KARAKTER TAK TERLUPAKAN: SOEKARNO PEMIMPI, PENGGAGAS DAN PELAKSANA (2)
oleh:
Bambang Hidayat, Observatorium Bosscha ITB dan Jurusan Astronomi ITB, Bandung
Sayang bahwa setelah tahun 1965 archivalia mengenai Soekarno sangat langka ditemui dalam perbendaharaan perpustakaan di Indonesia. Menurut Giebels (2000), banyak memorabilia, catatan Soekarno (termasuk S.P. 11 Maret 1966 yang asli) tidak terbuka untuk umum karena terselubung bungkus kategori “rahasia negara”. Bahkan putri Bung Karno, Sukmawati, pada tanggal 6 Desember 1996 menyatakan kepada Giebels, bahwa foto Soekarno terakhir ketika wafat dipembaring-annya, yakni sampai 30 tahun postdato, masih termasuk “rahasia negara”. Demikian ketatnya pengawasan terhadap Soekarno kala itu timbul suatu perasaan bahwa segala yg berbau Soekarno adalah “corpus alieneum” bagi masyarakat di awal orde yg baru berkembang di kala itu. Guntur dengan terpaksa harus meninggalkan ITB, dan Megawati harus meninggalkan Unpad bak penderita sampar di jaman dahulu yg harus disingkirkan agar tidak mencemari masyarakat Romawi yang agung. Buku koleksi lukisan Soekarno yg menyimpan citarasa seninya, hilang dari peredaran.
Wertheim dalam buku karangannya yang berjudul “Indonesia:van vorstenrijk tot neokolonie” (Indonesia:dari negara kerajaan menjadi koloni baru; 1979) mempertanyakan hakikat surat 13 Maret 1966 (bukan 11 Maret) yg ditulis Soekarno untuk penguasa orde. Ungkapan ini sudah hampir terhapus dari ingatan penulis karena memang tidak ada wacana tentangnya, apalagi tahu substansinya, kalau saja Wertheim tidak menggugatnya lagi di “Vrij Nederland” (8 Mei 1998). Tidak diketahui seberapa besar makna surat itu kepada penulisan sejarah seandainya memang ada dan pernah dilahirkan dalam masa transisi tahun 60-an. Hal seperti ini hanya menunjuk-kan bahwa sebenarnya embargo terhadap memorabilia tentang Soekarno, dan juga tentang berbagai masalah di Indonesia lainnya, harus segera disingkap.
Dalam keadaan tuna sumber seperti itu penulis beruntung pada tahun 1999 memperoleh dari Ny. Jeff Last (istri wartawan Jeff Last, sahabat Soekarno di tahun 1946) catatan pribadi tentang Soekarno pada awal kehidupan ber-negara Indonesia ini. Di situ Last memper-lihatkan Soekarno, yg tidak hanya kaya dengan imago masa depan dan impian lainnya, juga sebagai manusia biasa yang harus menimang anak sebagai bagian dari kehidupan keluarga. Dia melihat Soekarno sebagai ayah keluarga dan bapak bangsanya. Buat penulis catatan yang merupakan “petit histoire” seperti itu merupakan sesumber yang penting karena dalam merekonstruksi sejarah sering kita tidak dapat lepas dari status psikologik subyeknya.
Kenyataan sejarah adalah esensi kenyataan psikologis, kata Peter Lowenberg dalam “Decoding the past” (1969). Soekarno yang dalam masa pertumbuhannya tinggal di Gang Paneleh, Surabaya, rumah pondokan yg diselenggarakan oleh keluarga Tjokroaminoto, terimbas oleh berbagai denyut kehidupan dan aneka aliran nasionalisme. Muso yang tiga tahun lebih tua pernah tinggal disitu. Tidak mengherankan kalau Soekarno mencicipi cita-rasa Marxisme darinya. Kartosuwiryo bukan orang asing di antara pemuda di sana dan, tentu saja, Tjokroaminoto mentor politik ke- Islaman tangguh yang sudah berada jauh ditingkat atas dunia pergerakan. Adonan seperti itu mengisi karakter Soekarno muda.
Kepala sekolah HBS Surabaya mengakui Soekarno termasuk orang yg cerdas dan menurut Hermen Kartowisastro (vide: Giebels 2000; Legge, 1972) kecerdasan intelektual dan kemampuan berbahasa sangat menonjol. Memorinya yang fotografik dengan cepat menangkap pesan dan secara oratorik dapat menyajikan kembali dengan imbuhan konsep pemikiran kerakyatan yang dinamik. Sejak awal itulah dia menuliskan pandangannya mengenai “kiesrecht” (hak memilih), tentang “zelfbestuur” (pemerintahan sendiri), bahkan embrio prinsip bernegara. Dia bahkan memilih tema yang berat sewaktu menyusun skripsi (ya:skripsi) pada akhir masa HBS tentang “Het recht van de sterkte” (hak yang paling kuat) di antara tema pilihan lain yg lebih ringan umpama “Een moeilijk afscheid” (perpisahan yang sulit) dan lain tema keremajaan. Dalam tulisan itu tampak bahwa dia mulai menggugat mereka yang mempunyai hak lebih.
Dia dapat cepat sekali menyelesaikan tugas sekolah dengan akibat mempunyai kelebihan waktu untuk mencari “mangsa” guna lawan berbicara. Pintu kamar teman sepondokan banyak yg selalu harus tertutup karena dalam belajar itu mereka takut oleh invasi Soekarno yg sewaktu-waktu datang untuk mengajak berdebat. Di Surabaya itulah Soekarno mulai mengenal dunia pemikiran barat, literaturnya dan sentuhan teknologi yg memanjakan kehidupan bagian dunia tersebut. Tetapi juga di situlah dia mulai merasakan problema bangsanya, nasionalisme, kehidupan buruh di kota Soerabaya yg mulai membengkak dan tidak adil dan juga tegangan-tegangan antara santri dan abangan. Tetapi dia tetap mengenal barat dari jauh, berbeda dengan calon pemimpin bangsa Indonesia lainnya yg mengecap pendidikan liberal di barat sana. Soekarno mulai bersentuhan dengan barat dalam dunia lamunan yg tumbuh dalam pemikirannya. Pada suatu ketika dia menyatu dengan Danton, Mazzini atau Garibaldi sebagai penentang tindihan penguasa asing.
Pada ketika lainnya dia merasakan dalam dirinya seorang Washington, atau Lincoln sebagai demokrat. Dan ini mengecambah sewaktu usianya masih muda sekali ketika orang sebayanya memikirkan acara dansa di akhir minggu. Sisi ekstrim dari keinginannya mengenal barat lebih jauh pernah muncul dalam bentuknya yang paling sederhana, yakni di masa pertumbuhan cinta monyetnya dia sempat mencium gadis Belanda, Rita Meelhuysen. Rasa machochistik biasa dari seorang anak manusia, dan Soekarno bangga dengan kejadian itu (Oltman, 1999).
Soekarno menikmati kehidupan Surabaya, yang berbeda dengan kota2 seperti Yogya dan Solo di kala itu, karena progresip dan ter-campurbaurnya aneka suku bangsa, bahkan ras, membuat kota itu berdenyut. Di sini dia menemui selapis “neo-priyayi” suatu kelompok pebisnis-intelektualis-religius, dgn siapa dia dapat beradu argumen politis, kebudayaan dan aspirasi kebangsaan. Mereka pada umumnya tidak merasakan diskriminasi intelektual walaupun masih mengalami diskriminasi ras dalam kehidupan sosial. Di salah satu acara debat-hari-Rebo klub HBS itu Soekarno memperlihatkan keluhannya dalam naskah mengenai pengaruh pendidikan barat kepada anak bumiputera dan memperoleh perhatian kritis-akademis dari direktur sekolahnya. Seperti halnya Los Illustrados di Filipina (pada awal abad yg lalu) neo-priyayi ini yang kemudian membawakan pekik perjuangan kaumnya. HBS Surabaya ikut memberi andil ke dalam golak jiwa pemuda itu karena kebetulan di sana juga terdapat guru2 yang mempunyai jiwa anti kolonial, atau setidaknya sangat “etis”. Ironi sejarah adalah bahwa salah seorang guru bahasa Belanda di sana adalah van Mook, ayah Letnan Gubernur Jendral Huib van Mook yang kelak dalam periode 1945-1950 menjadi lawan politik Soekarno dan Indonesia. Tetapi juga perkenalan van Mook dengan Soekarno yang harus dia bayar mahal. Keberaniannya berunding dengan Soekarno atas dasar kepercayaan bahwa dengan Soekarno akan dapat menyelesaikan masalah, ditegur keras oleh Ratu Wilhemina (de Jong, 1991).
bersambung