Kasus Ekonomi: Black Wednesday 1992. Krisis keuangan Asia 1997. Great Recession 2008, Bank Silicon Valley, California 2023

Black Wednesday 1992.

Penyatuan kembali Jerman (1990 Jerman Barat dan Jerman Timur bersatu) telah memicu ledakan konsumen dan lonjakan inflasi, menyebabkan bank sentral Jerman menaikkan suku bunga. Inggris dan seluruh Eropa, sedang menuju resesi, dan membutuhkan suku bunga rendah, tetapi persyaratan ERM tidak mengizinkan hal ini. Untuk menambah masalah, dolar AS juga jatuh nilainya, meninggalkan pound di tanah tak bertuan yang mustahil di suatu tempat di tengah.

Namun, biaya moneter untuk ERM kepada Inggris dianggap cukup tinggi dengan nilai yang mencapai 2,95 mark terhadap 1 poundsterling. Ditambah lagi, inflasi Inggris pada waktu itu tercatat lebih tinggi dibanding Jerman.

Kondisi ini membuat spekulan Soros menjual poundsterling dengan USD 6 miliar untuk membeli deutsche mark dengan nilai setara USD 7 miliar. Ia juga meminjam uang dari Bank of England sebesar 5 miliar poundsterling untuk kemudian dikonversikan dengan deutsche mark dengan nilai tukar 1 poundsterling sama dengan 2,79 Deutsche mark. Berarti mendapat gain 0,16  deutsche mark setiap poundstreling.

Soros tetap menunggu. Berharap kebijakan Inggris untuk mendevaluasi mata uangnya benar-benar terjadi.Tak tahan dengan tekanan inflasi, pada 16 September 1992 Inggris menaikkan suku bunga acuannya dua kali dalam sehari. Bahkan hingga mencapai 15 persen, sebuah angka yang cukup mengkhawatirkan kala itu. Lambat laun, permintaan akan poundsterling kian berkurang lantaran kondisi makroekonomi yang tidak stabil. Aksi intervensi valuta asing bank sentral Inggris gagal. Nilai tukar poundsterling terhadap Deutsche mark sudah turun 3 persen dalam sehari.


Hari Rabu itu merupakan mimpi buruk bagi Inggris, namun angin surga bagi Soros. Benar saja, Inggris memutuskan untuk keluar dari ERM dan kebijakan mata uangnya kini menganut kondisi mengambang bebas. Nilai mata uangnya pun terjun hingga 2,65 Deustche Mark per 1 poundsterling.

Soros segera mengambil untung besar dari berspekulasi poundsterling. Tak terasa, keuntungan dari menerka-nerka poundsterling bikin kantong Soros US$2 miliar lebih tebal. Atas aksinya, kini Soros dikenang sebagai pria yang berhasil ‘membobol’ Bank of England.

Krisis keuangan Asia 1997

Krisis keuangan Asia adalah periode krisis keuangan yang menerpa hampir seluruh Asia Timur pada Juli 1997 dan menimbulkan kepanikan bahkan ekonomi dunia akan runtuh akibat penularan keuangan.

Krisis ini bermula di Thailand (dikenal dengan nama krisis tom yum kung di Thailand;  seiring jatuhnya nilai mata uang baht setelah pemerintah Thailand terpaksa mengambangkan baht karena sedikitnya valuta asing yang dapat mempertahankan jangkarnya (peg)  ke dolar Amerika Serikat. Waktu itu, Thailand menanggung beban utang luar negeri yang besar sampai-sampai negara ini dapat dinyatakan bangkrut sebelum nilai mata uangnya jatuh. Saat krisis ini menyebar, nilai mata uang di sebagian besar Asia Tenggara dan Jepang ikut turun, bursa saham dan nilai aset lainnya jatuh, dan utang swastanya naik drastis.

IndonesiaKorea Selatan, dan Thailand adalah negara-negara yang terkena dampak krisis terparah. Hong KongLaosMalaysia, dan Filipina juga terdampak oleh turunnya nilai mata uang. BruneiRRTSingapuraTaiwan, dan Vietnam tidak kentara dampaknya, tetapi sama-sama merasakan turunnya permintaan dan kepercayaan investor di seluruh Asia.

Rasio utang luar negeri terhadap PDB naik dari 100% menjadi 167% di empat negara besar ASEAN pada tahun 1993 – 96, lalu melonjak hingga 180% pada masa-masa terparah dalam krisis ini. Di Korea Selatan, rasionya naik dari 13% menjadi 21%, lalu memuncak di angka 40%. Negara industri baru lainnya masih lebih baik.

Meski sebagian besar negara di Asia memiliki kebijakan fiskal yang bagus, Dana Moneter Internasional (IMF) turun tangan melalui program senilai US$40 miliar untuk menstabilkan mata uang Korea Selatan, Thailand, dan Indonesia, negara-negara yang terdampak parah dalam krisis ini.

Upaya menghambat krisis ekonomi global gagal menstabilkan situasi dalam negeri di Indonesia. Setelah 31 tahun berkuasa, Presiden Soeharto terpaksa mundur pada tanggal 21 Mei 1998 di bawah tekanan demonstran massa serta aspirasi rakyat NKRI yang mengeluh kebijakan kenaikan harga secara tajam akibat devaluasi rupiah. Dampak krisis masih terasa hingga 1998. Tahun 1998, pertumbuhan Filipina anjlok hingga nol persen. Hanya Singapura dan Taiwan yang agak terhindar dari krisis ini, tetapi keduanya sempat mengalami tekanan besar; Singapura ikut tertekan karena ukuran dan letak geografisnya antara Malaysia dan Indonesia. Tahun 1999, sejumlah analis mengamati bahwa ekonomi di Asia mulai pulih. Setelah krisis tahun 1997, ekonomi di Asia mulai stabil di bawah pengawasan keuangan

Sebelum tahun 1999, Asia menarik hampir separuh arus modal ke negara berkembang. Negara-negara Asia Tenggara mempertahankan nilai tukar tinggi demi menarik investor asing yang mencari tingkat pengembalian saham tinggi. Hasilnya, Asia Tenggara menerima arus uang yang besar dan mengalami lonjakan harga aset. Pada saat yang sama, Thailand, Malaysia, Indonesia, Singapura, dan Korea Selatan mengalami tingkat pertumbuhan tinggi, PDB 8–12%, pada akhir 1980-an dan awal 1993. Prestasi ini diakui oleh lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia dan dijuluki sebagai “keajaiban ekonomi Asia“.

Great Recession 2008 atau dikenal sebagai Subprime mortgage

Benih-benih krisis keuangan ditanam selama bertahun-tahun dengan suku bunga yang sangat rendah dan standar pinjaman yang longgar yang memicu housing price bubble di AS dan di tempat lain. Itu dimulai, seperti biasa, dengan niat baik. Menghadapi pecahnya dot-com bubble, beriringan dengan serangkaian skandal akuntansi perusahaan, dan serangan teroris 11 September, Federal Reserve menurunkan suku bunga dana federal dari 6,5% pada Mei 2000 menjadi 1% pada Juni 2003. Tujuannya adalah untuk meningkatkan ekonomi dengan membuat uang tersedia untuk bisnis dan konsumen dengan harga murah.

Hasilnya adalah lonjakan harga rumah karena peminjam mengambil keuntungan dari tingkat hipotek yang rendah. Bahkan peminjam subprime, mereka yang miskin atau tidak memiliki riwayat kredit, mampu mewujudkan impian membeli rumah. Bank-bank kemudian menjual pinjaman tersebut ke bank-bank Wall Street, yang mengemasnya menjadi apa yang disebut sebagai instrumen keuangan berisiko rendah seperti mortgage-backed securities dan collateralized debt obligations (CDOs). Segera pasar sekunder yang besar untuk memulai dan mendistribusikan pinjaman subprime berkembang.

Memicu pengambilan risiko yang lebih besar di antara bank, Securities and Exchange Commission (SEC) pada bulan Oktober 2004 melonggarkan persyaratan modal bersih (net capital requirements) untuk lima bank investasi yaitu Goldman Sachs, Merrill Lynch Lehman Brothers, Bear Stearns , dan Morgan Stanley. Itu membebaskan mereka untuk memanfaatkan investasi awal mereka hingga 30 kali atau bahkan 40 kali.

Akhirnya, suku bunga mulai naik dan kepemilikan rumah mencapai titik jenuh. The Fed mulai menaikkan suku bunga pada bulan Juni 2004, dan dua tahun kemudian suku bunga dana Federal mencapai 5,25%, bertahan hingga Agustus 2007.

Perusahaan subprime mortgage, New Century Financial membuat pinjaman hampir $60 miliar pada tahun 2006. Pada tahun 2007, mengajukan perlindungan kebangkrutan.

Saat 2007 dimulai, satu demi satu pemberi pinjaman subprime mengajukan kebangkrutan. Selama bulan Februari dan Maret, lebih dari 25 subprime lender bangkrut. Pada bulan April, New Century Financial, yang berspesialisasi dalam sub-prime lending, mengajukan kebangkrutan dan memberhentikan setengah dari tenaga kerjanya.

Pada bulan Juni, Bear Stearns menghentikan penebusan dua hedge funds, mendorong Merrill Lynch menyita $800 juta aset dari dana tersebut. Bahkan ini adalah masalah kecil dibandingkan dengan apa yang akan terjadi di bulan-bulan mendatang

Menjadi jelas pada Agustus 2007 bahwa pasar keuangan tidak dapat menyelesaikan krisis subprime dan bahwa masalah tersebut bergema jauh di luar perbatasan AS. Pasar antar bank yang membuat uang bergerak di seluruh dunia benar-benar membeku, sebagian besar karena ketakutan akan hal yang tidak diketahui. Northern Rock harus mendekati Bank of England untuk pendanaan darurat karena masalah likuiditas. Pada Oktober 2007, bank Swiss UBS menjadi bank besar pertama yang mengumumkan kerugian  $3,4 miliar dari investasi terkait subprime.

Dalam beberapa bulan mendatang, Federal Reserve dan bank sentral lainnya akan mengambil tindakan terkoordinasi untuk memberikan pinjaman miliaran dolar ke pasar kredit global, yang terhenti karena harga aset jatuh. Sementara itu, lembaga keuangan berjuang untuk menaksir  nilai dari mortgage-backed securities sebesar  triliunan dolar yang sekarang menjadi racun yang ada di buku mereka.

Pada musim dingin tahun 2008, ekonomi AS berada dalam resesi besar-besaran dan, ketika kesulitan likuiditas lembaga keuangan berlanjut, pasar saham di seluruh dunia jatuh paling dalam sejak serangan September 11.

Pada bulan Januari 2008, The Fed memangkas suku bunga acuannya sebesar tiga perempat persen – pemotongan terbesar dalam seperempat abad, karena berusaha memperlambat kemerosotan ekonomi.

Kabar buruk terus mengalir dari segala penjuru. Pada bulan Februari, pemerintah Inggris terpaksa menasionalisasi Northern Rock. Pada bulan Maret, bank investasi global Bear Stearns, pilar Wall Street yang berdiri sejak tahun 1923, runtuh dan diakuisisi oleh JPMorgan Chase dengan harga sen dolar.

Pada musim panas 2008, pembantaian menyebar ke seluruh sektor keuangan. IndyMac Bank menjadi salah satu bank terbesar yang pernah bangkrut di AS, dan dua pemberi pinjaman rumah terbesar di negara itu, Fannie Mae dan Freddie Mac, telah disita oleh pemerintah AS.

Namun keruntuhan bank terhormat Wall Street Lehman Brothers pada bulan September menandai kebangkrutan terbesar dalam sejarah AS, dan bagi banyak orang menjadi simbol kehancuran yang disebabkan oleh krisis keuangan global.

Pada bulan yang sama, pasar keuangan jatuh bebas, dengan indeks utama AS menderita kerugian terburuk. The Fed, Departemen Keuangan, Gedung Putih, dan Kongres berjuang untuk mengajukan rencana komprehensif untuk menghentikan pendarahan dan memulihkan kepercayaan pada perekonomian.

Paket itu mencakup banyak tindakan, seperti pembelian besar-besaran toxic assets oleh pemerintah, investasi besar-besaran dalam saham bank, dan bantuan keuangan untuk Fannie Mae dan Freddie Mac.

Jumlah yang dibelanjakan oleh pemerintah melalui Troubled Asset Relief Program (TARP). Itu mendapatkan kembali $442,6 miliar setelah aset yang dibeli dalam krisis dijual kembali dengan keuntungan.

Kemarahan publik tersebar luas. Tampaknya para bankir diberi imbalan karena secara sembrono membendung perekonomian. Tapi itu membuat ekonomi bergerak lagi. Juga harus dicatat bahwa investasi di bank-bank sepenuhnya ditalangi oleh pemerintah, dengan bunga.

Bagian dari paket bailout menstabilkan pasar saham, yang mencapai titik terendah pada Maret 2009 dan kemudian memulai pasar bull terpanjang dalam sejarahnya. Namun, kerusakan ekonomi dan penderitaan manusia sangat besar. Pengangguran mencapai 10%. Sekitar 3,8 juta orang Amerika kehilangan rumah karena penyitaan.

Kebangkrutan SVB terjadi dalam waktu yang cepat. Bank itu masih tampak stabil awal tahun ini. Namun, SVB pada Kamis (9/3/2023) mengumumkan rencana penggalangan dana sebesar $1,75 miliar atau sekitar Rp27,13 triliun untuk memperkuat modal. Aksi itu sontak membuat investor kalang-kabut dan harga saham anjlok 60%. Saham-saham kembali merosot pada Jumat (10/3) sebelum pembukaan perdagangan di bursa Nasdaq.

Bank Silicon Valley

Kantor berita Associated Press melaporkan Bank Silicon Valley bankrut setelah para nasabah menarik tabungan besar-besaran pekan ini karena khawatir dengan kondisi neraca keuangan bank itu. Nasabah Bank Silicon Valley kebanyakan adalah karyawan perusahaan teknologi dan perusahaan-perusahaan yang didukung modal ventura.

Bank Silicon Valley menjadi bank kedua yang mengalami kerugian besar dalam sejarah AS setelah Washington Mutual pada puncak krisis keuangan satu dasawarsa lalu.

SVB sangat bergantung pada industri teknologi. Jadi, kecil kemungkinan kasus SVB akan merembet ke sektor perbankan AS seperti kekacauan yang terjadi berbulan-bulan sebelum Resesi Besar pada satu dekade lalu. Bank-bank terbesar di AS, yang kemungkinan besar bisa memicu masalah ekonomi sistemik, masih memiliki neraca keuangan yang sehat dan modal yang memadai.

Kebangkrutan SVB terjadi dalam waktu yang cepat. Bank itu masih tampak stabil awal tahun ini. Namun, SVB pada Kamis (9/3) mengumumkan rencana penggalangan dana sebesar $1,75 miliar atau sekitar Rp27,13 triliun untuk memperkuat modal. Aksi itu sontak membuat investor kalang-kabut dan harga saham anjlok 60%. Saham-saham kembali merosot pada Jumat (10/3) sebelum pembukaan perdagangan di bursa Nasdaq.

Sebelum siang, Lembaga Penjamin Simpanan Federal (the Federal Deposit Insurance Corporation/FDIC) segera menutup SVB. Yang menjadi perhatian, FDIC tidak menunggu hingga penutupan bank untuk menyita asset-aset bank, yang biasanya menjadi runutan penutupan bank.

Pada saat bangkrut, SVB masih punya total aset senilai $209 miliar atau sekitar Rp 3.240 triliun. Belum jelas berapa dari tabungan yang masih ada bernilai di atas batas penjaminan senilai $250.000. Namun, laporan regulator sebelumnya menunjukkan banyak tabungan milik nasabah di SVB yang nilainya melebihi batas penjaminan.

FDIC mengatakan, Jumat (10/3), bahwa tabungan yang bernilai di bawah batas penjaminan $250.000 atau Rp 3,87 miliar akan tersedia pada Senin (13/3) pagi.

Seperti tersirat dari namanya, SVB adalah saluran keuangan utama antara sektor teknologi, para pendirinya, perusahaan-perusahaan-perusahaan rintisan dan para pekerjanya. Hubungan Silicon Valley dengan sektor teknologi dengan cepat berubah menjadi kerugian. Saham-saham perusahaan teknologi rontok dalam 18 bulan terakhir setelah lonjakan pertumbuhan saat pandemi dan pemutusan hubungan kerja (PHK) meluas di industri teknologi.

Pada saat yang sama, bank juga terdampak dengan upaya Federal Reserve, bank sentral As, untuk menekan inflasi dan serangkaian kenaikan suku bunga yang agresif untuk mendinginkan ekonomi. Ketika Fed menaikan suku bunga acuan, nilai obligasi – aset yang biasanya stabil – mulai turun. Penurunan nilai obligasi sebenarnya tidak malah karena dianggap “kerugian tidak terealisasi” atau kerugian yang tidak dihitung ketika menghitung modal cadangan yang bisa digunakan bank-bank ketika ada penurunan bisnis ke depan.

Namun, ketika para nasabah makin gelisah dan mulai menarik uang mereka, bank-bank kadang-kadang harus menjual obligasi-obligasi tersebut sebelum jatuh tempo untuk menutupi penarikan dana besar-besaran. Ini lah yang terjadi pada Bank Silicon Valley yang harus menjual aset dengan likuiditas tinggi senilai $21 miliar untuk menutup penarikan dalam. SVB mengalami kerugian sebesar $1,8 miliar dari penjualan obligasi-obligasi itu

Di pasar keuangan, gerakan panik dimulai pada hari Kamis, setelah SVB mengumumkan bahwa pihaknya berusaha untuk mendapatkan modal dengan cepat untuk mengatasi penarikan besar-besaran pelanggannya. Posrtofolio SVB mencapai US$21 miliar atau sekitar Rp321,3 triliun, dan mengalami kerugian $1,8 miliar atau sekitar US$27,54 triliun. Pengumuman tersebut mengejutkan investor dan menghidupkan kembali kekhawatiran tentang kesehatan seluruh sektor perbankan, terutama dengan kenaikan suku bunga yang cepat, yang menurunkan nilai obligasi dalam portofolio mereka dan meningkatkan biaya kredit.

Empat bank terbesar AS kehilangan US$$52 miliar di pasar saham pada hari Kamis dan setelah itu, bank-bank Asia dan kemudian Eropa menggelepar. Di Paris, saham Société Générale turun 4,49 persen, BNP Paribas 3,82 persen dan Crédit Agricole 2,48 persen. Di tempat lain di Eropa, bank Jerman Deutsche Bank turun 7,35 persen, bank Inggris Barclays 4,09 persen dan UBS Swiss 4,53 persen. Di Wall Street, bank-bank besar pulih Jumat setelah kekalahan hari sebelumnya JPMorgan Chase.

U.S. Treasury Secretary Janet Yellen bertemu dengan regulator perbankan pada hari Jumat untuk membahas runtuhnya SVB Financial Group dan menyatakan full confidence  pada kemampuan mereka untuk menanggapi situasi dan bahwa sistem perbankan AS tetap tangguh.

Departemen Keuangan mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa Yellen bertemu dengan pejabat dari Federal Reserve, Federal Deposit Insurance Corporation, dan Office of the Comptroller of the Currency pada hari Jumat untuk membahas pengembangan ..

diposting oleh gandatmadi46@yahoo.com

Post navigation

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *