Letjen (purn) Agus Widjojo Letjen TNI (Purn.) Agus Widjojo (lahir di Solo, Jawa Tengah, 8 Juni 1947; umur 70 tahun) sekarang adalah Gubernur Lemhanas setelah dilantik Presiden Jokowi pada 15 April 2015.
Agus merupakan lulusan dari Akademi Militer tahun 1970. Agus adalah putra dari Pahlawan Revolusi, Mayjen (Anumerta) Sutoyo Siswomiharjo yang gugur pada peristiwa G30S/PKI. Pada 1998, Letjen Agus Widjojo dan Letjen Susilo Bambang Yudhoyono adalah jenderal bintang tiga semasa Wiranto waktu itu Panglima TNI, diminta menyiapkan konsep reformasi TNI. Konsep tersebut dinamakan Paradigma Baru TNI.
Dalam peluncuran bukunya tahun 2015 mengenai Transformasi TNI, dia mengemukakan pada pemerintahan saat ini banyak peran di luar profesi kemiliteran yang “dititipkan” untuk dilaksanakan TNI, di antaranya mewujudkan swasembada pangan dan lain-lain. Menurut Widjojo, peran dan tugas utama TNI adalah pertahanan negara dan setelah disadari banyak peran di luar kemiliteran pada saat itu mengganggu kehidupan demokrasi Indonesia maka jangan lagi TNI ditarik ke wilayah itu.
Pemimpin sipil harus lebih percaya diri, jangan goda militer masuk lagi ke wilayah politik, kata Agus Widjojo. Dia tegaskan, kepercayaan diri kalangan elite dan pucuk pimpinan sipil negara ini dapat ditinggikan dengan lebih menumbuhkan kapasitas di antara mereka.
Setelah dilantik sebagai Gubernur Lemhanas, Agus mengatakan, ke depan dia akan membawa Lemhannas lebih sering menyentuh kepada kegiatan masyarakat. Tujuannya agar kehadiran Lemhannas bisa dirasakan langsung oleh masyarakat. “Ke depan saya sudah minta pengarahan dari Bapak Presiden agar Lemhanas tidak hanya dirasakan di dalam ruang-ruang Lemhanas, tetapi juga seluruh kegiatan sehari-hari masyarakat Indonesia pada seluruh wilayah,” ujar Agus usai pelantikan dirinya di Istana Negara. Selain itu, Agus ingin agar Lemhannas bisa menangani hal-hal yang bersifat mendesak. “Tujuannya untuk membantu kebijakan yang diambil pemerintah,” katanya
Agus Widjojo mengatakan 90 persen masyarakat yang tidak menyaring berita yang diterima akan berpotensi menjadi penyebar hoax atau berita bohong1. Penyebar berita bohong dengan niat tidak baik hanya berpengaruh 10 persen, lainnya 90 persen adalah kita yang menyebar berita bohong bila kita percaya dan menganggap bahwa jika sesuatu yang segaris dengan keinginan saya, atau bahwa saya tidak suka dengan sesuatu, itu saya sebarluaskan, kata Agus di Istana Wakil Presiden.
1Ketua Asosiasi Perusahaan Public Relation Indonesia (APPRI) Suharjo Nugroho melihat ada korelasi antara suburnya “hoax” (berita palsu) di Tanah Air dengan rendahnya minat baca masyarakat di Indonesia (hasil studi “Most Litered Nation in the World” yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada Maret 2016 lalu Indonesia menduduki rangking ke 60 dari 61 negara paling rendah minat bacannya).
Menurut Rosita, Ketua Badan Koordinasi Kehumasan Masyarakat (Bakohumas) saat ini banyak info negatif yang tujuannya menimbulkan emosi pada publik. Ada upaya-upaya agar penduduk tidak percaya pada pemimpin.
Agus Widjojo menyatakan setiap masukan untuk kebijakan rekonsiliasi atas tragedi 1965 adalah kewenangan pemerintah untuk kemudian dijadikan landasan merumuskan kebijakannya. Itu terserah pemerintah karena pada akhirnya baik simposium Aryaduta atau simposium ini menuju pada muara yang sama yaitu masukan untuk dijadikan bahan rekomendasi bagi pemerintah untuk merumuskan kebijakannya yang menurut pemerintah terbaik untuk berdamai dengan masa lalu dan berdamai dengan masa depan bangsa yang lebih baik, kata Agus di Balai Kartini, Jakarta, 1 Juni 2016.
Menurut Agus, kendati simposium Aryaduta ataupun simposium anti PKI yang digelar di Balai Kartini kali ini, pada akhirnya menuju pada satu titik yang sama yaitu mencari solusi terbaik bagi proses rekonsiliasi dan masa depan yang lebih baik, tetapi ada beberapa detail penafsiran yang berbeda karena tidak ada komunikasi yang memadai.
Jadi sebetulnya sama titik akhirnya tapi karena kurang komunikasi satu sama lain, ada tafsiran-tafsiran sepihak yang kelihatannya berbeda, mungkin karena alat pendekatannya saja yang lain, Lebih lanjut, Agus menjelaskan rekonsiliasi tidak hanya berarti untuk minta maaf pada korban PKI saja namun merupakan konsep yang luas dengan berbagai elemen yang terkait satu sama lain dan juga jangan dianggap memberi peluang bagi ideologi komunis untuk kembali karena ketentuan perundang-undangan masih tetap berlaku.
Tentara Nasional Indonesia perlu memusatkan perhatian pada tugas pokoknya menjaga pertahanan nasional, sehingga sebagai implikasinya mesti melepaskan tanggung jawab di sektor keamanan dalam negeri, seperti dalam kasus tumpang tindih TNI AL dengan Bakamla. Masih ada salah pengertian bahwa keamanan laut dan keamanan maritim berada di tangan TNI Angkatan Laut. Perlu ditanamkan pengertian, fungsi keamanan maritim merupakan fungsi penegakan hukum di wilayah perairan nasional yang dilaksanakan oleh lembaga penegak hukum sipil, kata Agus.
Dalam wawancara dengan Johanes Herlijanto (JH) yang dimuat Yusof Ishak Instutue Agus Widjojo (AW) mengatakan:
JH: In the book you also wrote that the TNI acted as a stabilizer and dinamisator (dynamics initiator). What does it mean, and how can the TNI retain its role as a stabilizer and dinamisator, when it is under a political or governmental authority?
AW: What I mean with the statement that the TNI acts as a stabilizer and a dinamisator is related to the time when the TNI reform was launched. At the time the dwifungsi (dual function) doctrine was still being implemented, and the TNI acted as a stabilizer and a dinamisator at the operational and tactical levels.
Being a stabilizer meant to maintain security and stability; while being a dinamisator was to empower (memberdayakan) people to carry out development according to the government’s programme. It’s a tactical thing. That’s why I said that within the TNI reform, this was nothing new. The TNI still acts as a stabilizer and dinamisator at the strategic level.
As a stabilizer, the TNI maintains its defense function, including maintaining security and stability. However, as a dinamisator, the TNI consciously withdrew from politics, so that civilians could advance the democratic order.
The withdrawal became a catalyst (berpengaruh tetapi tidak ikut berproses) for civilians to enter the transition to democracy. It is possible that if there had been no TNI, they would not have entered into the transition to democracy. Or, if the military had intervened as in Egypt, it [the transition to democracy] would not necessarily have run smoothly.
JH: How does the TNI relate to the civil authorities? In particular, how do you characterise the relationship between the TNI and the Jokowi administration?
AW: First, let me explain the TNI’s relationship with civil authorities. In a democracy, power is held by civilian officers or elected public officials. Why? [Because] they are elected by the people, [and as such], they hold the people’s mandate. They can make political decisions because they have the mandate from the people as a form of people’s sovereignty.
What does this mean? No matter how valiant the TNI commander is… whether he wears green, red, purple, or orange beret… he never holds a political mandate, because he is not elected by the people. He is the instrument of the president. So as an analogy, we can consider the TNI chief as a chauffeur. Although he holds the weapon –and the weapon is more often held by the commander of the TNI – the instrument is actually still the instrument of the president. Likewise, although the chauffeur more often holds the steering wheel of the car, we should remember that the car is owned by the employer. So, the chauffeur who drives the car only drives the car under the orders of the employer.
That’s basically how the military commander should be positioned in relation to the president. So, in a democracy, power lies in the hands of public officials elected by the people. Actually, the civilian authority is said to have supremacy over the military authority, because it can deploy the TNI. The TNI cannot give orders to the president.
But the concept of civil supremacy should not be understood as the civilian shaving control over the army. Because this [civil supremacy]is only about the way authority flows through the public policy – making pipeline regarding defense – that policy comes from those who have political authority, and is carried out functionally by the main operational actor, the TNI.
So, any goal in the TNI’s duties always contains political objectives, and this is in accordance with the law regarding the tasks performed by the military everywhere. TNI’s goals always contain political aspects, and are within the framework of political objectives.
JH: If so, how should the TNI deal with ideological positions that are outside of Pancasila?
AW: They should not participate in politics. That’s the responsibility of the government. They should continue the reform process to transform the TNI into a professional military institution under the principle of democracy, primarily under civil supremacy.
Pendidikan
- Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI) (1970)
- Master of Military Arts and Science (MMAS) US Army Command and General Staff College Fort Leavenworth, USA (1988).
- Master of Science in National Security (MScNS), National Defense University, Fort Myers, Washington DC, USA (1994)
- Master of Public Administration (MPA), George Washington University, Washington DC, USA (1994)
Karir Militer
- Komandan Sekolah Staf dan Komando TNI
- Kepala Staf Teritorial TNI
- Asisten Perencanaan Umum Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad)
- Kepala Staf Daerah Militer II/Sriwijaya
- Asisten Operasi Kepala Staf Daerah Militer III/ Siliwangi
- Komandan Brigade Infanteri Lintas Udara 17 (Kujang 1), Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad)
Tugas Internasional
- Peacekeeping Operation, International Comission of Control and Supervision in Vietnam (1973)
- Peacekeeping Operation, United Nations Emergency Force Sinai (1975-1976)
diposting oleh gandatmadi46@yahoo.com