By : Alejandro Foxley and Fernando Sossdorf
Alejandro Tomás Foxley Rioseco (born 26 May 1939 in Viña del Mar) is a Chilean economist and politician. He was the Foreign Minister of Chile from 2006 to 2009 and previously served as Minister of Finance from 1990 to 1994. Foxley received a Chemical Engineering degree from the Catholic University of Valparaíso and PhD in Economics from the University of Wisconsin–Madison. Over his life he has received various awards including three honorary doctorates, the Great Insignia of Honor from Austria, the Ordem Nacional Cruzeiro do Sul from Brazil and the Order of Civil Merit from the King of Spain
Fernando Sossdorf phd is a Chilean economist.
The capacity of political leaders to build consensus around a crisis management package and structural reforms needed for the post-crisis phase will determine the outcome.
Summary
Hanya beberapa middle income negara yg berhasil menjadi negara advanced economy dalam dua puluh tahun terakhir ini. Ketika dunia berjuang menghadapi penurunan ekonomi baru, negara2 middle income perlu belajar dari negara2 yg berhasil meloncat menjadi negara advanced economy. Negara2 yg sukses dalam kelompok ini khususnya Finlandia dan Korsel dengan cara investasi sejak dini untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan mendorong investasi bidang research dan development. Dengan membuka diri perdagangan internasional dan menggunakan insentif pajak serta akses kepada kredit bersubsidi, negara2 itu mampu menarik foreign direct investment sektor hightech. Kemudian memberi kesempatan tumbuh secara kontinu. Finlandia dan Korsel mampu merubah kondisi krisis keuangan menjadi peluang untuk melakukan reformasi ekonomi yg dibutuhkan ( much-needed economic reforms ). Hal itu dimungkinkan oleh karena terdapat perjanjian politik dan sosial yg luas mengenai elemen penting untuk pertumbuhan yg berkelanjutan (the essential elements for sustaining high growth rates.).
Namun tidak semua usaha pembangunan menikmati sukses terutama Spanyol, Portugal dan Irlandia. Domistic demand membawa ke fase pertumbuhan tinggi tetapi tanpa disertai countercyclical* fiscal dan kebijakan moneter serta regulasi2 yg efektif di sektor keuangan. Tak terhindarkan muncul high inflation, kehilangan daya saing dan kemudian muncul pertumbuhan negatif. Situasi diperparah dengan diterapkan fix exchange rate seperti di wilayah euro, pasar tenaga kerja yang kaku serta lack of competition di pasar2 kunci, yaitu utilities dan perbankan.
Note: * countercyclical lawan dari cara konvensionil dilakukan misalnya cool down ekonomi supaya terhindar dari bubble.
Dengan mengingat pengalaman ini terdapat empat pelajaran yg diperoleh bagi negara2 middle income untuk menerobos perangkap middle income atau middle income trap serta berhasil menjaga pertumbuhan ekonomi yg kuat.
Good macroeconomic management during crises is not enough
Negara2 berkembang memiliki management ekonomi makro cukup memadai selama krisis keuangan tetapi hal itu bukan menjadi jaminan menuju ke pertumbuhan tinggi yg berkelanjutan (sustained high growth ). Secara fakta, sudah ada early warning sign terciptanya imbalances oleh capital inflow secara eksesif, suku bunga rendah dan kelebihan likwiditas. Hal ini menciptakan boom konsumsi dan konstruksi ( sektor property misalnya ) di negara2 middle income.
Untuk mencegah munculnya krisis baru negara2 berkembang butuh memberikan garansi terciptanya harga stabil dan pertumbuhan, tidak hanya melalui kebijakan countercyclical fiscal dan moneter tetapi juga countercyclical management terhadap neraca permodalan, serta regulasi sektor keuangan – simpan pinjam dan melaksanakan eksternal kontrol terhadap kapital jika diperlukan.
Rigid exchange rates and labor markets make it hard to maintain competitiveness.
Fix exchange rate membuat lebih sulit untuk melakukan penyesuaian jika terjadi eksternal atau domistik shock Devaluasi bukan opsi yg selalu tersedia dan semua penyesuaian harus dengan cara memotong gaji, memangkas belanja pemerintah dan privat, atau menaikkan pajak.
Namun flexible rates atau floating rate juga tidak memadai. Inflow capital yg tanpa regulasi atau regulasi yg kurang lengkap dengan mudah membuat negara2 tersebut menjadi korban dari sukses mereka sendiri yaitu dengan pinjaman berlibihan dana asing oleh perbankan dan sektor privat, menaikkan kurs secara berlebihan, high inflation menyebabkan daya saing jatuh. Peran proaktif pemerintahan dan Bank Sentral diperlukan untuk intervensi pasar…. induce higher capital outflows in the form of sovereign saving funds abroad, and regulate or restrict capital inflows.
Dikuranginya kekakuan ( rigidity ) dan pasar tenaga kerja yg kurang tersegmentasi lebih memungkinkan pergeseran penyesuaian perekonomian ( swift economic adjustment ) mendatangkan kurangnya dampak negatif terhadap lapangan kerja. Hal ini membutuhkan reformasi yg bisa merubah kotrak kerja dan memotong ongkos pemutusan hubungan kerja sementara menaikkan dan memperbaiki asuransi pengangguran serta berbagai bentuk proteksi terhadap segmen formal dan nonformal pasar tenaga kerja.
Note : Beberapa negara maju peran serikat buruh besar namun pada kondisi tertentu sulit melakukan konsensus
Investments in education and innovation are essential for long-term growth.
External shocks atau krisis ekonomi tidak mungkin bagi negara manapun untuk melarikan diri sepenuhnya namun politics of crisis management menjadi kunci untuk ( menghadapi ) apa yang bakal datang mengikutinya – dua ekstrim yg bakal dihadapi adalah resesi berkelanjutan atau memilih pulihnya kembali pertumbuhan yg tinggi dan berkelanjutan. Juga diperlukan …. The capacity of political leaders to build consensus around a crisis management package and structural reforms needed for the post-crisis phase will determine the outcome.
Irlandia di akhir tahun 1980an, Finlandia di awal 1990an, dan Korsel paska krisis Asia ( 1997-98 ) memperlihatkan bahwa kesepakatan tersebut dimungkinkan dan memperoleh dukungan dari kalangan pembuat kebijakan, bisnis dan pekerja. The absence of these bargains, however, explains the prevailing pessimistic outlook for the peripheral European economies.
Usaha yang paling produktif bagi negara2 middle income adalah mempercepat transisi menuju advanced economy dengan membangun bipartisan konsensus politik mengenai apa2 yang dibutuhkan dan kemudian secara simultan menyelesaikan dilema krisis ekonomi serta memastikan pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
INTRODUCTION
Negara2 middle income dapat di definisikan sebagai negara yg setengah jalan untuk menjadi negara advance economy. Isu dan motif tulisan ini adalah melakukan eksplorasi beberapa faktor untuk meningkatkan probabilitas meraih kondisi advanced economy dalam jangka waktu yg masuk akal ( reasonable periode ). Meninjau dari preseden sejarah, kita bertanya bagaimana negara2 middle income mengelola menuju advance economy selama 20 tahun. Ambang batas kelulusan ( graduation threshold ) didefinisikan tercapainya income per capita dalam bentuk purchasing power parity ( PPP ) atau kesamaan daya beli dengan negara teakhir yg dinobatkan IMF – Portugal, dengan income per capita $ 23,000 di tahun 2008
Negara2 middle income dibagi dalam dua grup. Pertama adalah Polandia, Hungaria, Estonia, Lithuania dengan income per capita hampir pada $ 23,000, ambang batas diprakirakan dalam empat lima tahun menuju Advanced Economy. Grup ke dua terdiri banyak negara yg juga dekat ambang batas, dibutuhkan usaha spesial untuk meningkatkan daya saing ekonominya yang berarti menaikkan potensi pertumbuhan. Dalam segmen ini termasuk Malaysia dan Thailand di Timur Asia, Bulgaria di Eropa Timur; serta mayoritas di negara2 Latin Amerika.
Jika proyeksi IMF untuk negara2 ini diterima sepanjang 2016 dan diasumsikan pertumbuhan pertahun GDP per capita rata2 5% maka angka2 yg di table 1 dan 2 tercapai. Dengan asumsi Hungaria, Polandia, Estonia dan Lithuania seperti di indikasikan akan melampaui $ 23,000 dalam waktu lima tahun. Empat negara2 Amerika Latin yaitu Argentina, Chile, Mexico dan Urguai akan seperti itu dalam satu dekade. Latvia, Bulgaria, Romania akan butuh 10 tahun. Di Asia Timur, Malaysia berada pada posisi terbaik untuk meraih dalam sepuluh tahun mendatang. Kontras dengan Thailand harus melakukan usaha berkesinambungan untuk meraih advanced economy dalam dua puluh tahun mendatang.
Grup negara2 middle income economy akan menjadi fokus disini. Transisi untuk meningkatkan status bukan menjadi garansi. Seperti tergambar dalam sejumlah literatur, beberapa dari mereka sudah rentan jatuh kedalam middle income trap. Sebagai contoh dari suatu studi mengenai East Asia yang baru saja dilakukan tahun 2007 (An East Asian Renaissance, World Bank). Penulis Homi Kharas dan Indermit Gill merujuk kepada konsep middle income trap seperti penurunan sejarah pertumbuhan yang memperlambat negara2 middle income economy untuk bisa meloncat menuju status negara2 high income. Ivailo Izvorski ( 2011 ) mengutip konsep dan menemukan hampir dua pertiga negara2 middle income di tahun 1960 masih mendekam dalam katagori itu di tahun 2009.
Hanya negara2 yang mampu menciptakan kondisi transisi menuju advanced economy lebih dari 50 tahun ini. Hal ini termasuk hampir semua negara di Eropa Barat dan Jepang, Korsel, Singapore, Taiwan, Slovakia, Slovenia serta Republik Czech. Menurunnya pertumbuhan dapat dijelaskan, diantara sejumlah faktor seperti gagalnya melakukan diversifikasi produksi dengan meninggalkan low tech, labor intensive products. Berarti ketika negara memulai dengan posisi low income per capita ( $ 100 ke $ 5,000 per tahun ) hal itu sama artinya mengeksploitasi keunggulan komperatif, dimana terdapat kelimpahan tenaga kerja.
Hal itu memungkinkan pola spesialisasi berbasis labor intensive labor, sementara berlimpahnya tenaga kerja bertahap menurun, negara2 middle income kemudian menuju ke produk2 yg memanfaatkan physical dan human capital. Hal ini membutuhkan investasi secara significant dalam human capital dan inovasi.
Berpedoman kepada kerangka konseptual diatas dilakukan lebih banyak studi dalam kurun beberapa tahun terakhir di beberapa negara yg kemungkinan jatuh dalam middle income trap. Malaysia, Thailand serta sejumlah negara Amerika Latin yang sering diberi label kandidat.
Studi ini menawarkan comperative perspective fokus kepada negara2 yg meraih bervariasi keberhasilan dalam masa transisi dari middle income ke advanced economy dalam periode dua puluh tahun terakhir. Beberapa dapat di lihat dalam tabel Transitions From Middle-Income to Advanced Income
Kasus Finlandia, Korsel, Irlandia, Spanyol, dan Portugal dipilih karena memiliki berbagai variasi cara membangun untuk mempercepat masa transisi. Finlandia dan Korsel dikatagorikan overall successful trajectories. Mereka tidakluput dar krisis keuangan tahun 1990an tetapi mampu merubah krisis menjadi peluang, dengan menjalankan reformasi pembangunan ekonomi berkelanjutan.
Irlandia mengalami boom pada tahun 1987 – 2000 yg menjadikan dari negara termiskin di Eropa menjadi negara advanced developed economy, tetapi kemudian hanya menjadi korban kemakmuran sendiri. Karena fakta pada dekade yg lalu pertumbuhan yg tinggi berbasis pada boom keuangan yg tidak terkontrol.
Spanyol juga menyajikan case study yg bagus. Paska restorasi demokrasi, mengalami pertumbuhan ekonomi yang bagus dari hasil reformasi struktural yg dilakukan pemerintahan Felip Gonzales. Hasil dari reformasi diraih dari tahun 1993 kedepan, ketika mengelola pencapaian pertumbuhan berkelanjutan selama tiga belas tahun sebelum terperosok krisis menerpa Spanyol sekarang, dan usahanya tetap tidak ada kepastian.
Terkini, Portugal telah memulai pertumbuhan yg tidak stabil, dengan kendala struktural yg parah menghalangi untuk mencapai pertumbuhan berkelanjutan.
Tidak ada negara2 yg bebas dari krisis keuangan atau shocks sejak memasuki masa transisi. Beberapa krisis atau shocks dipicu faktor eksternal seperti dampak keruntuhan Uni Sovyet terhadap export Finlandia ke negara tersebut. Namun banyak krisis karena self inflicted ( muncul dari dalam ) seperti excessive expansion of spending and indebtedness ( belanja dan utang yg terlalu ekspansif ) menuju penyesuaian2 ekonomi yg mengangkat growth. Kasus ini dialami Irlandia pada akhir 1980an, Finlandia tahun 1992 dan Korsel paska krisis Asia tahun 1997-98. Spanyol dan Portugal mengalami financial shocks dalam beberapa dekade terakhir, menyebabkan pelemahan pemerintahan untuk mencapai konsensus politik dan sosial agar mampu keluar dari krisis.
terjemahan bebas oleh gandatmadi46@yahoo.com
( to be continued.)