25 Juni 2025 oleh Dambisa Moyo untuk Project Syndicate.
Meskipun daya tarik aset negara berkembang semakin meningkat, kombinasi dari meningkatnya imbal hasil obligasi pemerintah AS, melemahnya dolar, dan meningkatnya tarif menimbulkan ancaman yang signifikan terhadap perekonomian yang bergantung pada pertumbuhan yang didorong oleh ekspor. Penerbitan utang dalam mata uang lokal menawarkan sejumlah perlindungan, tetapi risiko ketidakstabilan keuangan tetap ada.
Sejak Presiden AS Donald Trump mengumumkan reciprocal tariffs pada tanggal 2 April, kenaikan tajam imbal hasil Treasury, ditambah dengan melemahnya dolar, telah mendorong evaluasi ulang aset global secara luas. Beberapa investor telah beralih ke aset pasar berkembang untuk melindungi diri dari volatilitas keuangan, mendiversifikasi portofolio mereka, dan meningkatkan keuntungan.
Meningkatnya daya tarik aset negara berkembang juga sebagian mencerminkan pemulihan ekonomi negara-negara seperti Argentina dan Meksiko. Namun, investor harus berhati-hati: ekonomi berkembang dapat sangat rentan terhadap meningkatnya ketegangan perdagangan dan depresiasi dolar dalam setidaknya tiga cara.
Pertama, lonjakan Treasury yields AS telah menaikkan biaya penerbitan utang berdenominasi dolar bagi pemerintah negara berkembang, terutama mereka yang berupaya menerbitkan obligasi baru atau membiayai obligasi kewajiban yang ada – dengan suku bunga yang jauh lebih tinggi.
Tren ini terus berlanjut meskipun spread obligasi negara berkembang semakin menyempit. Sejak akhir Maret, perbedaan yield antara obligasi negara berkembang dan obligasi pemerintah AS berjangka waktu sepuluh tahun telah turun dari sekitar 219 basis poin menjadi sekitar 175 basis poin. Namun, peningkatan tajam Treasury yields pemerintah telah lebih dari sekadar mengimbangi manfaat dari spread yang lebih ketat, yang mengakibatkan peningkatan untuk biaya pinjaman bagi banyak negara berkembang.
Meningkatnya biaya ini sangat memprihatinkan, mengingat utang negara berkembang telah membengkak hingga lebih dari $1 triliun dalam beberapa tahun terakhir. Sementara negara berkembang biasanya menerbitkan lebih sedikit utang berdenominasi dolar daripada negara maju, kelas aset utang negara berkembang sekarang mencakup sekitar 11% dari pasar obligasi global.
Pergeseran struktural utama dapat membantu mengurangi risiko ini. Meskipun aset pasar berkembang selama dua dekade terakhir, porsi utang negara yang diterbitkan dalam mata uang lokal semakin meningkat. Negara-negara ekonomi besar seperti Brasil, Tiongkok, dan India telah berhasil menerbitkan obligasi pemerintah dalam mata uang nasional mereka, sehingga mengurangi ketergantungan mereka pada pembiayaan berdenominasi dolar.
Selain melindungi pasar negara berkembang dari pergeseran kebijakan moneter AS, tren ini dapat membatasi risiko gagal bayar utang dan penularan keuangan yang meluas – pendorong utama guncangan sistemik pada tahun 1980-an dan 1990-an, termasuk krisis keuangan Asia tahun 1997 hingga terjadi krisis utang negara di Meksiko dan Rusia.
Meski demikian, risiko lokal masih ada. Misalnya, utang luar negeri Turki naik ke rekor $525.8 miliar pada September 2024, naik dari $512.8 miliar pada kuartal sebelumnya dan lebih dari 25% lebih tinggi daripada pertengahan 2020.
Yang pasti, pelemahan dolar juga dapat menguntungkan negara berkembang dengan mengurangi biaya mata uang lokal atas utang berdenominasi dolar yang beredar. Namun, hal ini diimbangi oleh suku bunga AS yang lebih tinggi, yang meningkatkan biaya pinjaman atas utang baru.
Baik atau buruknya perkembangan ini bergantung pada beberapa faktor: ukuran dan jatuh tempo utang dolar yang beredar, nilai dolar, perubahan suku bunga, dan kebutuhan untuk menemukan keseimbangan antara penerbitan utang baru dalam dolar dan mata uang lokal.
Kenaikan tarif Trump juga kemungkinan akan membebani perdagangan global, sumber kerentanan kedua bagi ekonomi pasar berkembang. Tarif bertindak sebagai pajak atas barang dan jasa yang dapat diperdagangkan, meningkatkan biaya dan menekan permintaan. Dengan konsumen Amerika yang menghadapi harga yang lebih tinggi karena tarif, menyusutnya permintaan akan menggerogoti pendapatan major emerging-market exporters, khususnya yang bergantung pada komoditas berharga dolar. Kerugian ini dapat diperparah oleh fluktuasi nilai tukar ketika pendapatan dikonversi kembali ke mata uang lokal.
Nigeria adalah contoh utama. Pada tahun 2023, total pendapatan ekspor negara tersebut mencapai $63.1 miliar, didorong oleh minyak mentah, gas minyak bumi, emas, pupuk nitrogen, dan biji kakao. Karena Amerika Serikat adalah salah satu tujuan ekspor utama Nigeria, apresiasi naira (mata uang Nigeria) sebesar 3% terhadap dolar sejak pertengahan Mei dapat mengurangi nilai mata uang lokal dari pendapatannya yang berdenominasi dolar.
Wajar jika diperkirakan bahwa cakupan tarif AS terhadap suatu negara akan mencerminkan kepentingan strategis ekspornya bagi kepentingan Amerika. Oleh karena itu, negara-negara yang mengekspor barang-barang non-strategis mungkin lebih rentan, sementara negara-negara yang menyediakan bahan baku penting yang tidak dapat diperoleh AS dengan mudah di tempat lain, seperti rare-earth minerals dari Cina, kemungkinan akan menghadapi lebih sedikit pembatasan.
Terakhir, penurunan dolar baru-baru ini telah mengikis nilai cadangan yang dimiliki oleh bank sentral dari negara2 lain. Sementara dolar yang lebih lemah berarti bahwa ekonomi pasar berkembang sekarang membutuhkan lebih sedikit mata uang domestik untuk membeli barang dan jasa yang dihargakan dalam dolar, penurunan nilai cadangan dan aset dalam denominasi dolar menimbulkan risiko serius. Tiongkok, misalnya, memegang hampir $3.4 triliun cadangan devisa non-emas, sementara total India adalah $600 miliar dan Brasil memiliki $327 miliar.
Khususnya, porsi dolar dalam cadangan devisa bank sentral telah menurun dari lebih dari 70% pada tahun 2000 menjadi di bawah 60% saat ini. Akibatnya, dampak pergeseran suku bunga AS dan fluktuasi mata uang pada masing-masing ekonomi pada akhirnya bergantung pada eksposur mereka terhadap aset berdenominasi dolar dan bagaimana kekuatan yang berlawanan, seperti kenaikan biaya pinjaman dan penurunan harga impor, berinteraksi.
Risiko-risiko ini dapat dan harus dikelola secara aktif. Namun, kombinasi dari kenaikan Treasury yields, biaya pembiayaan yang lebih tinggi, kerugian pendapatan terkait tarif, dan melemahnya dolar dapat menimbulkan masalah bagi banyak negara berkembang.
Utang negara berkembang telah berkinerja buruk selama 15 tahun terakhir, sebagian besar karena kekuatan dolar. Untuk waktu yang lama, Treasury yields yang rendah memungkinkan negara berkembang untuk meminjam dalam dolar dengan suku bunga yang menarik. Namun, rising yields yang meningkat, impor AS yang lebih rendah, dan dolar yang melemah menandakan berakhirnya sebuah era.
Note:
Dambisa Moyo (lahir 2 Februari 1969) adalah seorang ekonom dan penulis kelahiran Zambia yang aktif menulis tentang ekonomi makro dan pembangunan global. Ia saat ini merupakan anggota dewan komisaris Barclays Bank, Seagate Technology, Chevron Corporation, dan Barrick Gold. Ia sebelumnya pernah bekerja selama dua tahun di Bank Dunia dan selama delapan tahun di Goldman Sachs sebelum akhirnya menjadi seorang penulis dan pembicara.
Ia mengenyam pendidikan sarjananya dalam bidang kimia di Universitas Zambia. Ia lalu menyelesaikan pendidikan S1nya di Amerika Serikat setelah mendapat beasiswa di Universitas Amerika, Washington, D.C. Moyo lalu menyelesaikan pendidikan S2nya dan memperoleh gelar MBA dalam bidang keuangan di universitas yang sama pada tahun 1993. Ia lalu memperoleh gelar Master of Public Administration (MPA) dari Universitas Harvard pada tahun 1997. Pada tahun 2002, ia menyelesaikan pendidikan S3nya dalam bidang ekonomi di St Antony’s College, Universitas Oxford
Terjemahan bebas oleh gandatmadi46@yahoo.com