Jangan Kriminalisasikan Kebijakan Bailout Century

7/2014 – Todung Mulya Lubis dkk memberikan pandangan dalam sidang pengadilan kasus Bailout Bank Century. Kriminalisasi kebijakan Century akan memberikan dampak sangat serius bagi perekonomian negara. Kekhawatiran mereka muncul karena dalam perkembangan kasus Bank Century atas terdakwa Budi Mulya tidak lagi sekadar mencari kebenaran terkait tuduhan korupsi oleh terdakwa, tetapi lebih menyoroti pada kebijakan publik mengenai penyelamatan Bank Century.

Status Todung Mulya Lubis dkk adalah sebagai Amicus Curiae. Todung menjelaskan akibat serius dari kriminalisasi kebijakan bailout Century akan berefek pada keputusan untuk menyelamatkan aset-aset negara di negara lain. Pasalnya, apabila pengadilan memutuskan tidak ada krisis ekonomi saat itu sehingga tidak perlu bailout, kebijakan untuk melakukan tidak dapat dilakukan karena negara-negara yang bersangkutan dapat menjadikan putusan pengadilan itu sebagai alasan menolak recovery.

Selain itu, para pejabat publik akan ketakutan saat akan mengambil keputusan.  Para pejabat publik yang berwenang tidak akan lagi berani mengambil keputusan demi menyelamatkan negara. Padahal, saat itu, sebuah kebijakan harus diambil demi kepentingan bangsa. Todung juga mengingatkan untuk tidak menilai suatu keputusan saat kebijakan itu telah dibuat. Lebih lagi jika keputusan itu diambil dalam suasana krisis.

Amicus Curiae

Amicus Curiae atau Friends of the Court atau Teman Pengadilan Amicus curiae  adalah seorang atau beberapa orang, yang bukan merupakan pihak dalam suatu kasus dan mungkin atau mungkin tidak diminta oleh suatu pihak dan yang membantu pengadilan dengan menawarkan informasi, keahlian, atau wawasan yang memiliki kaitan dengan isu-isu dalam kasus tersebut; dan biasanya disajikan dalam bentuk singkat. Pengadilan bebas memutuskan apakah mereka akan mempertimbangkan suatu amicus brief atau tidak.

“Amicus curiae memang bukan mekanisme formal dalam badan peradilan Indonesia, tetapi dia mendorong pihak peradilan dalam tatanan kebutuhan sosial dan kebutuhan sosial ini perlu dimiliki oleh peradilan,” kata Miko Susanto Ginting dalam Diskusi Webinar Hukumonline bertajuk “Masa Depan Amicus Curiae dalam Sistem Hukum di Indonesia”, Kamis (9/4/2020).

“Dalam konteks peradilan, amicus curiae dapat menjadi penyeimbang posisi para pihak (equality of arms) termasuk kepentingan publik dan mendorong kualitas putusan pengadilan terutama dukungan informasi empiris. Ini perlu didukung oleh sistem yurisprudensi yang kuat agar menjadi presedent, namun sayang saat ini belum ada yurisprudensi yang pertimbangan hakimnya menggunakan masukan dari amicus curiae,” kata Miko.

Dalam KUHAP terdapat ketentuan yang menyebutkan “Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat minta keterangan ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan.”  

Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung, Abdullah mengatakan sejauh ini amicus curiae belum pernah dibahas dalam rapat pleno kamar MA. Tentu, MA menyambut baik terkait perkembangan hukum baik di nasional maupun internasional terkait amicus curiae ini. Tetapi, perlu diingat bahwa MA terikat pada UU Kekuasaan Kehakiman.

Amicus Curiae dalam prakteknya juga telah diakui dan diterapkan dalam masyarakat hukum Indonesia, diantaranya dalam Perkara Peninjauan Kembali MA antara tahun 1999; Peninjauan Kembali MA antara Erwin Ananda melawan Negara Republik Indonesia (Kasus Playboy) tahun 2011; perkara di PN Tangerang antara Prita Mulyasari melawan Negara Republik Indonesia (Kasus Prita) tahun 2009; perkara di PN Makassar antara Upi Asmaradhana melawan Negara Republik Indonesia tahun 2009.

Kendati demikian, Todung tidak pula mengharamkan untuk memeriksa perkara bailout century ini. Todung dan “sahabat pengadilan” lainnya justru mendukung upaya pemberantasan korupsi. Siapapun pengambil kebijakan yang terbukti benar-benar koruptif, patut dihukum. Hanya saja, Todung dan kawan-kawan berharap pengadilan mampu memilih dengan cermat mana tindakan koruptif dan mana yang tidak.

Todung pun menyebutkan tiga kategori suatu kebijakan tidak dapat dipidana, yaitu tidak ada niat jahat, tidak ada kecerobohan, dan tidak menguntungkan diri sendiri dalam mengambil kebijakan tersebut. Apabila keputusan itu diambil dengan niat jahat dan merugikan keuangan negara, pejabat tersebut patut diproses secara pidana.

“Kalau tidak ada niat jahat tapi merugikan keuangan negara itu juga tidak bisa dipidana,” pungkasnya.

‘Sahabat pengadilan’ lainnya Sarwono Kusumaatmadja mengaku prihatin dengan kasus ini. Mantan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi ini menilai bahwa kasus tersebut adalah contoh dimana sebuah kebijakan diadili. “Saya prihatin aja karena terlalu banyak kasus dimana kebijakan itu diadili. Ini salah satu kasus yang paling menyolok,” tuturnya dalam kesempatan yang sama.

Ia menjelaskan kebijakan bailout itu diambil setelah pejabat memiliki pertimbangan-pertimbangan tertentu dan pejabat yang menangani krisis itu memerlukan keputusan yang cepat yang untuk menyelamatkan aset negara. Ia juga melihat banyak orang yang baru menilai suatu kebijakan setelah kebijakan itu dibuat dan dilaksanakan. Apa yang terjadi di 2008 baru dipikirkan dengan situasi saat ini. Menurutnya, itu merupakan pemikiran yang salah. “Jadi, kami ingin hal semacam ini diakhiri agar para pejabat itu memiliki keteguhan hati untuk melakukan hal-hal yang dianggap benar,” tandasnya.

Sarwono dkkTodung Mulya Lubis, Denny Indrayana, Sarwono Kusumaatmadja

Beberapa tokoh yang bergabung dalam Amicus Curiae Tolak Kriminalisasi Kebijakan Century ini adalah Salahuddin Wahid; Franz Magnis Suseno; Abdillah Toha; Ahmadi Hadibroto; Arianto A Patunru; Ari A Perdana; Arifin Panigoro; Albert Hasibuan; Bambang Kesowo; Betti S Alisjahbana; Darmin Nasution; Denny Indrayana; Eddy OS Hiariej.

Sahabat lainnya adalah Emil Salim; Firmanzah; Goenawan Mohammad; Hamid Chalid; Hikmahanto Juwana; Kemal Stamboel; Laode M Syarif; Mas Achmad Daniri; Manggi Taruna Habir; Mardjono Reksodiputro; Mohamad Ikhsan; Natalia Soebagjo, dan Nindyo Pramono. Nono Anwar Makarim; Paripurna P Sugarda; Pratikno; Sarwono Kusumaatmadja; Sofian Effendi; Sofyan Djalil; Teuku Radja Sjahnan; Todung Mulya Lubis, dan Wihana Kirana Jaya turut menambah daftar ini.

 

 

 

Post navigation

Leave a Reply

Your email address will not be published.