KARAKTER TAK TERLUPAKAN: SOEKARNO PEMIMPI, PENGGAGAS DAN PELAKSANA (3)

KARAKTER TAK TERLUPAKAN: SOEKARNO PEMIMPI, PENGGAGAS DAN PELAKSANA (3)

oleh:

Bambang Hidayat, Observatorium Bosscha ITB dan Jurusan Astronomi ITB, Bandung

 

Abu HanifahMembicarakan archivalia rasanya perlu dikemukakan bahwa setelah tahun 1965 sampai 10 tahun kemudian, yakni saat Presiden Suharto mencabut tabu membicara-kan Presiden pendahulunya, dunia penerbitan di Indonesia tuna sesumber mengenai Soekarno. Menonjol di antara karya bangsa Indonesia adalah “Tales of a Revolution” (Abu Hanifah, 1972). Karya ilmiah ini secara parabolik menyinggung perilaku Soekarno pada saat-saat pra, pada atau pasca September 30, 1965. Di sisi lain dengan pisau diagnostik tajam Abu Hanifah (yang memang dokter) membedah banyak masalah pribadi Soekarno. Demikian kritisnya sehingga dia melihat nama Fatimah, yang ke-Islaman, diubah oleh Soekarno menjadi Fatmawati yang keHinduan. Soekarno memang pengagum berat Maha-barata dan pantheism. Baginya “God Omni-present incognito” dan harus selalu hadir bersama kemanusiaan dalam suasana religiositas.

Dalam seri “Political Leaders of the 20th Century“, Legge (1972) mengisahkan “Soekarno” dengan subtitel “Political Biography“, mengungkap keseimbangan antara politik Soekarno dalam kerangka kepentingan dalam negeri menghadapi desakan dari luar. Buku dan naskah lain yang muncul dalam masa embargo itu kebanyakan ditulis oleh peneliti dari Cornell di Amerika Serikat dan dari Monash di Australia, serta Leiden. Karya Peter Polomka (Indonesia since Soekarno, 1971) mengetengahkan ubahan paradigma ekonomi pra dan pasca 1965. Tidak tahu apa yang dia akan tuliskan pada tahun 1998, tetapi pada tahun 1972 Polomka sempat mengutip petuah Presiden Suharto mengenai kepemimpinan..”The essence of leadership is really the ability to solve problems which community confronts and to point out ways of overcoming them, to point out the way to a future together…….. And to awaken the people’s spirit and to stimulate the community to action. A leader must give good example“. Senang sekali dan penuh harap pada waktu itu membaca adagium ini!

Berbeda dengan peneliti asing, penulis Indonesia tampak terbelenggu kebebasan analitiknya. Dalam kurun waktu itu terbit naskah tematik yang mencencang Soekarno, umpama, “The coup attempts of the September 30 movement in Indonesia” (Notosusanto dan Ismail Saleh, 1968) serta jauh hari kemudian “Siapa menabur angin akan menuai badai” (Soegiarso Soerojo, 1989) yang merupakan acuan jurnalistik. Masih dalam pemikiran linier Sekretariat Negara (1994) memberi keputusan tentang peristiwa 30 September 1965 dalam “Latar belakang, aksi dan penumpasannya”, dan secara tidak langsung, hiperbolik, menyangkut kesalahan Soekarno. Ungkapan pribadi yang ingin mendudukkan Soekarno dalam perspektif sebenarnya datang dari Mangil Martowidjojo diharian Merdeka (1 Oktober 1992). Mangil Martowidjojo adalah seorang anggauta kepolisian negara yang fotonya pertama kali muncul tanggal 18 September 1945, ketika beliau mengawal Presiden RI ke lapangan Ikada (Ikatan Atletik Jakarta), sekarang Monas. Seterusnya Mangil Martowidjojo menjadi protégé Soekarno.

Peristiwa Ikada itu tercatat sebagai tonggak sejarah penting yang memperlihatkan wibawa Soekarno sebagai manusia, dan sebagai Presiden, terhadap subyeknya. Rakyat yang darahnya panas mendidih dan ingin men-dengarkan wejangan, dapat ditenangkan dan diminta pulang ke rumahnya demi tugas hari esok yang lebih berat. Dengan itu tidak hanya pertumpahan darah yang dihindarkan, tetapi sekaligus memperlihatkan kepada dunia luar bahwa negeri yang baru satu bulan lahir itu mempunyai hierarki, dan, lebih penting, wibawa. Di hari-hari berikutnya sering kita lihat slogan “Kita cinta damai, tetapi lebih cinta kemerdekaan”. Soekarno memang pandai memilih kata, bahkan jargon, baik yang menyatukan semangat ataupun yang meng-arahkan tujuan. Di jaman pendudukan Jepang semboyan yang hidup di masyarakat, tetapi kemudian membuat dia dicap sebagai antek Jepang, adalah “Amerika kita seterika, Inggris kita linggis”. Dari anak kecil sampai orang dewasa termakan oleh ajakan bersemangat itu.

Karateka SLDi Wisma Indonesia pada tahun 1962 Bung Karno  memberi selamat kepada Karateka Sabuk Hitam, Suwito Laksono . Dalam kesempatan itu yang meraih gelar pertama Karateka Sabuk Hitam  dari Indonesia  adalah  Sabeth Muchsin, Sarwono, Oloan Sihaan, Suwito Laksono.  Besar di desa Glemmore Jember masuk ITB kemudian mendapat bea siswa  meraih gelar Msc dari Kyoto University.

Bersambung

 

Post navigation

Leave a Reply

Your email address will not be published.