengan di lengkapi data dasar baru.
Mari kita menjaga lingkungan sebagai sumbangan kita kepada pembangunan bangsa, dan generasi dimasa depan.
Bambang Hidayat
hidayatbambang@yahoo.com