Kementerian PUPR menyebutkan, pengertian backlog merujuk pada jumlah unit perumahan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan perumahan yang belum terpenuhi dalam suatu kawasan atau wilayah tertentu. Dalam istilah properti, backlog pada perumahan merupakan kondisi kesenjangan antara total hunian terbangun dengan jumlah rumah yang dibutuhkan oleh masyarakat, termasuk angka rumah yang tidak laik huni. Hal ini mencakup unit-unit perumahan yang harus dibangun untuk mengatasi defisit perumahan yang telah terakumulasi selama beberapa waktu. Backlog perumahan dapat terdiri dari berbagai jenis perumahan, termasuk perumahan sosial, perumahan terjangkau, dan perumahan untuk berbagai tingkat pendapatan.
Backlog
Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Survei Sosial Ekonomi (Susenas) Tahun 2023 mencatat kesenjangan angka kebutuhan rumah (backlog)
Data | 2020 (juta) | 2021(juta) | 2022 (juta) | 2023 (juta) |
Kepemilikan | 12,75 | 12,72 | 10,51 | 9,90 |
Kelayakan Huni | 16,62 | 16,42 | 16,14 | 14,84 |
Arah kebijakan pembangunan perumahan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020 – 2024 antara lain meningkatkan jumlah rumah tangga yang menghuni rumah layak dari semula 56,51% menjadi 70%,
Ujungnya, Indonesia dapat mencapai zero Bmbacklog pada tahun 2045 untuk melengkapi Indonesia Emas 2045.
Amunisi
Atasi Backlog, Pemerintah Perlu Bangun 1,3 Juta Rumah Layak Huni per Tahun artinya butuh dana Rp 40 triliun pertahun adapun dana yang tersedia baru untuk 200 Rumah Layah Huni.
Selain peran pemerintah, partisipasi sektor swasta dan masyarakat juga penting dalam mengatasi krisis perumahan. Kemitraan antara pemerintah, swasta, dan masyarakat dapat mempercepat pembangunan perumahan dengan cara yang berkelanjutan dan efisien. Ini dapat dilakukan melalui berbagai mekanisme, termasuk penyediaan tanah, pembiayaan proyek, dan pengembangan kawasan.
Depkeu total dana yang telah disalurkan oleh APBN, sektor perumahan rakyat bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) mencapai Rp228,9 triliun. Ia merinci penyaluran anggaran pada 2016 sebesar Rp15,52 triliun, 2017 Rp18 triliun, 2019 Rp18,81 triliun, 2020 Rp24,19 triliun, 2021 Rp28,95 triliun, 2022 Rp34,15 triliun, 2023 Rp31,88 triliun, dan 2024 Rp28,25 triliun.
Selain itu melalui Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) juga turut menyalurkan dananya kepada Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera), dengan total anggaran mencapai Rp105,2 triliun.
Kalau masyarakat tadinya mencicil bisa sampai 18 tahun, jadi bisa lebih pendek, dan dananya juga bisa bergulir untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah MBR lain. Meski begitu, Menkeu mengakui masih ada kebijakan yang perlu diperbaiki, termasuk harga rumah yang kian mahal serta kriteria MBR yang sejauh ini ditetapkan berpenghasilan maksimal Rp8 juta.
Amunisi yang disiapkan untuk menjaring nasabah KPR di segmen middle up yaitu program cicilan ringan, bunga rendah 3,25% fixed rate 1 tahun. Bahkan menyiapkan tenor KPR hingga 30 tahun. Ini tentunya ditujukan bagi para nasabah milenial atau first home buyer.
Minim Fasilitas
Untuk memahami lebih dalam tentang krisis kekurangan perumahan di Indonesia, penting untuk menggali akar permasalahan yang mendasarinya. Salah satu aspek utama yang perlu diperhatikan adalah kurangnya infrastruktur dasar seperti air bersih, sanitasi, dan akses transportasi yang memadai di sebagian besar kawasan perkotaan maupun pedesaan. Faktor-faktor seperti ini dapat menghambat pembangunan perumahan yang layak dan terjangkau bagi masyarakat, terutama di daerah-daerah yang terpinggirkan.
diposting oleh gandatmadi46@yahoo.com