MAKING THE TRANSITION FROM MIDDLE INCOME TO ADVANCED ECONOMIES ( 3 ) and ( 4 )

By : Alejandro Foxley and  Fernando Sossdorf

Useful Lessons Based on the Experiences Described.

Jalan untuk pembanguan ekonomi yg dilalui lima negara tersebut diatas mengilustrasikan key factors yg menjelaskan fase pertumbuhan jangka panjang. Dalam waktu bersamaan, beberapa kesalahan kebijakan ekonomi  yang sedang berlangsung ( ketika artikel ini ditulis )   menyebabkan beberapa negara kembali pada periode tidak stabil, ditandai dengan kenaikan inflasi, kenaikan spending  yg berlebihan ( termasuk gaji ) dan kehilangan daya saing internasional. Sejumlah pelajaran dapat dipetik dari sukses dan gagal dalam design policy serta implementasi negara2 advanced economy diatas.

Sound fiscal policy not complemented by countercyclical monetary policy and financial regulation may lead to a boom-bust cycle.

Kasus2 baru Irlandia dan Spanyol diantara yang lain memberikan indikasi bahwa kebijakan ekonomi makro yg bagus yg tidak disertai supervisi dan regulasi yg memadai di sektor keuangan dapat menimbulkan kerusakan perekonomian yg serius. Irlandia dan Spanyol menghadapi jatuhnya harga nominal dan interest rate sewaktu akan mengadopsi ke euro. “ Keberhasilan “ mendorong pertumbuhan pinjaman  oleh perbankan domistik disertai secara bersamaan utang rumah tangga dan korporasi meningkat tinggi.

Sebagai contoh besarnya akumulasi imbalances,  supply kredit di Irlandia  mecapai 200 % dari GDP di tahun 2008, dibandingkan dengan rata2 pertahun hanya 40 % dari tahun 1970 ke 1994.  Investasi di sektor perumahan 5 % dari GDP pada pertengahan 1990 an; di tahun 2007 meningkat 12 % dari GDP.

Di Spanyol adopsi kedalam EU dibarengi dengan kombinasi kenaikan inflasi melebihi rata2 zona Eropa dan hampir tanpa kenaikan produktivitas sesudah 2000, sementara itu kenaikkan gaji melampaui rata2 gaji negara2 Eropa lainnya.  Berarti ongkos pekerja tumbuh hampir 30% sejak tahun 2000. Investasi bubble di sektor perumahan membawa utang rumah tangga ke level yang tinggi dan menjadi problem di sistem perbankan.

Seperti kasus kebijakan moneter dan regulasi di  Irlandia dan Spanyol membuktikan ketidak mampuan kandungan  financial bubble.  Indikator ekonomi makro tidak out of balance sampai tahun 2007 seperti ditunjukkan di figure 1.  Unit Labor Cost Growth (% )  dan Figure2. Total Factor Productivity Growth.  Budget equilibrium dan rendahnya utang pemerintah ( public debt )  di Irlandia dan Spanyol dicirikan  dengan dekade yg mendahulu  krisis saat ini. Namun  regulasi keuangan yg tidak memadai dan rendahnya interest rate membawa ke ekspansi kredit yang berlebihan,  yg menciptakan boom-bust cycle.

Labor market and exchange rate rigidities act as a constraint to maintain competitiveness

Dua faktor yg membawa ke krisis keuangan di Spanyol dan Portugal:  kekakuan dan tersegmentasi pasat tenaga kerja, dan fix exchange rate setelah masuk zona Eropa.  Kasus Spanyol menggambarkan ketidak sempurnaan dan kekakuan pasar tenaga kerja. Dua pertiga tenaga kerja memegang kontrak permanen, sangat ketat berserikat ( highly unionized ),  serta memanfaatkan tawar menawar dengan mekanisme  tersentralisir. Sepertiga pekerja mendapat kontral temporer yg tidak berserikat. Ongkos memperkerjakan dan memecat pekerja lebih rendah dibandingkan segmen pertama.  Dual dan highly segmented pasar tenaga kerja masih berjalan di Spanyol meskipun sudah dilakukan usaha sejak awal 1983,  untuk membuat lebih fleksibel dan kurang fragmented.

Outcome dari struktur ini  adalah pemisahan ( decoupling )  upah meningkat di sektor yg tidak berserikat ( unionized ) dari bisnis siklus  dan dari kenaikan produktivitas. Ketika upah naik diluar segmen ini  sebagai konsekwensi kekuatan union dalam negosiasi yg tersentralisir atau sektoral, penyesuaian melalui kenaikan inflasi dan memperhentikan pekerja dengan kontrak temporer.  Hasilnya target inflasi tidak ketemu, kenaikan tajam angka pengangguran, serta hilangnya daya saing perekonomian secara keseluruhan.

Figure 1. Unit Labor Cost Growth ( % )Total Factor Productivity Growthw ( % )

Salah satu problem utama sehingga negara2 tersebut berurusan selama krisis keuangan adalah mengenai fix exchange rate. Adopsi dengan euro berarti meninggalkan exchange rate sebagai alat untuk menyesuaikan ekonomi ketika menghadap shocks. Mengingat kebijakan moneter yg longgar pada bagian dari Sentral Bank Eropa  dan kurangnya kordinasi kebijakan fiscal Eropa, skenario untuk menaikkan imbalance telah ditentukan.  Kenaikkan gaji riil yang diluar garis  dengan produktivitas diterjemahkan ke inflasi yg tinggi serta apresiasi terhadap exchange rate riil. Apresiasi ini jelas berdampak kepada export Irlandia, Spanyol dan Portugal  dan dengan menerima menjadi anggota zona euro tidak bisa diikuti dengan melakukan tindakan  devaluasi.

Human capital and innovation policies are key to sustained long-term growth.

Finlandia, Irlandia dan Korsel mengadopsi secaca aktif kebijakan human capital dan inovasi. Langkah2 itu menjadi fondasi pada masa transisi menuju knowledge-based economies. Reformasi sistem edukasi dimulai di tahun 1950an dan 1960an pada level primer, segera diikuti dengan perubahan di tingkat ke dua ( secondary ) dan tingkat pendidikan tinggi.  Reformasi yg berkembang secara alami menjadi faktor kunci dari kemajuan mereka. Sektor tertier ( ke tiga ) dorongan extra terlibat dalam suatu dialog permanen dengan kalangan bisnis, sehingga menyesuaikan kurikulum dengan permintaan korporasi untuk menghasilkan tenaga kerja terampil yg lebih tinggi lagi.

Di Irlandia reformasi edukasi dibarengi dengan mendirikan technical college yg sasarannya melatih tenaga kerja dengan ketrampilan yg siap pakai ( applied skill ). Finlandia melakukan reformasi di level primary dan secondary di tahun 1970an dengan menjalankan wajib belajar 9 tahun dan pada akhir 1980an  secondary education dibagi dalam vocational ( teknis ) dan academic. Di tertiary education polytehnik didirikan pada awal 1990an untukmembangun human capital secara spesifik supaya bisa memenuhi kebutuhan regional dan bisnis.

Korsel  program pertama wajib belajar dimulai 1954 dan fokus pada enam tahun pendidikan dasar.  Di tahun 1970an melakukan reformasi vocational dan technical secondary education khususnya dibidang science dan teknologi, dilakukan , mengingat pertumbuhan yang kuat di sektor chemical dan heavy industry.

Dalam kebijakan inovasi sementara itu ketiga negara mempunyai pilihan berbeda. Finlandia membangun suatu endogenous innovation model, adalah kebijakan bertahap yang akan mendesign institusi pemerintahan baru atau reformasi apa yang dimiliki untuk mendukung  technical development serta upgrade perusahaan2 domistik, yang menjadi fondasi daya saing Finlandia.

Untuk bagian ini sejak 1970an Irlandia menjalankan suatu model untuk membawa masuk teknologi melalui kebijakan menarik masuknya foreign direnct investment. Dengan memberikan insentif seperti low corporate tax, menyediakan sejumlah fasilitas  untuk  kebutuhan operasional, dan ekspansi secara cepat ketersediaan tenaga kerja terampil ( qualified labor ),

Di Korsel kebijakan industri menjadi inti dari pembangunan ekonomi bidang  teknologi, sektor export menjadi fokus “ technology upgrade “.  Untuk suatu periode waktu yang panjang Industri Korsel sangat diproteksi dibawah market discipline. Yaitu  suatu proteksi dan diberi subsidi yg disyaratkan agar mampu berkompetisi di pasar export  internasional  secara bertahap makin meningkat.

Pengeluaran untuk R & D yg dilakukan ketiga negara ini secara persentasi ditampilkan di tabel 9. Finlandia dan Korsel membelanjakan lebih dari 3 % GDP untuk R&D.  Hal itu menjelaskan paling tidak bagian dari tempat2 yang relatif tinggi pencapaiannya dibandingkan dengan  inovasi penting dalam rangking sampel seperti terlihat di tabel 9.

Table 9. R & D Expenditure, Private and PublicSocial and political consensus provide the most solid foundation for launching rapid growth in the economy.

Masa transisi mereka untuk membangun ekonomi, Finlandia, Irlandia dan Korsel menghadapi berbagai variasi dan sering skenario yg kompleks oleh politik yang tidak stabil., protes sosial, macroeconomy imbalances. Bagaimanapun ketika beberapa situasi kritis ditindaklanjuti dengan munculnya konsensus sosial dan politik  dengan tujuan stabilisasi ekonomi dan restore daya saing maka  fase jangka panjang pertumbuhan yang tinggi dan stabil akan mengikuti.

Sebagai contoh dan telah disebut sebelumnya ekonomi Finlandia melawati krisis yang dalam pada awal 1990an. Resolusi dari krisis di fasilitasi oleh konsesus tripartite yang diusulkan pemerintah.

Langkah pertama untuk mencapai persetujuan mengenai strategi pembangunan jangka panjang. Untuk mencapai tujuan ini dibentuk komisi bipartisan di badan legislatif yg mampu untuk menyetujui strategi pembangunan jangka panjang. Langkah kedua adalah melengkapi dengan rencana dua puluh tahun yang disusun Menteri industri dan perdagangan di tahun 1993 untuk membangun delapan productive cluster, dengan broad based support  dari pemberi kerja dan pekerja, artinya melakukan definisi kebijakan baru bidang industri ( new industrial policy ). Langkah ketiga sentralisasi negosiasi mengenai gaji, mengelola sebagai bagian dari national agreement yang mampu mendukung pembekuan sejarah gaji di tahun 1992 dan 1993.

Broad base konsensus sosial ini berbasis untuk percepatan dan mendalam dan berkelanjutan restrukturisasi yang produktif  paska krisis.  Sebagai hasilnya export yang sarat teknologi mulai memimpin pertumbuhan nasional.  Sebelum productive restructuring  di tahun 1990 export Finlandia terutama dari sektor kehutanan dan industri kertas atau 40% dari total. Tahun 2004 dua industri ini mewakili 20 % dari total sementara export dari electrical machinery dan information technology tumbuh dari 8,5 % di tahun 1990  tumbuh 24,4 %  di tahun 2004. Melalui restrukturisasi Finlandia menjadi lebih terbuka dan competitice di world economy, dengan volume perdagangan ( export dan Import ) naik dari 47 % di tahun 1990 menjadi 59 % di 2006.

Pada saat yg sama pemerintah Finlandia mencapai broad base social consensus untuk mendukung proses pengakuan masuk ke EU yang secara resmi diminta tahun 1992, ditengah2 krisis. Keanggotaan EU memperkuat tambahan internasionalisasi perusahaan2 dan berhasil menarik dalam jumlah besar foreign direct investment masuk ke perekonomian Finlandia.

Kasus Irlandia lebih mix. Lemahnya kinerja sampai tahun 1987 menciptakan kondisi Social Partnership Agreement pertama, modalitas institusi baru untuk mendapatkan dukungan luas mengahadapi penyesuaian politik yang keras. Social Agreement tahun1987 mencakup 1998 – 1990 penyesuaian gaji berlaku bagi sektor privat maupun pemerintahan. Persetujuan ini membatasi kenaikan gaji 3,5 % pada periode itu sementara inflasi tidak kurang dari 3,5% per tahun ( table 6 ). Reformasi pajak dijalankan efektif tahun 1989. Dampak utama dari reformasi adalah pengurangan kenaikan ( marginal ) tax rates kepada rumah tangga. Maximum rates pada 1984 – 1985 dikurangi menjadi 56% menjadi bagian dari Social Egreement.  Sikap moderat terhadap kenaikkan gaji di tambah dengan pemotongan pajak pendapatan maka pendapatan rumah tangga naik dalam ujud riil.

Boom perekonomian mengikuti. Pengangguran yang pada tahun 1986 mencapai 16 % turun ke 4 % pada tahun 2000. Pertumbuhan tahunan untuk barang2 dan jasa export dari 8,3 % dalam tahun 1980 – 1989 menjadi 14,7 % dalam tahun 1990 – 2000, dan secara keseluruhan ekonomi tumbuh mendekati 7 %  pertahun dalam periode yang sama ( table 6 ).

Studi kasus dari Korsel juga menarik. Paska krisis 1997 – 1998 dimulai reformasi tenaga kerja berbasis suatu konsensus antara pemberi kerja, pemerintah dan pekerja. Pernyataan bersama Tripartite yang fair berperan mengatasi beban dalam proses mengatasi krisis. Berisi secara detail kesepakatan sosial, yang menciptakan pasar tenaga kerja lebih fleksibel dalam rangka to restore competitiveness. Hal itu diikuti dengan sejumlah reformasi di sektor keuangan ( diantaranya pembentukan institusi yang bertanggungjawab reformasi regulasi keuangan termasuk sejumlah kesalahan/oversight serta menaikkan persyaratan cadangan modal/reserve ) serta sektor bisnis ( persyaratan2 untuk meningkatkan management transparance dan akuntable ). Reformasi2 ini berbuah. Dari tahun 2000 -2008 ekonomi Korsel tumbuh rata2 pertahun 5,3 % dengan sektor export naik dari 32 % GDP di tahun 1007 menjadi 53 % GDP di tahun 2008 ( see table 5 ).

Dapat disimpulkan, konsensus sosial dan politik yang dicapai Finlandia, Irlandia dan Korsel untuk hal2 tertentu yang kritikal selama krisis telah membuktikan menjadi faktor kunci proses restrukturisasi dan moderenisasi perekonomian mereka. Sangat kontras dengan krisis yang sedang berjalan di negara2 sekitarnya di Eropa, konsensus tidak hadir, berarti mmperpanjang periode pertumbuhan yang sangat lamban serta tingginya angka pengangguran.

MAKING THE TRANSITION FROM MIDDLE INCOME TO ADVANCED ECONOMIES ( 4 )

By : Alejandro Foxley and  Fernando Sossdorf

                                         How Relevant Are These Lessons for Middle – Income Countries ?

Seksi yang lalu memberikan identifikasi pembelajaran dari sejumlah negara  yang sukses masa transisi dari middle income menuju advanced economy.  Pengalaman apa saja berkaitan dengan agenda paska krisis yang harus dilakukan?

Good macro management during the crisis is not enough.

Management ekonomi makro yang memadai yang dilakukan sebagian dari  mayoritas negara2 middle income untuk menghindari terseret kedalam krisis keuangan lebih dalam bersama sama degan negara2 maju. Negara2 Asia Timur dan  Amerika Latin melakukan akumulasi cadangan internasional, mengurangi utang pemerintah sebagai bagian dari GDP, serta melakukan countercyclical kebijakan fiskal,  saving secara significant bagian dari extra pendapatan yg tercipta karena percepatan ekspansi perekonomian pada periode boom mendahului krisis.

Seperti apakah situasi ekonomi makro solid yang dapat terjaga paska fase krisis, dua tipe resiko yang dapat muncul. Pertama cara paradoks menangani krisis. Negara2 middle income memiliki indikator positif baik yang sedang berjalan maupun proyeksi terhadap pertumbuhan ekonomi,  balance of payment dan fiscal balance, dan sebagai tambahan memiliki utang pemerintah yang moderat khususnya ketika dibandingkan dengan negara2 maju.  Situasi ini relatif kuat dalam indikator ekonomi makro mulai menarik secara besar2an external capital, suatu proses likwiditas, suatu proses  yang diperkuat oleh interest rate rendah. Dalam beberapa kasus kelebihan likwiditas diciptakan oleh kebijakan quantitative easing di negara2 maju seperti kasus yang terjadidi perekonomian US ( see table 10 ).

Table 10. Capital Inflow

Tipe resiko yang muncul lainnya dengan floating exchange rate. Kenaikan capital inflow ( masuk ke dalam negeri ) menyebabkan exchange rate terapresiasi ( naik )  dan mendorong pemberian kredit internal kepada konsumen serta sektor konstruksi. Hal ini membawa ke situasi belanja domistik eksesif dan muncul tekanan inflasi baru ( inflationary pressure ). Apakah trend ini kontinu, resiko utamanya telah diketahui: suatu boom fed (  makanan ) oleh demand yg eksesif dari pemerintah dan privat ( overindebtedness ). Apa yang perlu dilakukan adalah dibawa ke kondisi resesi ( recessionary adjustment ) seperti dilakukan di negara2 advanced economy dewasa ini. Meskipun floating exchange rate dibandingkan fix exchange rate yang berlaku  di zona Eropa resiko boom bust cycle tidak tereliminasi ( tidak berkurang ).

Mengurangi resiko itu dibutuhkan antipasi yang akhirnya terjadi akumulasi ketidak stabilan ekonomi. Countercyclical kebijakan fiskal akan membantu mengembalikan keseimbangan ( economic ballances ). Skenarionya, diperlukan memotong belanja pemerintah atau menaikkan pajak – sesuatu cara yang paling efektif  mengatasi demand dalam negeri yang kelewat tinggi ( internal exessive demand ). Namun  akan membuktikan hal itu tidak cukup jika problem tidak di lawan sampai ke akarnya:( see table 10 ).

Ekspansi kredit yang tidak terkontrol menghadirkan eksesif capital inflow ke dalam negeri. Untuk kasus ini maka countercyclical pengelolaan neraca capital di perlukan (  countercyclical  capital account management is needed ). Persyaratan capital coefficient terhadap Bank harus dinaikkan selama fase ekspansi,  sebanyak persyaratan provisi untuk menangani bad loans. Kontrol terhadap capital adalah instrumen lainnya untuk dipertimbangkan.

Debat yang baru berlangsung mengenai isu ini selalu menyimpulkan dengan keharusan menjalankan   macroprudential measures  ( langkah2 kehati hatian ), namun tingkat pelaksanaan atau kekhususan tidak cukup – tidak dieliminasi dan tidak dikurangi perihal intinya ( substansi ) tentang resiko terjadinya boom and bust. Negara12 seperti Brasilia, Chile, Peru dan Colombia menghadapi dilema ini dan belum berhasil menemukan formula untuk mengatasinya. Fakta, laporan IMF terkini memberi peringatan excessive credit expansion kepada negara Brasilia dan Peru, yang mengalami juga inflationary pressure dan kemungkinan boom harga2 aset.

Resiko seperti ini bisa dibuat parah terhadap negara2 exporter komoditas.  Harga2  pada level tinggi karena demand dari China serta negara2 Asia ( see figure 3 ). Jika pendapatan yang tinggi karena kenaikkan harga export tetapi tidak normal ini, tidak di netralisir dengan kenaikan reserves ( cadangan ) atau saving dalam bentuk foreign fund maka cenderung akan makin memburuk.

Fig 3. Quaterly Growth in Commodity PricesSebagai kesimpulan, paska krisis di negara2 middle income membutuhkan tambahan instrumen untuk menstabilkan ekonomi tanpa mengorbankan pertumbuhan ekonomi masa depan mereka. Flexible exchange rate membantu tetapi tidak cukup.  Diantara tanbahan instrumen maka management countercyclical terhadap neraca capital berperan secara fundamental, bersama sama dengan heterodox memungkinkan melakukan kontrol capital inflow pada periode boom. Menciptakan dana mandiri ( sovereign fund ) akan menyelamatkan sebagai tambahan pendapatan, yg didapat dari kenaikkan harga barang2 export yang tidak normal, juga menjadi instrumen penting untuk menceptakan stabilitas ekonomi makro bagi negara2 yg memiliki natural resources dan raw materials, dalam kasus ini adalah negara2 Amerika Selatan.

Sebagai tambahan, regulasi kredit perbankan dan non bank serta antar bank dan non bank  yang efektif, ditambah dengan langkah hati2 untuk menghindari hutang yang berlebihan, menjadi tantangan yang harus dilaksanakan bagi negara2 middle income, demikian halnya dengan beberapa negara2 maju yang trajectory ( lintasan sejarah ekonomi ) dikemukakan di seksi terdahulu. Krisis keuangan yg sekarang dihadapi Irlandia, Spanyol, Portugal dan Yunani confirm tanpa ragu2 bahwa negara2 tersebut tidak memiliki regulasi yang cukup ( lack adequate regulation) mengenai aliran finansial.

Eliminating excessive rigidity in the labor and exchange markets require to stay competitivewithout compromising growth.

Diperlakukan fix exchange rate sebagai aturan  penting melakukan integrasi ketika membentuk zona eropa mendorong munculnya rigidity ketika akan melakukan penyesuaian2 kebijakan ekonomi menghadap shock external maupun internal. Dalam situasi ini akibatnya devaluasi kurs bukan opsi yang tersedia ( kecuali keluar dari EU ), dan seluruh penyesuaian dilakukan dengan cara memotong gaji, mengurangi spending sektor pemerintah dan privat atau menaikkan pajak.

Kesulitan2 politis dan praktis untuk mencapai hasil nyata dengan cepat  untuk menstabilkan ekonomi dan membawa mereka meraih kembali competitiveness ( daya saing ) sebagai bukti adalah pengalaman Yunani, Spanyol, Portugal  dan Irlandia menghadapi krisis saat ini. Pengalaman exchange rate pegged to dollar ( di cantolkan ke dollar )  atau dengan beberapa mata uang asing lainnya tidak menghasilkan hasil yang postif seperti di lakukan di negara2 Amerika Latin atau  negara2 Asia Timur. Krisis keuangan yang terjadi di Amerika Latin pada tahun 1980an dan AsiaTimur pada tahun 1990an telah diperparah oleh kebijakan  yang terlalu rigid ( excessively exchange rate policy ).

Sektor lain yang menghadapi problem parah  diakibatkan  dari rigiditas seperti hilangnya daya saing dinegara2 maju dan juga negara2 middle income adalah sektor pasar tenaga kerja.  Dalam studi kasus disini di obsevasi  dua tipe dampak  sebagai konsekwensi dari eksesif rigiditas dan regulasi pasar tenaga kerja. Pertama trend kenaikan gaji terlepas ekonomi dalam kondisi siklus, tuntutan kenaikan gaji yg diorganisir serekat buruh, sebab secara de facto pekerjaan digaransi dan ongkos PHK tinggi.

Pekerja2yang terorganisir ini memiliki kapasitas untuk menggangu lewat saerekat pekerja yang mewakili mereka. Kasus ini terjadi di Eropa. Dalam kasus2 penyesuaian melalui pemberentian secara masal terhadap pekerja yang tidak berserikat dan terhadap pekerja temporer. Spanyol dengan tingkat pengangguran diatas 20 % dari jumlah tenaga kerja adalah contoh nyata dari alternatif tersebut.

Pasar tenaga kerja  yang kurang rigid dan kurang tersegmentasi memungkinkan dilakukan penyesuaian2 sehingga mudah merubah dan sedikit berdampak negatif. Hal itu butuh reformasi yang bisa membawa konsensus untuk  membuat kontrak kerja, mmotong biaya PHK tetapi menaikkan dan memperbaiki asuransi pengangguran  serta bentuk social protection lain kepada pasar tenaga kerja formal dan non formal.  Berdasarkan pengalaman di negara2 yang diobservasi disini, prospek berkaitan dengan menjalankan reformasi secara politis dan sosial  menuju pasar tenaga kerja yang fleksibel tidak berlangsung lama dan tidak bagus, kecuali pemahaman kolektif tentang krisis nasional yang mendesak para aktor yang berbeda setuju dengan agenda perubahan termasuk pasar tenaga kerja.

It is impossible to remain competitive in global markets without making massive investments to improve the quality of human resources and the economy’s capacity to innovate.

Negara2 yang paling sukses disini adalah yang melakukan investasi lebih banyak dan memulai sedini mungkin untuk menaikkan cakupan dan kualitas pendidikan di semua level. Finlandia dan Korsel dan Irlandia sebagai tambahan  adalah yang paling sukses menciptakan institusi milik pemerintah dan privat untuk mendorong kapasitas inovasi perekonomian mereka. Table  9 memperlihatkan  argumen tersebut dengan membandingkan rangking dalam kualitas pendidikan dan spending serta investasi di bidang research and development  tehadap negara2 maju, dengan sejumlah negara2 middle income yang terpilih.

Dari tabel indikator  tersebut confirm terdapat gap yang lebar  yang tetap berlangsung antara negara2 maju dengan negara2 middle income mengenai investasi human capital dan innovation. Keberadaan gap2 ini serta kesulitan untuk merapatkan gap tersebut adalah sejumlah faktor yang dapat menyebabkan negara2 middle income jatuh kedalam middle income trap, situasi yang akan membuat mereka lebih sulit menuju advanced economy dalam dekade mendatang.

Dampaknya,  transisi menuju innovation economy mensyaratkan highly qualified workforce  serta  spending yang teus naik secara kostan  dalam inovasi dan development.  Hal ini menjadi isu sentral negara2 middle income.

The capacity to forge across the board agreements to undertake the transfomations required to become advanced economies is what make the difference between the success or the stagnation of he process.

Sebagaimana ditulis diatas, di saat mengalami krisis ekonomi dan sosial yang dalam Finlandia, Korsel dan Irlandia telah menciptakan kondisi untuk mengukuhkan negosiasi berbasis across the board  yang menghasilkan broad based agreement tidak sebatas menangani krisis tetapi juga menciptakan perubahan sebagai syarat memulai good boom pertumbuhan ekonomi, export yang dinamis, penurunan secara significant inflasi dan pengangguran.

Irlandia mulai mengelola transformasi pada akhir 1980an dengan Social Partnership Agreement, yang selalu diperbarui setiap tiga tahun.  Finlandia mendapat kemajuan dalam  cross cutting agreement selama pertengahan tahun 1990 untuk mengatasi kolapsnya pasar  export  utamanya yaitu Uni Sovyet serta memanasnya ekonomi  dalam tingkat sebelumnya. Korsel berhasil mencapai agreement antara sektor privat dengan pekerja yang terorganisir untuk menangani krisis keuangan Asia pada akhir 1990. Hasilnya perekonomian terbuka yang makin besar, kenaikan gaji secara moderat,  ekspansi secara significant jaringan kesejahteraan sosial ( social security ), sebelum krisis cakupannya kurang di Korsel dan negara2 Asia Timur lainnya.

Tantangan paling kompleks dimasa depan yang dihadapi negara2 middle income adalah meraih basic across the board dan bipartisan agreement untuk menuju suatu ekonomi yang lebih efisien dan kompetitif. Pengalaman menunjukkan ruang untuk negosiasi persetujuan transformasi  adalah fasilitasi, paradoxically ketika  masyarakat dan para aktor di dunia politik mempersepsikan bahwa krisis menjadi negative sum game dimana setiap orang rugi jika mereka tidak berkontribusi menemukan jalan keluar.

Problemnya semakin kompleks ketika situasinya berlawanan, ketika persepsinya pada umumnya bahwa yang sukses mengatasi krisis adalah mereka yang memiliki akses dengan ekonomi yang berhasil mengatasi krisis keuangan dan yang sedang tumbuh melebihi kewajaran. Persetujuan transformasi yang dibutuhkan untuk memperpanjang boom dari waktu ke waktu ternyata sulit dicapai  dan jarang muncul dibandingkan  yang ekonominya kolaps disebabkan imbalances ( ketidak seimbangan ) yang terakumulasi selama fase ekspansi yang cepat.   Sukses dalam melintasi jalan menuju advanced economy negara2 middle income mengandaikan suatu fase yg kompleks dari reformasi ekonomi mikro  yang terus menerus  ( uninterrupted ) serta reformasi secara kontinu meningkatkan kualitas sumber daya manusia, keputusan investasi,  kapasitas menambah nilai hasil produksi ( barang dan jasa )  serta diversifikasi produk2 sehingga mampu bersaing di dunia internasional.

Persoalannya setiap reformasi membutuhkan  ongkos  terhadap satu kelompok atau lainnya khususnya mereka yang secara potensial kehilangan income, kekuasaan, atau status oleh perubahan struktur ekonomi. Bagaimana ongkos ini dibagi menjadi fokus dalam melakukan negosiasi across the board agreement.

Sejumlah pengalaman yang sedang dihadapi negara2 sekitar Eropa beragam tentang kemampuan memadukan agreement menangani krisis dan paska krisis. Di Irlandia dan Portugal tidak lengkapnya agreement menyeret pemerintahan jatuh. Berbeda dengan negara2 Baltic, pemerintahan dipilih kembali dengan dukungan secara masif  meskipun secara fakta pemerintah2 tersebut melakukan perubahan struktural yang mendalam dengan ongkos sosial yang tinggi.

Mendapatkan pemahaman yang lebih baik dari hasil kedua menjadi lebih mungkin dibandingkan yang pertama adalah tantangan mendasar bagi negara2 middle income, tidak sekedar menghindari middle income trap tetapi juga  mempercepat pertumbuhan secara kontinu.  Kualitas politik dan kapasitas mencapai konsensus tidak diragukan akan membantu membawa ke outcome ke dua dengan sukses. .

Terjemahan bebas oleh gandatmadi46@yahoo.com

( to be continued )

Post navigation

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *