Indonesia terlepas dari Global Financial Crisis 2007 – 2008

Peraih hadiah Nobel bidang ekonomi 2001, Joseph Stiglitz mengatakan bahwa Global Financial Crisis 2008 adalah peristiwa ekonomi global paling traumatis dalam tiga perempat abad. Mengikuti serangkaian krisis yang dialami di seluruh dunia, termasuk krisis Asia Timur, krisis Meksiko, krisis Rusia, dan krisis Amerika Latin. Krisis tampaknya menjadi bagian dari kapitalisme modern. Sederhananya: jelas bahwa sistem kapitalis pasca-Perang Dunia II tidak efisien dan tidak stabil—dan semakin jelas bahwa sistem itu juga tidak adil, ditandai dengan meningkatnya ketidaksetaraan.

Kian Wie Thee dari LIPI didalam artikel berjudul The Asian Financial Crisis and the Global Financial Crisis, ditulis tahun 2012 :

Sementara pada awal tahun 2008 ekonomi Asia Timur, termasuk Indonesia, sedang menghadapi kenaikan inflasi yang disebabkan oleh lonjakan harga pangan dan bahan bakar, setelah runtuhnya Lehman Brothers di AS pada tanggal 15 September 2008 mereka semua dihadapkan pada percepatan di sektor keuangan – turbulensi yang dimulai pada pertengahan tahun 2007. Runtuhnya Lehman Brothers memicu aksi jual besar-besaran di bursa saham dan pasar valuta asing (mencerminkan pelarian ke tempat yang aman), termasuk di Indonesia.

Untungnya, Indonesia, seperti negara-negara Asia Timur berpenghasilan menengah lainnya, Malaysia, Thailand, dan Filipina bertahan dari gejolak keuangan dengan baik karena mereka lebih siap menghadapi kejutan ini setelah krisis keuangan Asia 1997/98. Selama dekade terakhir negara-negara ini, termasuk Indonesia, memperkuat keseimbangan eksternal mereka, meningkatkan cadangan devisa mereka, mengurangi utang pemerintah untuk memastikan kesinambungan fiskal, dan meningkatkan pengawasan perbankan (Bank Dunia, 2009a: 6).

Pada triwulan IV tahun 2008 gangguan ekonomi global melanda Indonesia melalui jalur perdagangan karena industri berorientasi ekspor mengalami kontraksi tajam yang berdampak buruk pada penyerapan tenaga kerja. Pertumbuhan ekspor nonmigas yang kuat tiba-tiba berakhir pada triwulan IV (Oktober–Desember) 2008, demikian pula impor. Penurunan ekspor, terutama ekspor nonmigas, paling terlihat pada ekspor Indonesia ke China yang mencatat kontraksi terbesar, yakni — 22,1 persen. Ekspor ke Jepang, AS, Uni Eropa, dan negara ASEAN lainnya juga menurun (Patunru & Zetha, 2009: 3). Karena ekspor Indonesia masih didominasi oleh komoditas primer, maka sektor pertanian juga terkena imbasnya (Patunru & Zetha, 2009:18).

Namun, secara umum Indonesia sejauh ini hanya mengalami dampak yang relatif ringan dari krisis keuangan global (GFC). Bersama China dan India, Indonesia merupakan satu-satunya dari tiga negara Asia yang mencatat pertumbuhan positif. Ekonominya tumbuh sebesar 4 persen pada tahun ini hingga Juni 2009, menunjukkan respons yang lebih tangguh daripada beberapa negara tetangganya (Resosudarmo & Yusuf, 2009: 287). Meskipun ada sedikit penurunan pertumbuhan ekonomi dibandingkan tujuh tahun sebelumnya, penurunan ini lebih rendah dari rata-rata global (Hill, 2009: 5) dan negara-negara tetangga Indonesia, termasuk Malaysia, Singapura dan Thailand yang jauh lebih berorientasi ekspor. dibandingkan Indonesia, karena rasio ekspor Indonesia terhadap PDB hanya 17 persen (Resosudarmo & Yusuf, 2009: 289).

By Milan Zavadjil, IMF Asia and Pacific Department – October 10, 2007

IMF Survey: Indonesia Sustaining the Recovery

Pertumbuhan PDB berjalan sekitar 6 persen dan dapat meningkat lebih lanjut di periode mendatang, meskipun jelas ada ketidakpastian yang meningkat menyusul gejolak pasar keuangan global baru-baru ini. Sementara pertumbuhan berbasis luas, ekspor yang kuat yang dipimpin oleh lonjakan harga komoditas telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap kinerja yang baik.

Ekonomi Indonesia telah membuat kemajuan yang mengesankan dalam beberapa tahun terakhir dan sekarang dalam kondisi terbaiknya sejak krisis Asia menghancurkan negara itu pada tahun 1997-98.

Namun, kemiskinan dan pengangguran tetap tinggi. Pertumbuhan tinggi yang berkelanjutan akan diperlukan untuk mewujudkan perbaikan nyata dalam kondisi sosial. Dengan kebijakan yang tepat, ini harus dapat dicapai. Kebijakan yang sesuai akan mencakup kebijakan ekonomi makro yang berorientasi pada stabilitas untuk mengurangi volatilitas, serta langkah-langkah untuk meningkatkan investasi publik dan swasta.

Surplus transaksi berjalan meningkat menjadi sekitar 2½ persen dari PDB pada tahun 2006, mendukung penurunan utang luar negeri dan penumpukan cadangan. Posisi eksternal yang kuat juga memungkinkan Indonesia untuk membayar semua kewajiban yang tersisa kepada IMF lebih cepat dari jadwal – thn 2006 sudah lunas.

Note:

Untuk mengatasi krisis finansial 1998, pemerintah Indonesia meminjam ke International Monetary Fund (IMF). Dari komitmen pinjaman senilai 17,36 miliar Special Drawing Rights (SDR), pemerintah hanya mencairkan 11,1 miliar SDR setara US$ 14,9 miliar atau sekitar Rp 93 triliun.

Indonesia menerima kucuran pinjaman pertama kali pada 10 November 1997 senilai 2,2 miliar SDR atau sekitar US$ 3 miliar. Sedangkan pencairan terakhir pada 2003 sebesar 1,38 miliar SDR yang berlangsung dalam empat tahap masing-masing sebesar 344,06 juta SDR.

Pemerintah melakukan pembayaran pokok utang senilai US$ 11,1 miliar sepanjang 2001-2006. Adapun pembayaran terakhir dilakukan pada 12 Oktober 2006 senilai 2,15 miliar SDR. Setelah pembayaran tersebut, maka utang Indonesia ke IMF lunas. Sedangkan untuk pembayaran beban dan bunga pinjaman berlangsung sejak 1998-2006 senilai 2,1 miliar SDR dengan pembayaran terakhir dilakukan pada September 2006. Jadi, total pembayaran utang Indonesia ke IMF, baik pokok dan bunga mencapai 13,21 miliar SDR.

posting oleh gandatmadi46@yahoo.com

Post navigation

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *