Indikator Politik Indonesia memperkirakan hampir 60% pemilih yang memenuhi syarat pada tahun 2024 akan berusia di bawah 40 tahun. Itu peningkatan besar dari 40% pada pemilu 2019.
Sebuah survei tgl 15 Juli 2021 terhadap 1.200 anak muda berusia 17-21 di seluruh negeri yang dirilis Maret 2021 lalu oleh Indikator Politik Indonesia sejumlah pemimpin politik muncul sebagai calon presiden terdepan. Mereka antara lain Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, dan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil.
Di antara nama-nama yang memimpin pemilihan calon presiden adalah kepala daerah seperti Anies Baswedan (15,2%) dan Ganjar Pranowo (13,7%), Ridwan Kamil 10,2%. Di sisi lain, meski partainya menduduki puncak survei, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto—yang gagal mencalonkan diri sebagai presiden dalam dua pemilu terakhir—mengikuti posisi kelima dengan 9,5%.
Berbeda dengan negara-negara seperti Amerika Serikat (AS), sistem dan budaya politik Indonesia lebih menekankan pada tokoh dan pemimpin daripada loyalitas kepada partai politik tertentu. Berikut pilihan anak2 muda Indonesia ttg Parpol:
Partai oposisi Gerindra dan Partai Demokrasi Perjuangan (PDI-P) yang berkuasa memimpin daftar partai politik dengan selisih yang cukup lebar sbb: Gerindra 16%, PDIP 14,2%, Golkar 5,7%, PKS 5,7%, Demokrat 5,3%, Nasdem 2,8%, PKB 2,7%.
Di negara-negara yang mengalami proses demokratisasi pada 1980-an dan 1990-an seperti Indonesia, Thailand atau Filipina, mereka sering dianggap sebagai ‘mata rantai terlemah’ (Carothers 2006) dan secara rutin menjadi sasaran kritik pedas
Pada saat yang sama, mereka telah menjadi pusat tren yang berkembang dari rekayasa politik yang disengaja di kawasan karena pemerintah telah berusaha untuk menciptakan partai-partai yang lebih kohesif dan membatasi fragmentasi sistem kepartaian untuk meningkatkan stabilitas dan akuntabilitas politik secara keseluruhan (Reilly 2006).
Comparative scholarship suggests that democracy in ethnically-diverse societies is likely to be fostered by the development of broad-based, aggregative, and multi-ethnic political parties, rather than fragmented, personalised, or ethnically-based party systems. However, surprisingly little scholarly attention has been given to how party fragmentation can be addressed or how broad-based parties can be sustained, despite some remarkable recent experiments in conflict-prone societies such as Indonesia, Turkey, Nigeria, Kenya, Thailand, the Philippines, Bosnia, Kosovo, and Papua New Guinea aimed at influencing party system development.
Note: Indikator Politik Indoesia sebagai Eksekutif sejak 2013, Burhanuddin Muhtadi, M.A., Ph.D lahir di Rembang th 1977. Bachelor of Islamic Theology and Philosophy, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (2002), Master of Arts in Asian Studies di ANU (Australian National University) 2009, Ph.D di ANU (Australian National University), bidang ilmu politik, 2018
dari beberapa sumber informasi gandatmadi46@yahoo.com