Oleh Ricardo Hausmann, eks menteri perencanaan Venezuela and eks chief economist pada the Inter-American Development Bank, professor di Harvard Kennedy School dan Director of the Harvard Growth Lab. Jan 26, 2023
Selama beberapa dekade setelah revolusi Reagan-Thatcher dan munculnya Konsensus Washington pada tahun 1980an, ortodoksi ekonomi alergi terhadap kebijakan yang menyiratkan “memilih pemenang,” dibandingkan membiarkan pasar yang memutuskan. Namun kini kita tahu bahwa pertanyaan sebenarnya bukanlah apakah kebijakan tersebut harus ada, namun bagaimana cara mengelolanya.
Setelah berpuluh-puluh tahun terpinggirkan dalam pemikiran ekonomi, kebijakan industri kini kembali bangkit. Dengan semakin banyaknya negara yang mengambil langkah-langkah untuk mendukung industri tertentu dan membangun industri baru, kebangkitan kebijakan industri menjadi topik utama pada pertemuan Forum Ekonomi Dunia di Davos tahun ini.
CHIPS dan Science Act di Amerika Serikat yang bernilai $280 miliar adalah salah satu contohnya. Undang-undang baru ini bertujuan untuk memperluas industri semikonduktor AS guna mengurangi ketergantungan Amerika pada Tiongkok dan memastikan supremasi teknologinya. Demikian pula, Undang-Undang Pengurangan Inflasi atau Inflation Reduction Act (IRA) yang disalahartikan oleh pemerintahan Biden mencakup subsidi transisi energi sebesar $370 miliar.
Negara-negara Uni Eropa, yang marah atas diskriminasi program AS terhadap pemasok asing dan pelanggaran peraturan internasional dan UE yang melarang subsidi negara untuk industri tertentu, berencana untuk merespons dengan melonggarkan peraturan subsidi mereka sendiri. Sementara itu, sepertiga dari dana investasi sebesar €1,8 triliun ($2 triliun) dalam Rencana Pemulihan NextGenerationEU akan membiayai Kesepakatan Hijau Eropa, yang diperkenalkan pada tahun 2019, yang akan membantu negara-negara anggota berinvestasi dalam proyek-proyek energi ramah lingkungan. Dan tren ini tidak hanya terjadi di negara-negara Barat: Indonesia memberlakukan larangan ekspor bijih nikel untuk mempromosikan industri baterai kendaraan listrik.
Kebijakan seperti ini sudah ada sejak awal Revolusi Industri. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, para ekonom mempertanyakan kegunaannya. Pemerintah tidak boleh memilih pemenang, demikian argumen tersebut, namun membiarkan pasar mengalokasikan sumber daya di seluruh industri dengan cara yang mencerminkan preferensi konsumen dan kemungkinan teknologi. Dengan logika yang sama, pembuat kebijakan harus melakukan intervensi terhadap pasar hanya ketika mereka mempunyai informasi yang cukup bahwa ada eksternalitas yang menyebabkan pasar tidak berfungsi. Meski begitu, para pengkritiknya mengatakan bahwa pemerintah mungkin akan memperburuk keadaan dengan menambahkan kegagalan mereka sendiri – misalnya, kebijakan yang diambil oleh pelaku pemburu keuntungan (rent-seeking players). Dengan terjadinya revolusi Reagan-Thatcher dan munculnya apa yang disebut Konsensus Washington pada tahun 1980an, argumen-argumen ini menjadi tertanam dalam ortodoksi baru.
Namun para ahli teori ekonomi mulai menyadari pentingnya kebijakan industri. Kita sekarang tahu bahwa ada banyak kasus di mana intervensi pemerintah dapat dibenarkan. Pertanyaannya bukan apakah kebijakan industri harus ada, namun bagaimana kebijakan tersebut harus dikelola.
Misalnya, belajar sambil melakukan (learning by doing) dipandang sebagai fenomena besar dan penting yang memerlukan intervensi kebijakan jauh sebelum para ekonom menyadarinya. Terdapat banyak bukti bahwa banyak perusahaan dan industri mengalami kemajuan seiring berjalannya waktu seiring dengan bertambahnya pengalaman produksi. Pada tahun 1936, insinyur penerbangan Theodore Wright merumuskan apa yang sekarang dikenal sebagai Hukum Wright, yang menyatakan bahwa biaya menurun secara eksponensial seiring dengan akumulasi produksi. Selama Perang Dunia II, Angkatan Darat AS menggunakan undang-undang ini dalam kontrak pengadaannya untuk mendapatkan penghematan biaya. Namun ide tersebut baru masuk ke dalam dunia ekonomi melalui sebuah makalah yang ditulis oleh Kenneth Arrow yang diterbitkan pada tahun 1962. Sejak saat itu, ide tersebut digunakan untuk membenarkan perlindungan infant-industry, komitmen pasar yang maju, dan subsidi seperti yang termasuk dalam IRA (Inflation Reduction Act)
Kekuatan pasar adalah ketidaksempurnaan lain yang memerlukan intervensi pemerintah. Untuk itu, UU CHIPS memungkinkan AS melawan dominasi Tiongkok. Ketakutannya adalah Tiongkok dapat menggunakan dominasi ini sebagai senjata ekonomi, sama seperti Amerika Serikat yang menggunakan dominasinya pada sistem keuangan dan teknologi tertentu untuk memberikan sanksi kepada negara lain. Undang-undang CHIPS berupaya mengurangi kerentanan perekonomian Amerika terhadap tekanan Tiongkok.
Semua intervensi ini bertujuan untuk memiringkan harga pasar untuk membuat industri tertentu, seperti semikonduktor atau energi terbarukan, lebih menguntungkan dan karenanya menjadi lebih besar daripada yang seharusnya. Namun bentuk lain dari intervensi pemerintah adalah mengenai saling melengkapi antara public dan private goods. Misalnya, mobil memerlukan jalan raya, lampu lalu lintas, peraturan mengemudi, dan polisi. Kereta membutuhkan rel dan stasiun. Kendaraan listrik memerlukan stasiun pengisian yang tersedia secara luas. Dan semua industri bergantung pada pekerja dengan keahlian khusus. Masukan-masukan ini dipengaruhi secara eksplisit dan implisit oleh kebijakan-kebijakan pemerintah, yang penting untuk menciptakan kondisi yang tepat bagi pertumbuhan dan kemakmuran bersama.
Satu-satunya cara pemerintah dapat menyediakan mix of public goods yang tepat adalah dengan melibatkan sebanyak mungkin industri. Kebijakan industri bukan tentang memilih pemenang, namun tentang memastikan bahwa pasokan barang publik meningkatkan produktivitas sebanyak mungkin. Karena mereka tidak dapat mengandalkan tangan tak kasat mata (invisible hand) pasar untuk mengkoordinasikan tindakan ribuan lembaga publik dan dampak dari jutaan halaman undang-undang, maka pemerintah harus embedded and engaged. Itulah sebabnya di negara-negara demokratis, terdapat begitu banyak business chambers dan kelompok lobi yang mencoba mempengaruhi penyediaan barang publik dengan cara meningkatkan peluang industri mereka dalam menciptakan nilai. Tentu saja, kelompok-kelompok ini mungkin juga terlibat dalam perburuan keuntungan, namun persaingan demokratis dapat mencegah perilaku tersebut.
Hal ini tidak berarti bahwa setiap pemerintah harus meniru kebijakan mahal yang sedang populer saat ini. Para pengambil kebijakan harus fokus pada permasalahan negara mereka saat ini dan memilih solusi yang paling tepat. Meniru solusi negara lain terhadap permasalahan yang tidak Anda hadapi, atau berfokus pada isu-isu terkini yang sebenarnya tidak terlalu penting, adalah penyebab terjadinya inefisiensi, bahkan bencana
Misalnya, melakukan diversifikasi ke industri-industri baru – yang merupakan tujuan utama di banyak negara – memerlukan identifikasi barang publik yang dibutuhkan industri-industri tersebut dan membantu mereka melalui proses pembelajaran. Ketika dekarbonisasi mengarah pada munculnya pasar dan industri baru, pemerintah berupaya mencari cara untuk menjadi bagian dari transisi ramah lingkungan. Negara-negara lain mungkin ingin mengurangi kesenjangan regional, atau mengintegrasikan universitas mereka ke dalam ekosistem inovasi yang dinamis, atau mempercepat pembangunan dengan mengatasi kegagalan yang sudah berlangsung lama dalam penyediaan input utama seperti listrik, air, mobilitas, pelatihan, dan layanan digital.
Untuk mengatasi tantangan-tantangan ini, pemerintah harus memiliki akses terhadap seluruh perangkat kebijakan yang dapat membantu mereka menemukan solusi. Mengabaikan alat-alat ini sebagai “kebijakan industri”, seperti yang biasa dilakukan oleh sebagian orang, tidak berarti bahwa alat-alat tersebut menjadi kurang diperlukan.
terjemahan bebas oleh gandatmadi46@yahoo.com