Kebijakan makroprudensial adalah kebijakan yang ditujukan untuk meningkatkan ketahanan sistem keuangan dan untuk mitigasi risiko sistemik yang timbul akibat keterkaitan antar institusi dan kecenderungan institusi keuangan untuk mengikuti siklus ekonomi (Procylical) sehingga memperbesar risiko sistemik). Sedangkan menurut Internasional Monetary Fund (IMF) (2011: bahwa kebijakan makroprudensial adalah kebijakan yang memiliki tujuan utama untuk memelihara stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan melalui pembatasan peningkatan risiko sistemik.
Sering kita baca dan dengar kritikan bahwa BI kurang ketat dalam menjaga sistem keuangan,sesungguhnya tidak demikian. Salah satunya yaitu , sejak Januari 2016, BI menetapkan countercyclical Buffer sebesar 1%, apa yang dimaksud dengan Countercyclical Buffer?
Countercyclical Buffer,
adalah tambahan modal yang berfungsi sebagai penyangga (buffer) untuk mengantisipasi kerugian apabila terjadi pertumbuhan kredit dan/atau pembiayaan perbankan yang berlebihan sehingga berpotensi mengganggu stabilitas sistem keuangan.
Salah satu tujuan kebijakan Countercyclical Capital Buffer (CCB) adalah untuk mencegah timbulnya dan/atau meningkatnya risiko sistemik yang berasal dari pertumbuhan kredit yang berlebihan (excessive credit growth). Hal ini terkait dengan perilaku prosiklikalitas penyaluran kredit perbankan yakni meningkat saat periode ekonomi ekspansi (boom) dan melambat pada periode ekonomi kontraksi (bust). Kebijakan CCB perlu untuk diimplementasikan di Indonesia karena adanya perilaku prosiklikalitas antara pertumbuhan kredit dan pertumbuhan ekonomi.
Tambahan modal yang wajib dibentuk bank pada periode ekspansi dapat digunakan ketika bank menghadapi tekanan saat ekonomi sedang kontraksi sehingga keberlanjutan fungsi intermediasi bank diharapkan tetap dapat terjaga.
Besaran Countercyclical Buffer bersifat dinamis yaitu berkisar antara 0% sampai dengan 2,5% dari Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) bank. Bank Indonesia akan melakukan evaluasi besaran Countercyclical Buffer tersebut secara berkala paling kurang 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan.
Secara umum, Bank Indonesia akan meningkatkan besaran Countercyclical Buffer pada saat ekonomi sedang ekspansi, sebaliknya Bank Indonesia akan menurunkan besaran Countercyclical Buffer pada saat ekonomi sedang kontraksi. Kebijakan ini tidak terpisahkan dari ketentuan permodalan perbankan yang dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan yang diharapkan akan memperkuat daya tahan perbankan
BI menjaga kebijakan suku bunga
(dikutip dari Bank Indonesia Holds Policy Rate, Jakarta, 18 January 2018)
Dewan Gubernur BI sepakat pada 17 dan 18 Januari 2018 untuk menahan BI Rate Reverse Repo 7-hari di 4,25%, sambil mempertahankan suku bunga Deposit Facility (DF) dan Lending Facility (LF) masing-masing diposisi 3,50% dan 5,00%, efektif 19 Januari 2018. Kebijakan ini konsisten dengan stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan yang terjaga dengan baik, sementara juga membangun momentum pemulihan ekonomi domestik.
Selain keputusan mengenai tingkat kebijakan, Dewan Gubernur BI juga memutuskan untuk mempercepat pelaksanaan rasio persyaratan cadangan rata-rata sebagai tindak lanjut pada reformasi kerangka operasional kebijakan moneter. Perbaikan-perbaikan tersebut bertujuan untuk meningkatkan transmisi kebijakan moneter yang efektif, mendukung fleksibilitas pengelolaan likuiditas perbankan, sekaligus mempercepat pendalaman pasar keuangan (Lampiran 1). Secara total, bank-bank komersial konvensional wajib menjaga 6,5% dari nilai cadangan persyaratan deposito dalam Rupiah. Dari jumlah ini, bagian kebutuhan mireserve rata-rata dilonggarkan dari 1,5% menjadi 2% dari setoran. Sementara itu, dari total cadangan wajib bank konvensional di forex, yaitu 8% dari deposito, persyaratan cadangan rata-rata 2% adalah persyaratan cadangan adalah 5% dari deposito, persyaratan cadangan rata-rata ditetapkan sebesar 2% dari deposito.
Untuk mendorong fungsi intermediasi perbankan dan manajemen likuiditas, Dewan Gubernur juga memutuskan untuk menyempurnakan kebijakan makroprudensial dengan menerapkan dua peraturan. Pertama, mengubah kebijakan Loan to Funding Ratio (LFR) untuk bank umum konvensional dan kebijakan Financing to Deposit Ratio (FDR) untuk bank umum syariah dan unit usaha syariah menjadi Macroprudential Intermediation Ratio (MIR) dalam kisaran target 80-92% juga memperluas komponen kredit / pembiayaan yang menggabungkan komponen deposito dengan memasukkan sekuritas yang dibeli oleh bank dan memperluas komponen simpanan dengan memasukkan surat berharga yang diterbitkan oleh bank umum dan unit bisnis syariah. Kedua, mengubah persyaratan cadangan sekunder untuk bank umum konvensional menjadi Macroprudential Liquidity Buffer (MLB) dan menerapkan MLB untuk bank umum syariah pada 4% deposito, memungkinkan 2% deposito untuk digunakan sebagai repo kepada Bank Indonesia dalam kondisi tertentu untuk memenuhi likuiditas bank. Kedua instrumen makroprudensial memiliki kualitas countercyclical yang dapat disesuaikan dengan siklus ekonomi dan keuangan (Lampiran 2).
Bank Indonesia yakin bahwa ketahanan ekonomi nasional membaik di Indonesia, yang tercermin dari pencapaian inflasi yang rendah selama tiga tahun terakhir, rekening koran yang sehat, arus masuk modal asing, nilai tukar rupiah yang stabil, semua posisi tinggi waktu aset cadangan dan stabilitas sistem keuangan yang terjaga. Ke depan, dengan keuntungan ekonomi global yang sedang berlangsung dan menjaga stabilitas ekonomi nasional, Bank Indonesia mengakui peluang besar untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi domestik yang lebih kuat dan berkelanjutan melalui reformasi struktural yang sehat. Beberapa risiko masih tetap terjaga (vigilance) baik risiko eksternal saat menghadapi proses normalisasi kebijakan moneter di beberapa negara maju, ketegangan geopolitik dan kenaikan harga minyak global, serta risiko domestik, seperti konsolidasi korporasi yang sedang berlangsung, intermediasi bank yang lamban dan risiko inflasi . Untuk itu, Bank Indonesia senantiasa mengoptimalkan bauran kebijakan moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran untuk menciptakan keseimbangan optimal antara stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan terhadap proses pemulihan ekonomi saat ini. Selain itu, Bank Indonesia juga terus memperkuat koordinasi kebijakan dengan Pemerintah untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan
Pemulihan ekonomi global telah berlangsung, sementara harga komoditas internasional tetap tinggi. Pertumbuhan ekonomi global pada 2018 diproyeksikan pada kecepatan yang kurang lebih sama seperti pada 2017, dengan sumber pertumbuhan yang berasal dari negara berkembang. Di negara maju, pemulihan ekonomi AS berlanjut di dukung oleh faktor konsumsi dan investasi. Sejalan dengan ini, Fed diperkirakan akan menaikkan Federal Funds Rate (FFR), sambil terus melonggarkan neraca keuangannya sesuai jadwal. Di sisi lain, pemulihan ekonomi di Eropa tetap dibayangi oleh risiko politik di kawasan ini. Moderasi ekonomi diproyeksikan di Jepang pada 2018 karena ageing population dan ruang fiskal yang terkendali (restrained) Di negara-negara berkembang, ekonomi China diperkirakan akan melambat pada 2018 karena pertumbuhan investasi yang lebih kecil karena kebijakan untuk memperketat sektor properti ditambah dengan deleveraging. Ekonomi India diperkirakan akan memulai pemulihan karena efek demonetisation dan struktur GST baru memudar. Secara keseluruhan, ada potensi pertumbuhan ekonomi global yang lebih tinggi, terutama yang berasal dari reformasi pajak baru-baru ini yang merangsang ekonomi AS. Pemulihan global yang sedang berlangsung akan meningkatkan volume perdagangan dunia dan harga komoditas internasional, termasuk minyak, melebihi level yang tercatat pada tahun 2017.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal keempat 2017 diperkirakan akan tetap stabil, dengan perkiraan kenaikan pada 2018. Pada kuartal keempat 2017, kinerja ekspor diperkirakan akan lebih rendah dari pada kuartal ketiga di tengah pertumbuhan impor yang relatif tinggi, terutama minyak dan impor gas. Di sisi permintaan (demand side), investasi meningkat didukung oleh proyek infrastruktur pemerintah dan meningkatnya peran investasi swasta. Sementara itu, pertumbuhan konsumsi tetap lamban. Konsekuensinya, ekonomi nasional diperkirakan akan tumbuh pada tahun 2017 sebesar 5,1%. Namun demikian, pertumbuhan ekonomi diproyeksikan akan meningkat pada tahun 2018 sejalan dengan permintaan domestik yang lebih kuat karena investasi meningkat seiring dengan konsumsi rumah tangga dan stimulus fiskal. Sementara itu, pertumbuhan ekspor yang dinamis diprediksi pada 2018 karena ekonomi global terus pulih dan harga komoditas internasional tetap tinggi. Secara umum growth 2018 di proyeksikan pada kisaran 5,1% – 5,5%.
Neraca pembayaran diperkirakan akan surplus pada kuartal keempat 2017, sementara defisit akun berjalan tetap terkendali. Surplus BOP telah didukung oleh surplus modal dan keuangan yang signifikan, terutama berasal dari investasi langsung dan investasi portofolio. Meskipun demikian, defisit transaksi berjalan diperkirakan akan meningkat dibandingkan periode sebelumnya seiring dengan surplus perdagangan yg lebih kecil untuk non-minyak & gas serta defisit perdagangan dan jasa yang lebih besar. Akibatnya, posisi aset cadangan pada akhir Desember 2017 mencapai USD130,2 miliar, mewakili nilai tertinggi sepanjang masa dan setara dengan 8,6 bulan impor atau 8,3 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, yang jauh di atas standar kecukupan tiga bulan tingkat internasional (the international adequacy standard of three months). Ke depan, defisit transaksi berjalan pada tahun 2018 diperkirakan akan tetap terkendali dalam kisaran 2,0-2,5% dari PDB sejalan dengan pertumbuhan ekonomi nasional.
Rupiah tetap stabil di tahun 2017. Untuk tahun ini, rata-rata nilai tukar harian rupiah tetap relatif stabil dengan sedikit depresiasi tercatat sebesar 0,60% menjadi Rp13.385 / USD. Banjir aliran modal non-penduduk yang ditarik ke Indonesia pada dinamika global dan domestik yang menguntungkan telah mendukung stabilitas rupiah. Secara eksternal, pasar keuangan global yang relatif kondusif telah mendorong arus modal asing ke negara berkembang, termasuk Indonesia. Namun, di sisi domestik, sentimen positif berasal dari peringkat kredit Indonesia yang meningkat, inflasi yang terkendali, dan imbal hasil yang kompetitif pada aset keuangan domestik, merupakan faktor yang menarik modal non-penduduk ke dalam negeri. Namun demikian, rupiah menghadapi tekanan dari normalisasi kebijakan moneter, ekspektasi peningkatan kenaikan FFR dan rencana reformasi pajak AS. Pada bulan Desember 2017, rupiah relatif stabil, namun, turun hanya 0,24% (mtm) pada faktor cyclical domistic financial market , yaitu lonjakan permintaan valuta asing oleh penduduk untuk membayar kembali utang luar negeri dan impor, berbareng dengan realisasi laba dari investor non-residen. Bank Indonesia akan terus memantau risiko ketidakpastian keuangan global dan bertahan dengan langkah-langkah stabilisasi nilai tukar.
Inflasi rendah telah dipertahankan pada tahun 2017 dalam koridor target 4 ± 1%. Inflasi CPI mencapai 0,71% (mtm) pada Desember 2017 dan 3,61% (yoy) untuk tahun ini. Akibatnya, inflasi selama tiga tahun terakhir secara konsisten dipertahankan dalam koridor sasaran. Inflasi inti yang rendah dan tekanan inflasi yang lemah pada makanan yang mudah menguap (volatile) serta dampak dari berbagai kenaikan tarif dalam bentuk harga yang diatur telah memberikan kontribusi pada inflasi yang terkendali pada tahun 2017. Selanjutnya, faktor penawaran dan permintaan yang positif, tekanan eksternal yang ringan serta kebijakan yang ketat. Koordinasi antara Bank Indonesia dengan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah juga telah mendukung inflasi yang terkendali pada tahun 2017. Bank Indonesia memperkirakan inflasi akan tetap dalam kisaran target untuk 2018, yaitu 3,5 ± 1%. Meskipun demikian, Bank Indonesia senantiasa memantau risiko peningkatan inflasi. Selain itu, Bank Indonesia akan memperkuat koordinasi kebijakan dengan pemerintah pusat dan daerah.
Stabilitas sistem keuangan telah dipertahankan meskipun fungsi intermediasi bank tidak optimal. Perkembangan tersebut tercermin dari tingginya Capital Adequacy Ratio (CAR) di industri perbankan, sebesar 23,2%, dan rasio likuiditas, sebesar 22,3%, yang tercatat pada bulan November 2017. Sementara itu, sejalan dengan upaya untuk memperkuat manajemen risiko kredit perbankan, kredit bermasalah (NPL) mencapai 2,89% (gross) atau 1,25% (bersih). Pelonggaran kebijakan moneter telah berhasil ditransmisikan melalui saluran suku bunga karena bank-bank terus menurunkan suku bunga deposito dan pinjaman, meskipun lebih kecil dari yang diharapkan. Transmisi melalui saluran kredit belum optimal sejalan dengan permintaan lunak untuk pinjaman baru dan sifat selektif bank ketika menyalurkan pinjaman baru. Akibatnya, pertumbuhan kredit pada November 2017 menurun dari 8,5% pada bulan sebelumnya menjadi 7,5%. Meskipun pertumbuhan kredit terkendali, pembiayaan ekonomi melalui pasar keuangan, termasuk penerbitan saham, obligasi dan surat utang jangka menengah (MTN), tetap bisa mempertahankan pertumbuhan yang kuat di 29,7% (yoy) pada bulan November 2017. Meskipun demikian, industri perbankan melaporkan bahwa pertumbuhan deposito melambat dari 11,0% (yoy) menjadi 9,8% (yoy) pada bulan November 2017. Untuk tahun ini, oleh karena itu, pertumbuhan deposito dan kredit mencapai 9,0% (yoy) dan 8,0% (yoy) masing-masing. Sejalan dengan meningkatnya kegiatan ekonomi dan dampak dari pelonggaran kebijakan moneter dan makroprudensial sebelumnya, ditambah dengan konsolidasi industri korporasi dan perbankan, Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan simpanan dan kredit yang lebih kuat pada tahun 2018, mencapai 9,0-11,0% (yoy) dan 10,0-12,0% (yoy) ) masing-masing.
Gubernur BI, Perry Wardiyo Minta Tambahan Otoritas
Tugas pokok BI menurut UU adalah menjaga nilai tukar dan menetapkan suku bunga, namun jika BI diminta untuk menaikkan lapangan kerja atau menurunkan pengangguran maka perlu payung hukum.
dikumpulkan dari berbagai sumer informasi oleh
Gandatmadi