Prof. Dr Widjojo Nitisastro lahir di Malang tahun 1927 dan wafat 2012. Pada tahun 1945 dia bergabung dengan pasukan Tentara Pelajar Indonesia (TRIP). Usai perang kemerdekaan putra Penilik Sekolah dan adik kandug dr Angka Nitisastro (Rektor pertama ITS) melanjutkan kuliah di FE UI. Ketika masih menjadi mahasiswa bersama Prof Nathan Keyfiz menulis sebuah buku, Soal Penduduk dan Pembangunan Indonesia. Kata Pengantarnya di tulis Bung Hatta,
Seorang putra Indonesia dengan pengetahuannya mengenai masalah tanah airnya, telah dapat bekerja sama dengan ahli statistik bangsa Kanada. Mengolah buah pemikirannya yang cukup padat dan menuangkannya dalam buku yang berbobot.
Widjojo lulus dengan predikat Cum Laude kemudian kuliah di University of California, Berkeley atas bea siswa Ford Foundation, lulus tahun 1961 dan kembali ke Indonesia mengajar di UI dan Seskoad. Pada tahun 1966 diadakan seminar AD mendiskusikan masalah ekonomi dan politik serta bagaimana Orba akan mengatasinya. Pada tahun 1970 Widjojo dan kawan2 diangkat menjadi anggota Kabinet pak Harto.
Praktis pemerintahan Orba mayoritas personelnya diduduki kalangan militer terutama AD bahkan sampai ke jabatan Gubernur dan Bupati. Sinergi antara Mafia Berkeley dan ABRI sebenarnya sebatas di bidang Perekonomian dalam kabinet sedangkan implementasi dijalankan oleh ABRI.
HMT Opposunggu lahir pada tahun 1923 di Pematang Siantar. Letnan 2 AD bertugas di Komandemen Sumatra, Bukittinggi. Melanjutkan kuliah di UI dan diplih oleh Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo untuk bekerja mulai sebagai staf junior di United Nations, ESCAP, Bangkok. Selama 20 tahun bekerja pada ESCAP, memperoleh pengalaman berharga dari asuhan ekonom senior tentang ilmu dan perumusan studi ekonomi-makro dan perencanaan perekonomian anggota-anggota ESCAP serta sering dikunjungi untuk berkonsultasi. Tugas terakhir adalah penyelenggaraan sebuah konferensi “Meeting on the Development of Real and Financial Assets in Economic Planning” dan merumuskan makalah utama bagi negara-negara anggota ESCAP. Ditugaskan juga untuk mewakili ESCAP dalam Konferensi Tahunan ADFIAP (Association of Development Financial Institutions in Asia and the Pacific) di Manila.
Kebijakan Devaluasi Di Indonesia – Sebuah Aplikasi Ekonomi Moneter
Ompusunggu sebagai ekonom bisa dikatakan selalu berseberangan dengan beleid ekonomi Pemerintah dan kebijakan2 ekonomi yang di kordinasi Prof Widjojo Nitisastro. Salah satunya tertuang dalam bukunya yang sangat terkenal Kebijakan Devaluasi Di Indonesia – Sebuah Aplikasi Ekonomi Moneter. Perlu dicatat di era itu Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas moneter di bawah kordinasi Menteri Perekonomian Widjojo.
Didalam Prakata buku tersebut dikemukakan bahwa APBN yang selama ini dianggap seimbang dampaknya terhadap peredaran uang justru merupakan penyebab utama inflasi. Oleh karena sifat inflasi tidak dipahami maka secara paradoksial tindakan devaluasi 1978 dan 1983 itu bukan merupakan penyelesaian inflasi maupun neraca pembayaran sebagaimana yang dimaksud Pemerintah semula, tetapi malah memperkuat inflasi itu sendiri.
Ketika menyusun buku tersebut, Oppusunggu sering bertukar pikiran dengan Dr DJ Blake – guru besar di University of Malaya. Dengan Dr R Rice, profesor of economics dariMonash University, Clayton Australia.
Mereka2 yang punya pemikiran yang sama dengan Ompusunggu al Dr. Sri Bintang Pamungkas, Ikhsanuddin Noorsy, Dr. Sri Eddy Swasmo dan Dr. Hartoyo Wignyowiyoto. Oleh sebab itu sejumlah analisa kritikan terhadap Kebijakan Pemerintah berasal dari mereka dan nampaknya berlanjut di era Sri Mulyani Indrawati dan Darmin Nasution.
Analisa APBN akibat lonjakan harga minyak pada 1975 dari US$ 1.50/ barrel menjadi US$ 4.50/barrel mengakibatkan persentasi penerimaan ekspor minyak dari 39% di tahun 1971 meloncat menjadi 75% di tahun 1975. Hal ini menjadi windfall profits tetapi tidak diimbangi dengan penurunan kurs. Salah satu akibatnya hasrat untuk impor barang2 melonjak. Kita mengalami ketika belanja ke Singapore jam tangan misalnya murah karena disubsidi Pemerintah, makin parah dengan penyelundupan.
Kebijakan 15 November 1978 (KNOP).
Sebagai akibat kasus Pertamina sebelumnya dan behasil diatasi Ompusunggu mempertanyakan mengapa menjadi pertimbangan untuk devaluasi. Inflasi sudah berhasil dikendalikan selama Januari – Oktober 1978 pada 3%. Mengapa di lakukan devaluasi? Akibatnya harga barang naik lagi.
Kebijakan 1983
Pemerintah menurunkan kurs dari Rp 702 per US$ menjadi Rp 970 per US$ pada Maret 1983 dalam keteranganya Menko Ekuin a.l. karena mempertimbangan perekonomian dunia melesu dilakukan untuk menaikkan ekspor. Menurut Ompusunggu tindakan tersebut tidak tepat karena menaikkan ekspor dalam situasi ekonomi lesu bukan melakukan devaluasi. Pertimbangan Pemerintah karena laju inflasi tidak tepat karena produksi dalam negeri meningkat sedangkan pertimbangan harga dibandingkan harga untuk barang2 serupa diluar negeri, mengatasinya tidak dengan melakukan devaluasi.
Sanggahan terhadap Isi Buku HMT Ompusunggu
Disayangkan belum menemukan atau memang tidak ada komentar dari Prof Widjojo Nitisastro terhadap isi buku Kebijakan Devaluasi Di Indonesia. Menurut saya isi buku tersebut bagus tentunya dengan mempertimbangkan faktor dalam agregat ekonomi masih terbatas dibandingkan di era NOW.
Catatan
Teringat ketika ngobrol dengan mas Budi Sudarsono seputar liberalisasi perbankan Indonesia bahwa para ekonom memilih melakukannya karena jika kesalahan yang dibuat oleh pebisnis dampaknya terbatas tetapi jika dilakukan pemerintah sangat luas. Ternyata krisis ekonomi 1977/1978 dipicu oleh utang swasta dalam mata uang asing. Swasta mengalihkan utang dari Rupiah ke US$ karena perbedaan suku bunga. Ketika kurs yang dipatok turun drastis Utang tersebut membengkak luar biasa. Selanjutnya Pemerintah mengeluarkan BLBI tetapi karena pengawasan yang lemah dari BI terjadi penyalah gunaan.
dikumpulkan oleh Gandatmadi