Krisis Keuangan Internasional 2008 & Bailout Bank Century

Memahami dengan baik dari informasi berbasis fakta membantu memahami krisis ekonomi yang terjadi di masa kini dan mendatang. Sejarah mencatat telah mengalami sejumlah krisis al The Great Depression 1929-1939, Krisis Ekonomi Asia 1997/1998, Krisis ekonomi global 2008, Krisis ekonomi  tahun 2013, Trade War tahun 2018, Krisis Ekonomi global akibat pandemi covid 19 dari Maret 2020 sampai sekarang.  

Latar Belakang

Laporan BI (15/4/2009) menjelaskan, pada 9 Agustus 2007, BNP Paribas Prancis telah menyatakan ketidaksanggupannya untuk mencairkan sekuritas yang terkait dengan subprime mortgage dari AS. Pernyataan BNP Paribas tersebut merupakan bibit-bibit terjadinya krisis yang selanjutnya meluar dan menjadi krisis likuiditas terburuk di berbagai belahan dunia.

Subprime mortgage merupakan istilah untuk kredit perumahan (mortgage) yang diberikan kepada debitor dengan sejarah kredit yang buruk atau belum memiliki sejarah kredit sama sekali, sehingga digolongkan sebagai kredit yang berisiko tinggi. Penyaluran subprime mortgage di AS mengalami peningkatan pesat yakni sebesar US$ 200 miliar pada 2002 menjadi US$ 500 miliar pada 2005.

Meskipun subprime mortgage inilah yang menjadi awal terciptanya krisis, namun sebenarnya jumlahnya relatif kecil dibandingkan keseluruhan kerugian yang pada akhirnya dialami oleh perekonomian secara keseluruhan. Kerugian besar yang terjadi sebenarnya bersumber dari praktik pengemasan subprime mortgage tersebut ke dalam berbagai bentuk sekuritas lain, yang kemudian diperdagangkan di pasar finansial global

Pada tahap pertama, sekuritisasi dilaksanakan terhadap sejumlah subprime mortgage sehingga menjadi sekuritas yang disebut mortgage-backed securities (MBS). Dalam sistem keuangan modern, praktik sekuritisasi MBS ini merupakan suatu hal yang telah lazim, dan bahkan pada tahun 2006 jumlah kredit perumahan di AS (mortgage) yang disekuritisasi menjadi MBS telah mencapai hampir 60% dari seluruh outstanding kredit perumahan.

Proses sekuritisasi ini melibatkan pihak ketiga baik institusi pemerintah (antara lain lembaga Fannie Mae dan Freddie Mac) maupun swasta. Dalam proses sekuritisasi ini, pihak ketiga seringkali melakukan pengemasan dengan melakukan penggabungan sejumlah mortgage, yang selanjutnya dijual kepada investor yang berminat. Untuk menanggulangi risiko gagal bayar (default), maka pihak ketiga ini sekaligus bertindak sebagai penjamin.

Praktik sekuritisasi mortgage ini ternyata tidak berhenti sampai di sini. Melalui rekayasa keuangan (financial engineering) yang kompleks, MBS kemudian diresekuritisasi lagi menjadi jenis sekuritas yang dikenal sebagai Collateralised Debt Obligations (CDOs). Sejalan dengan jumlah MBS yang terus meningkat, persentase jumlah MBS yang diresekuritisasi menjadi CDOs juga mengalami peningkatan pesat. Dalam skala global, total penerbitan CDOs pada 2006 telah melebihi US$ 500 milar, dengan separuhnya didominasi oleh CDOs yang bersumber dari MBS.

Meskipun subprime mortgage inilah yang menjadi awal terciptanya krisis, namun sebenarnya jumlahnya relatif kecil dibandingkan keseluruhan kerugian yang pada akhirnya dialami oleh perekonomian secara keseluruhan. Kerugian besar yang terjadi sebenarnya bersumber dari praktik pengemasan subprime mortgage tersebut ke dalam berbagai bentuk sekuritas lain, yang kemudian diperdagangkan di pasar finansial global

Pada tahap pertama, sekuritisasi dilaksanakan terhadap sejumlah subprime mortgage sehingga menjadi sekuritas yang disebut mortgage-backed securities (MBS). Dalam sistem keuangan modern, praktik sekuritisasi MBS ini merupakan suatu hal yang telah lazim, dan bahkan pada tahun 2006 jumlah kredit perumahan di AS (mortgage) yang disekuritisasi menjadi MBS telah mencapai hampir 60% dari seluruh outstanding kredit perumahan.

Proses sekuritisasi ini melibatkan pihak ketiga baik institusi pemerintah (antara lain lembaga Fannie Mae dan Freddie Mac) maupun swasta. Dalam proses sekuritisasi ini, pihak ketiga seringkali melakukan pengemasan dengan melakukan penggabungan sejumlah mortgage, yang selanjutnya dijual kepada investor yang berminat. Untuk menanggulangi risiko gagal bayar (default), maka pihak ketiga ini sekaligus bertindak sebagai penjamin.

Praktik sekuritisasi mortgage ini ternyata tidak berhenti sampai di sini. Melalui rekayasa keuangan (financial engineering) yang kompleks, MBS kemudian diresekuritisasi lagi menjadi jenis sekuritas yang dikenal sebagai Collateralised Debt Obligations (CDOs). Sejalan dengan jumlah MBS yang terus meningkat, persentase jumlah MBS yang diresekuritisasi menjadi CDOs juga mengalami peningkatan pesat. Dalam skala global, total penerbitan CDOs pada 2006 telah melebihi US$ 500 milar, dengan separuhnya didominasi oleh CDOs yang bersumber dari MBS.

Pada tahun 2004 total penerbitan CDOs global baru berada pada level sekitar US$ 150 miliar. Selain dalam bentuk CDOs, MBS juga diresekuritisasi dalam beberapa bentuk sekuritas lain yang sudah sulit dilacak bentuk maupun jumlahnya, di antaranya sekuritas SIV (Structured Investment Vehicles). Maraknya perdagangan CDOs di pasar global juga dipengaruhi hasil rating yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga pemeringkat internasional, yang cenderung underpricing terhadap risiko dari produk-produk derivatif di atas.

Dipicu oleh perubahan arah kebijakan moneter AS yang mulai berubah menjadi ketat memasuki pertengahan 2004, tren peningkatan suku bunga mulai terjadi dan terus berlangsung sampai dengan 2006. Kondisi ini pada akhirnya memberi pukulan berat pada pasar perumahan AS, yang ditandai dengan banyaknya debitur yang mengalami gagal bayar.

Gelombang gagal bayar yang terjadi bersamaan dengan jatuhnya harga rumah di AS, akhirnya menyeret semua investor maupun lembaga yang terlibat dalam penjaminan ke dalam persoalan likuiditas yang sangat besar. Salah satu yang terkena dampak buruk dan harus bangkrut diantaranya adalah Lehman Brothers. Raksasa-raksasa finansial tak ada satupun yang bisa lari dari dampak buruk krisis ini.

Krisis finansial global telah menjalar ke hampir semua sektor keuangan. Hampir tidak ada satu negara pun yang tidak terimbas dampak gelombang krisis. Masing-masing negara berlomba-lomba mengumumkan penjaminan penuh (full guarantee) terhadap simpanan nasabah di bank-bank. Lehman Brothers, AIG, dan raksasa-raksasa finansial dunia lainnya berjatuhan.

Musim gugur bank-bank terjadi di hampir semua negara maju. Likuiditas global mengering. Kejatuhan pasar saham tak terbendung. Dana talangan yang jumlahnya miliaran dolar pada akhirnya digelontorkan oleh banyak pemerintahan negara-negara untuk meng-counter dampak yang ditimbulkan oleh krisis.

Di tengah situasi global yang serba tidak pasti pemerintah dan BI dikejutkan oleh laporan yang menyatakan bahwa salah satu bank swasta (Bank Century) memiliki rasio kecukupan modal (CAR) minus. Kemudian disusul informasi yang beredar bahwa bank tersebut mengalami gagal kliring. 

A.Kronologi menuju penyelamatan

Tahun 2007:

Agustus:  BNP Paribas tidak sanggup mencairkan sekuritas yang terkait dengan subprime mortgage di AS. The Fed dan ECB memompa likuditas ke pasar masing-masing US$ 24 miliar dan hampir 95 miliar euro. The Fed menurunkan suku bunga menjadi 4,75%.

Oktober: Kerugian besar dialami bank maupun lembaga keuangan seperti UBS Bank (Swiss), Citibank, dan Merryl Lynch. Bank of England (BOE) melakukan injeksi likuiditas sebesar 10 miliar poundsterling akibat penarikan uang besar-besaran (bank run). The Fed kembali menurunkan suku bunga 25 bps menjadi 4,5%.

Desember: The Fed mengambil langkah memompa likuiditas melalui kerjasama dengan lima bank sentral lain, yaitu Bank of Canada, BOE, Bank of Japan, ECB, dan Swiss National Bank. The Fed memangkas suku bunga 25 bps menjadi 4,25%.

Tahun 2008:

Januari-Maret: Pasar saham global berjatuhan, terendah sejak September 2001. The Fed kembali memangkas suku bunganya dalam 3 bulan sebanyak 200 bps menjadi 2,25% dan terus melakukan injeksi likuiditas. Bear Stearns, salah satu dari lima bank investasi terbesar di AS, terpaksa diakuisisi oleh rivalnya JP Morgan Chase, menyusul kerugian besar yang diderita.

September: Pemerintah AS memutuskan untuk menyelamatkan Fannie Mae dan Freddie Mac, yang menjadi progam bailout terbesar dalam sejarah AS selama ini. Lehman Brothers dinyatakan bangkrut, menjadikannya sebagai bank investasi besar pertama yang benar-benar mengalami kolaps sejak terjadinya krisis. American International Group (AIG), perusahaan asuransi terbesar di AS, juga diambang kebrangkutan. The Fed memutuskan untuk memberikan bailout sebesar US$ 85 miliar. Dampak krisis keuangan telah semakin berimbas ke sektor riil, seperti tercermin dari turunnya angka penjualan eceran dan meningkatnya pengangguran di AS dan berbagai negara Eropa.

Oktober: Intensitas krisis ke seluruh dunia semakin meningkat, dipicu oleh kebangkrutan Lehman Brothers. Flight to quality memicu outflows yang menyebabkan melemahnya nilai tukar. Pemerintah AS akhirnya mengumumkan paket penyelamatan sektor finansial sebesar US$ 700 miliar, Inggris mengumumkan paket penyelamatan perbankan sedikitnya sebesar 50 miliar poundsterling. Jerman menyediakan bantuan sebesar 50 miliar poundsterling untuk menyelamatkan Hypo Real Estate Bank. Tindakan tersebut juga ditambah aksi bersama penurunan suku bunga sebesar 0,5% dengan lima bank sentral lain yaitu ECB, BoE, Bank of Canada, Swedia, dan Swiss.

November-Desember: Tiga negara yaitu Ukraina, Pakistan, dan Eslandia menerima bantuan finansial dari IMF, disusul oleh Hongaria dan Belarusia. AS secara resmi dinyatakan berada dalam kondisi resesi oleh Economic Research National Bureau of (NBER). The Fed terus menurunkan suku bunga hingga mencapai level 0,25%, yang merupakan level terendah dalam sejarah.

Tahun 2009:

Januari-Februari: Angka pengangguran di AS pada bulan Desember 2008 tercatat sebesar 7,2%, yang merupakan angka tertinggi dalam 16 tahun terakhir. Ekspor Cina dilaporkan mengalami penurunan terbesar dalam satu dekade terakhir. Inggris secara resmi dinyatakan berada dalam kondisi resesi.

Senat AS akhirnya menyetujui paket penyelamatan ekonomi senilai US$ 838 miliar. Pada bulan yang sama, US Treasury mengumumkan paket penyelamatan bank senilai US$ 1,5 triliun.

B.Kronologi menuju penyelamatan ekonomi Indonesia

Meski pemerintah Indonesia menyatakan fundamental ekonomi kita cukup tangguh untuk menahan goncangan krisis, beberapa indikator di sektor keuangan menunjukkan tanda-tanda mengkhawatirkan. Ini terlihat dari peningkatan signifikan angka Indeks Stabilitas Keuangan atau Financial Stability Index (FSI) yang melampaui batas indikatif maksimum sebesar 2 menjadi 2,43 pada November 2008.

Ekses likuiditas mencapai titik terendah akibat pencairan secondary reserves oleh perbankan untuk mendanai kredit. Ini jelas terlihat pada penurunan simpanan perbankan dalam bentuk SBI (Sertifikat Bank Indonesia). Secondary reserves terpaksa dijadikan pendanaan alternatif bagi kredit perbankan oleh sebab bank kesulitan menghimpun Dana Pihak Ketiga (DPK) sebagai imbas krisis finansial global.

Rasio alat likuid terhadap Non Core Deposits (NCD) mengalami tekanan serupa hingga mencapai angka terendah 84,9% (di bawah 100%) yang berarti ketahanan likuiditas perbankan diragukan. Selain itu pertumbuhan DPK yang lebih rendah dari pertumbuhan kredit mendorong peningkatan Loan to Deposits Ratio (LDR) hingga 77,2% pada Desember 2008.

Untuk mengetahui dampak merambat (contagion effect) kegagalan suatu bank terhadap bank lainnya telah dilakukan interbank stress test oleh BI terhadap sejumlah bank. Hasilnya menunjukkan bahwa jika 11 bank pemicu gagal (single failure) terdapat 14 bank yang berpotensi permodalannya tertekan. Sementara dampak lanjutannya (second round effects) berpotensi membuat 24 bank lainnya (multiple failure) juga menghadapi tekanan permodalan.

Potensi krisis juga terlihat pada penurunan yang sangat signifikan volume perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia hingga lebih dari 50%. Kondisi ini menandakan kepanikan para investor portofolio asing yang menarik dananya dalam skala besar untuk mencukupi kebutuhan likuiditas di negaranya.

Pasar Surat Utang Negara (SUN) tidak luput dari terjangan krisis. Harga SUN mengalami koreksi yang diikuti kenaikan yield SUN rata-rata 10%. Padahal kenaikan 1% saja dari yield SUN akan membebani APBN sebesar 1,4 triliun. Rupiah mengalami depresiasi hingga 30%, melewati batas psikologisnya di angka Rp 12,000. Penarikan dana oleh asing yang diikuti penurunan nilai tukar rupiah terhadap dollar menguras cadangan devisa Indonesia hingga US 7,81 miliar. KSSK yang terdiri dari unsur pemerintah (Depkeu), BI, dan LPS langsung merespon dengan menggelar rapat tertutup pada hari Jumat, 21 November 2008. Rapat yang membahas persoalan bank tersebut dilaksanakan selama hampir 5 jam pada tengah malam dari pukul 00.11 hingga pukul 05.00 pagi. Dalam rapat inilah penetapan Bank Century sebagai ‘Bank Gagal Berdampak Sistemik’ diputuskan.

Keputusan ini disampaikan langsung oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati selaku ketua KSSK. Di dalam notulen rapat penyelamatan Century yang bocor ke publik diterangkan penilaian dari masing-masing anggota rapat. Hampir sebagian besar anggota rapat mengkhawatirkan dampak psikologis pasar terhadap kegagalan Bank Century. Situasi yang dihadapi pada kenyataannya sangat khusus. Disebutkan juga dalam notulen tersebut bahwa dalam keadaan normal Bank Century tidak sistemik.

Reputasi dan kredibilitas pemilik Bank Century yang yang buruk menyulitkan KSSK menjelaskan ke publik latar belakang dilakukannya bailout. KSSK mencoba memaparkan bahwa bailout dilakukan semata-mata untuk menyelamatkan sistem keuangan (perbankan) dari risiko terjadinya rush. Bukan untuk mengganti kerugian yang disebabkan oleh tindakan kriminal pemilik bank. Oleh sebab itu perlu dibedakan antara penanganan kasus kecurangan dan upaya penyelamatan sistem.

Upaya menyelamatkan sistem keuangan tidak melihat latar belakang manajemen suatu bank. Apakah ia baik atau buruk. Jika suatu bank collapse di tengah situasi genting (krisis) di mana irasionalitas proses pengambilan keputusan mendominasi pasar, potensi market panic menjadi jauh lebih besar.

Kepercayaan nasabah dapat menguap dan ini akan diikuti pemindahan dana secara besar-besaran (flight to quality). Bank menjadi kehilangan sumber pendanaan. Bahkan, dapat menyebabkan kebangkrutan massal. Proses intermediasi perbankan menjadi tidak berjalan. Kinerja sektor riil terganggu yang kemudian diikuti perlambatan pertumbuhan ekonomi yang bisa berujung pada resesi ekonomi.

Di sinilah letak persoalannya. Sebagai masyarakat awam kita mungkin tidak paham dan tidak mengerti. Tetapi, peristiwa ini merupakan fakta sejarah yang pernah dan mungkin dapat terjadi kembali. Pengalaman dari banyak negara menunjukkan hal serupa.

Psikologi dan kecenderungan pasar sangat tidak mudah ditebak. Dalam situasi tertentu mereka dapat menjadi sangat reaktif dan irasional. Di sisi lain mereka dapat menjadi sangat bersahabat. Di sinilah peran para pengambil kebijakan menjadi penting. Keberhasilan mereka akan terlihat dari sejauh mana mereka mampu menjaga dan memelihara sistem dari guncangan-guncangan yang dapat mengganggu dan mengancam stabilitasnya.

Sumber Info: detikFinance-15Apr 2009 dan detikNews-01 Des 2009

gandatmadi46@yahoo.com

Post navigation

Leave a Reply

Your email address will not be published.