Mencoba melihat kasus Bank Bali dari dua sisi.

Rudy Ramli

Hukumonline tgl 22 Februari 2001 – Di persidangan kasus Bank Bali dengan terdakwa Syahril Sabirin, Rudy Ramli sebagai pemilik Bank Bali menjelaskan secara kronologis pencairan klaim Bank Bali terhadap BDNI.

Dalam kesaksiannya selama hampir 4 jam di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 21 februari 2001, Rudy Ramli yang mantan Direktur Utama Bank Bali, menjelaskan usaha-usaha yang telah ditempuh pihak Bank Bali dalam rangka mencairkan klaim tagihannya kepada Bank BDNI.

Tercatat pejabat dari World Bank dan pengacara Lucas SH pernah dimintai bantuan oleh Bank Bali agar tagihan mereka bisa dicairkan. Namun, pihak BI maupun BPPN tidak pernah meloloskan tagihan tersebut dengan berbagai alasan.

Di tengah keputusasaanya, Rudy Ramli akhirnya menandatangani perjanjian cessie dengan PT Era Giat Prima, perusahaan milik Djoko S Tjandra. Rudy mengaku tidak pernah kenal dan tidak tahu-menahu sebelumnya dengan Djoko Tjandra.

Rupanya, perjanjian cessie dengan EGP memang cespleng. Karena sehari setelah ditandatangani, pada 12 Januari 1999 ada surat dari BPPN yang menyebutkan kalau klaim Bank Bali sedang dipelajari. Padahal sebelumnya tolakan demi tolakan lah yang dijumpai.

Pertemuan di Hotel Mulia pada 11 Februari 1999 juga memegang peranan penting dalam kasus ini. Menurut kesaksian Rudy Ramli, pada sidang tanggal 11 tersebut dirinya ditelepon oleh Djoko Tjandra yang meminta agar Bank Bali mengirimkan orang yang mengerti masalah klaim tersebut ke Hotel Mulia pada sore harinya. Rudy mengutus Firman Soetjahja, saat itu wakil direktur Bank Bali beserta Irfan Gunardi untuk hadir di pertemuan tersebut.

Dari hasil pertemuan tersebut, Firman melaporkan kepada Rudy kalau klaim Bank Bali sedang diproses. Menurut Irfan pertemuan di Hotel Mulia tersebut juga dihadiri oleh Tanri Abeng, Djoko Tjandra, Syahril Sabirin dan Pande Lubis serta satu orang yang tidak dikenal oleh Firman dan Irfan.

Kenyataannya,walaupun ada pertemuan di Hotel Mulia tersebut, proses pencairan klaim juga tidak mudah. Bahkan di bulan April, Rudy sempat meminta kepada PT EGP agar perjanjian cessie yang telah mereka buat dibatalkan saja karena sudah tidak ada gunanya mengingat Bank Bali statusnya sudah dalam rekapitalisasi saat itu.

Barulah pada 2 Juni 1999, berdasarkan laporan bagian treasury Bank Bali pada 1 Juni ada berita kalau di rekening Bank Bali di BI dilaporkan ada tambahan dana yang besar jumlahnya, sekitar Rp904 miliar. Rudy tidak tahu-menahu bagaimana proses sampai akhirnya klaim itu bisa cair.

Kabar24.com, JAKARTA – Senin (22/7/2019).  — Mantan Direktur Utama Bank Bali Rudy Ramli melaporkan dugaan kerugian negara kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Hal itu terkait dengan penjualan Bank Permata kepada Standard Chartered Bank (SCB).

Dalam laporannya, Rudy mengatakan bahwa pemerintah menggelontorkan Rp11,9 triliun untuk melebur Bank Bali dan empat bank lain menjadi PT Bank Permata Tbk. Namun kemudian emiten bank berkode BNLI itu dilepas oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) kepada SCB senilai Rp2,7 triliun.

“Sehingga ada indikasi kerugiaan negara di dalam proses rekapitalisasi, merger dan pelepasan saham PT Bank Permata Tbk.,” katanya dalam keterangan tertulis, Selasa (23/7/2019).

Motivasi Rudy Ramli melakukan langkah tersebut atas kasus yang terjadi pada 20 tahun lalu itu semata-mata demi mencari keadilan. Dia pun menggandeng Yusril Ihza Mahendra guna keperluan tersebut. Saya siap dengan kemampuan dan profesionalitas saya, membantu Rudy menuntut haknya yang merasa didholimi,” ujar Yusril.

Djoko S Tjandra

Harian Kompas, 24 Februari 2000: Direktur PT Era Giat Prima itu dijerat dakwaan berlapis oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ridwan Moekiat

Dalam dakwaan primer, Djoko didakwa telah melakukan tindak pidana korupsi berkaitan dengan pencairan tagihan Bank Bali melalui cessie yang merugikan negara Rp 940 miliar. Jaksa Ridwan Moekiat juga menyebutkan soal adanya pertemuan 11 Februari 1999 di Hotel Mulia yang dipimpin AA Baramuli yang membicarakan soal klaim Bank Bali.

Namun, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang diketui oleh R Soenarto memutuskan untuk tidak menerima dakwaan jaksa itu. Alasannya, soal cessie bukan perbuatan pidana melainkan masalah perdata, seperti diberitakan Harian Kompas, 7 Maret 2000. Dengan demikian, Djoko yang akhirnya terbebas dari dakwaan telah melakukan tindak pidana korupsi ini tidak bisa lagi dikenai tahanan kota.

Atas putusan itu, JPU Moekiat mengajukan perlawanan (verset) ke Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta. Menurut Panitera PN Jakarta Selatan M Jusuf, PT DKI Jakarta tanggal 31 Maret 2000 memutuskan, dakwaan JPU dibenarkan dan pemeriksaan perkara Joko Tjandra dilanjutkan. Oleh karena itu, pemeriksaan perkara dilanjutkan kembali dengan acara pemeriksaan saksi pada 1 Mei 2000, seperti dibertiakan Harian Kompas, 2 Mei 2000.

Dalam sidang itu, JPU Moekiat menghadirkan empat saksi, yaitu dua Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Iwan Ridwan Prawiranata dan Subarjo Joyosumarto serta dua staf BI, Dragon Lisan dan Adnan Djuanda. Namun, Djoko kembali lolos dari jerat hukum. Majelis hakim menilai kasus Bank Bali dengan terdakwa Djoko Tjandra bukan merupakan kasus pidana melainkan perdata.

Dalam putusan itu, disebutkan bahwa dakwaan JPU yang menyatakan bahwa Djoko telah mempengaruhi para pejabat otoritas moneter guna memperlancar pencairan klaim Bank Bali pada Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), sama sekali tidak terbukti. Berdasar keterangan para saksi dari kalangan otoritas moneter, dalam hal ini BI dan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) di persidangan, tidak ada satu pun yang menyatakan telah dipengaruhi oleh Djoko.

Sementara mengenai pertemuan tanggal 11 Februari 1999 di Hotel Mulia, yang disebut adanya usaha Djoko untuk memperlancar pencairan klaim Bank Bali, tidak terbukti mengingat hanya satu orang saksi, yaitu Firman Soetjahya, dikutip dari Harian Kompas, 19 Agustus 2000.

Atas putusan itu, Jaksa Agung Marzuki Darusman menyatakan, dirinya tidak menduga Djoko akhirnya dinyatakan bebas dari tuntutan hukum. “Putusan itu di luar dugaan. Sama sekali di luar dugaan. Tetapi ini tak menghentikan proses hukum, karena belum selesai. Karena itu, Kejaksaan akan melanjutkannya dengan kasasi,” ujar Marzuki.

Dalam kasasi itu, jaksa juga menguraikan kelemahan putusan majelis hakim yang menilai perjanjian cessei yang dituduhkan kepada Djoko adalah murni perdata. Namun, lagi-lagi majelis hakim menolak kasasi yang diajukan oleh Kejaksaan Agung itu.

Pada 15 Oktober 2008, jaksa mengajukan PK terhadap putusan kasasi MA terkait dengan terdakwa Djoko yang dinilai memperlihatkan kekeliruan yang nyata. Menurut jaksa, putusan majelis kasasi MA terhadap Djoko, Pande, dan Syahril berbeda-beda. Padahal, ketiganya diadili untuk perkara yang sama, dalam berkas terpisah. Harian Kompas, 12 Juni 2009 memberitakan, Mahkamah Agung menjatuhkan hukuman terhadap Djoko dan mantan Gubernur Bank Indonesia Syahril Sabirin, masing-masing dengan pidana penjara selama dua tahun.

Mereka terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam perkara pengalihan hak tagih piutang (cessie) Bank Bali. “MA juga memerintahkan dana yang disimpan dalam rekening dana penampungan atau Bank Bali sebesar Rp 546 miliar dirampas untuk negara,” kata Kepala Biro Hukum dan Humas MA Nurhadi.

Putusan dijatuhkan majelis peninjauan kembali yang diketuai Djoko Sarwoko, dengan anggota Komariah E Sapardjaja, Mansyur Kertayasa, I Made Tara, dan Suwardi. MA juga memerintahkan agar dana yang disimpan di rekening dana penampungan atau Bank Bali sebesar Rp 546 miliar dikembalikan kepada negara.

Akan tetapi, Djoko diketahui telah melarikan diri ke Papua Nugini sebelum dieksekusi. Harian Kompas, 20 Juni 2009 memberitakan, kaburnya Djoko diduga karena bocornya putusan peninjauan kembali oleh MA. Ketua MA Harifin A Tumpa mengakui kemungkinan bocornya informasi putusan. Namun, informasi yang dibocorkan belum tentu akurat. Harifin menyatakan, tidak mungkin bocoran informasi itu berasal dari majelis hakim yang menangani peninjauan kembali Joko Tjandra.

Pada 2012, Djoko diketahui telah berpindah kewarganegaraan menjadi warga Papua Nugini. “Yang bersangkutan (Djoko S Tjandra) berada di luar negeri dan pindah kewarganegaraan. Tentu akan ditindaklanjuti proses meminta pertanggungjawaban yang bersangkutan terkait dengan kasus yang sekarang dihadapinya,” ujar Juru Bicara Presiden Julian Aldrin Pasha, dilansir dari pemberitaan Harian Kompas, 19 Juli 2012.

diposting oleh gandatmadi46@yahoo.com

 

 

 

Post navigation

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *